Mohon tunggu...
anglicamozes
anglicamozes Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - mahasiswa

hobi menulis

Selanjutnya

Tutup

Surabaya

Kebijakan Baru Prabowo: Ribuan Penjara Kosong, Apakah Solusi atau Kontroversi?

8 Januari 2025   19:40 Diperbarui: 8 Januari 2025   19:40 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keputusan yang baru di keluarkan oleh Presiden ini menjadi pro dan kontra di kalangan masyarakat. Namun masih banyak masyarakat yang kontra dengan adanya amesti ini karena banyak berita yang tersebar mengabarkan bahwa Presiden ingin membebaskan para koruptor. Namun Tidak ada pernyataan resmi dari Presiden atau lembaga pemerintah terkait yang mendukung klaim tersebut. Justru, selama ini pemerintah telah menunjukkan sikap tegas dalam memberantas korupsi, baik melalui penguatan lembaga antikorupsi seperti KPK maupun reformasi di berbagai sektor untuk mencegah praktik korupsi.

kontra utama adalah potensi ancaman terhadap keamanan masyarakat. Pembebasan ribuan narapidana, meskipun dengan seleksi, berisiko menimbulkan ketakutan akan peningkatan angka kejahatan. Tanpa mekanisme pemantauan dan reintegrasi yang kuat, sebagian narapidana mungkin kembali melakukan pelanggaran hukum. Hal ini dapat menciptakan ketidakstabilan di tengah masyarakat, terutama jika narapidana yang dibebaskan belum benar-benar siap kembali ke kehidupan sosial.Dari sisi keadilan, kebijakan ini juga dianggap merugikan korban kejahatan. Bagi korban, pemberian amnesti bisa terlihat sebagai bentuk pengabaian terhadap penderitaan yang telah mereka alami. Banyak pihak menilai, amnesti massal dapat melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum, terutama jika dilakukan tanpa transparansi yang memadai.

Selanjutnya, kebijakan ini dinilai hanya sebagai solusi sementara tanpa mengatasi akar masalah. Overkapasitas lapas bukan hanya soal jumlah narapidana, tetapi juga sistem hukum yang cenderung represif terhadap kasus-kasus ringan, seperti pengguna narkoba. Jika reformasi hukum tidak dilakukan, situasi serupa akan terus berulang. Amnesti hanya menjadi cara cepat untuk mengurangi beban lapas tanpa menyelesaikan persoalan struktural yang lebih mendasar.Transparansi dalam proses seleksi juga menjadi sorotan. Tanpa mekanisme yang jelas, masyarakat khawatir bahwa kebijakan ini dapat disalahgunakan oleh pihak tertentu, seperti memberi keuntungan bagi narapidana yang memiliki koneksi atau kekuasaan. Kekhawatiran ini semakin menguatkan persepsi bahwa keadilan hanya berpihak kepada mereka yang memiliki akses dan pengaruh.

Selain itu juga, dengan adanya Amesti ini berdampak bagi para mantan narapidana sering menghadapi stigma sosial yang berat ketika mereka kembali ke masyarakat. Label sebagai "eks napi" sering kali menjadi beban yang sulit dilepaskan, meskipun mereka telah menjalani hukuman dan berupaya memperbaiki diri. Stigma ini tidak hanya memengaruhi kehidupan pribadi mereka, tetapi juga peluang untuk berpartisipasi kembali secara produktif dalam masyarakat.Salah satu bentuk stigma yang paling umum adalah prasangka bahwa mantan narapidana akan kembali melakukan kejahatan. Persepsi ini membuat masyarakat sering kali merasa was-was atau enggan menerima mereka sebagai tetangga, rekan kerja, atau anggota komunitas. Akibatnya, mantan narapidana sulit mendapatkan kepercayaan dari orang-orang di sekitarnya, meskipun mereka telah berkomitmen untuk hidup lebih baik.

Stigma ini juga berdampak pada peluang kerja. Banyak perusahaan enggan mempekerjakan mantan narapidana karena khawatir akan risiko reputasi atau keamanan. Bahkan dalam sektor pekerjaan informal, prasangka terhadap mantan narapidana membuat mereka sulit bersaing. Padahal, pekerjaan adalah salah satu faktor utama yang dapat membantu mereka membangun kehidupan baru yang stabil.

Kebijakan amnesti bagi 44 ribu narapidana yang diumumkan Presiden Prabowo Subianto bertujuan mengurangi overkapasitas lapas, memberikan peluang hidup baru bagi narapidana kasus ringan, serta menghemat anggaran negara. Amnesti ini difokuskan pada narapidana pengguna narkotika skala kecil, lansia, atau dengan kondisi kesehatan tertentu, sementara pelaku kejahatan berat seperti korupsi, terorisme, dan pembunuhan tidak termasuk.

Meski demikian, kebijakan ini mendapat banyak kritik. Kekhawatiran utama adalah meningkatnya risiko keamanan jika narapidana yang dibebaskan tidak mendapat pengawasan atau program reintegrasi yang memadai. Transparansi dalam proses seleksi juga menjadi perhatian, mengingat potensi penyalahgunaan yang dapat merusak kepercayaan masyarakat.

Stigma sosial terhadap mantan narapidana menjadi hambatan besar bagi mereka untuk kembali berbaur dan hidup produktif di masyarakat. Selain itu, amnesti dinilai hanya sebagai solusi sementara yang tidak menyentuh akar masalah, seperti sistem hukum yang cenderung menghukum kasus ringan tanpa alternatif rehabilitasi.

Untuk memastikan keberhasilan kebijakan ini, pemerintah harus menerapkan seleksi yang transparan, menyediakan pendampingan bagi narapidana yang dibebaskan, dan melaksanakan reformasi sistem hukum secara komprehensif. Tanpa langkah-langkah ini, kebijakan amnesti berisiko gagal mencapai tujuan utamanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Surabaya Selengkapnya
Lihat Surabaya Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun