Kubaca kartu undangan itu. Tertulis nama Galang dan Putri. Waktunya hari ini jam 7 malam. Eh, sekarang sudah hampir jam 7. Oh! Rupanya ini yang terjadi. Tetapi apa hubungannya dengan matahari dan rembulan?Â
"Wo, Putri pesan kamu harus datang bersamaku." Kata Dewi.
"Ok! Sekarang juga kita berangkat." Kataku.
Entah mengapa aku  hanya merasa terkejut karena waktunya mendadak, namun tidak ada kekecewaan dalam hatiku. Apakah hatiku sudah sedemikian beku? Atau mungkin aku masih tenggelam dalam ruang ketidakmengertian yang parah.
"Wo, kamu gak kecewa atau sakit hati?" Tanya Dewi saat kami akan memasuki gedung tempat pernikahan.
"Memangnya kenapa harus kecewa dan sakit hati. Toh kami sudah putus."
"Apa kamu gak takut kalau orang lain mengganggap kita pacaran?"
"Memangnya begitu ya? Ah! Aku tidak memikirkan hal itu. Yang penting kita segera memberi selamat pada Putri."
Tapi nanti dulu! Apa iya ada orang yang menganggap aku pacarnya Dewi. Rasanya tidak mungkin. Dewi terlalu cantik dan terlalu kaya untukku. Itu sebabnya dulu aku memilih Putri, meskipun sebenarnya bisa saja aku nembak Dewi. Aku tidak pede kalau pacaran dengan Dewi. Tadi saja aku membonceng Dewi, rasanya sudah tidak enak karena khawatir sepeda motor bututku membuat Dewi sengsara.
Saat aku mengucapkan selamat pada Putri. Putri menarikku dan berbisik, "Wo, maafkan aku. Aku mempermainkanmu, karena aku tahu Dewi mencintaimu. Aku tidak pernah mencintaimu, hanya ingin mendekatkan kamu dan Dewi. Aku juga tahu kamu ada hati dengan Dewi. Selamat ya Wo. Jangan lepaskan kesempatan baik itu. Matahari dan Rembulan selalu bersama, tinggal kamu mau meletakkan di bagian hati yang mana."
Kalimat Putri membuat mataku terbuka. Ya Allah! Ternyata selama ini salah mengartikan cinta. Salah menempatkan matahari dan rembulan di hatiku.