matahari
cahaya yang menghidupkan
melahirkan gerak tiada henti
rembulan
cahaya yang meredupkan
mengurai penat seharian tadi
tinggal
dimana engkau meletakkan
matahari dan rembulan
di hatimu
Â
Secarik kertas berisi puisi itu terus kupegang. Entah berapa lama aku membaca puisi itu berulang-ulang. Aku belum juga mengerti apa yang dimaksud oleh puisi itu.
Puisi itu aku terima dari Putri, kekasihku yang entah bagaimana ceritanya tiba-tiba saja memutuskan hubungan kami. Kata putus itu keluar bersamaan dengan puisi yang sampai sekarang membuatku galau tingkat dewa. Seharusnya aku sedih dan kecewa dengan keputusan itu, tetapi puisi itu menghancurkan semua rasa sedih dan kecewaku dan diganti dengan galau. Galau dalam ketidakmengertian.
Sudah tiga hari ini puisi ini menemani waktuku yang bergerak perlahan. Malam menjadi lebih panjang. Sekali lagi aku baca puisi itu. Dan sekali lagi sampai aku tidak bisa menghitungnya lagi.Â
Tiba-tiba pintu kamar kostku diketuk orang. Aku membuka pintu itu. Dewi! Ada apa lagi ini. Dewi adalah sahabat dekat Putri.
"Wo. Celaka Wo!" Suara Dewi berteriak-teriak seperti orang yang melihat hantu pocong pakai baju pink dan payung warna ungu.
"Ada apa?" Tanyaku.
"Kamu baca ini Dewo." Kata Dewi menyerahkan sebuah kartu undangan.