matahari
cahaya yang menghidupkan
melahirkan gerak tiada henti
rembulan
cahaya yang meredupkan
mengurai penat seharian tadi
tinggal
dimana engkau meletakkan
matahari dan rembulan
di hatimu
Â
Secarik kertas berisi puisi itu terus kupegang. Entah berapa lama aku membaca puisi itu berulang-ulang. Aku belum juga mengerti apa yang dimaksud oleh puisi itu.
Puisi itu aku terima dari Putri, kekasihku yang entah bagaimana ceritanya tiba-tiba saja memutuskan hubungan kami. Kata putus itu keluar bersamaan dengan puisi yang sampai sekarang membuatku galau tingkat dewa. Seharusnya aku sedih dan kecewa dengan keputusan itu, tetapi puisi itu menghancurkan semua rasa sedih dan kecewaku dan diganti dengan galau. Galau dalam ketidakmengertian.
Sudah tiga hari ini puisi ini menemani waktuku yang bergerak perlahan. Malam menjadi lebih panjang. Sekali lagi aku baca puisi itu. Dan sekali lagi sampai aku tidak bisa menghitungnya lagi.Â
Tiba-tiba pintu kamar kostku diketuk orang. Aku membuka pintu itu. Dewi! Ada apa lagi ini. Dewi adalah sahabat dekat Putri.
"Wo. Celaka Wo!" Suara Dewi berteriak-teriak seperti orang yang melihat hantu pocong pakai baju pink dan payung warna ungu.
"Ada apa?" Tanyaku.
"Kamu baca ini Dewo." Kata Dewi menyerahkan sebuah kartu undangan.
Kubaca kartu undangan itu. Tertulis nama Galang dan Putri. Waktunya hari ini jam 7 malam. Eh, sekarang sudah hampir jam 7. Oh! Rupanya ini yang terjadi. Tetapi apa hubungannya dengan matahari dan rembulan?Â
"Wo, Putri pesan kamu harus datang bersamaku." Kata Dewi.
"Ok! Sekarang juga kita berangkat." Kataku.
Entah mengapa aku  hanya merasa terkejut karena waktunya mendadak, namun tidak ada kekecewaan dalam hatiku. Apakah hatiku sudah sedemikian beku? Atau mungkin aku masih tenggelam dalam ruang ketidakmengertian yang parah.
"Wo, kamu gak kecewa atau sakit hati?" Tanya Dewi saat kami akan memasuki gedung tempat pernikahan.
"Memangnya kenapa harus kecewa dan sakit hati. Toh kami sudah putus."
"Apa kamu gak takut kalau orang lain mengganggap kita pacaran?"
"Memangnya begitu ya? Ah! Aku tidak memikirkan hal itu. Yang penting kita segera memberi selamat pada Putri."
Tapi nanti dulu! Apa iya ada orang yang menganggap aku pacarnya Dewi. Rasanya tidak mungkin. Dewi terlalu cantik dan terlalu kaya untukku. Itu sebabnya dulu aku memilih Putri, meskipun sebenarnya bisa saja aku nembak Dewi. Aku tidak pede kalau pacaran dengan Dewi. Tadi saja aku membonceng Dewi, rasanya sudah tidak enak karena khawatir sepeda motor bututku membuat Dewi sengsara.
Saat aku mengucapkan selamat pada Putri. Putri menarikku dan berbisik, "Wo, maafkan aku. Aku mempermainkanmu, karena aku tahu Dewi mencintaimu. Aku tidak pernah mencintaimu, hanya ingin mendekatkan kamu dan Dewi. Aku juga tahu kamu ada hati dengan Dewi. Selamat ya Wo. Jangan lepaskan kesempatan baik itu. Matahari dan Rembulan selalu bersama, tinggal kamu mau meletakkan di bagian hati yang mana."
Kalimat Putri membuat mataku terbuka. Ya Allah! Ternyata selama ini salah mengartikan cinta. Salah menempatkan matahari dan rembulan di hatiku.
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI