Mohon tunggu...
Anggun Tiara
Anggun Tiara Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Jambi

.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Menelisik Overclaim Pada Produk Skincare: Solusi Hukum Responsif Untuk Perlindungan Konsumen

5 Desember 2024   09:30 Diperbarui: 5 Desember 2024   15:07 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Abstrak
Fenomena overclaim dalam industri skincare menjadi persoalan yang semakin kompleks seiring perkembangan teknologi pemasaran dan meningkatnya permintaan konsumen akan produk kecantikan. Overclaim, yang merupakan klaim berlebihan atau menyesatkan tentang manfaat suatu produk, berpotensi merugikan konsumen secara finansial, kesehatan, dan psikologis. Dalam konteks hukum di Indonesia, praktik ini melanggar prinsip perlindungan konsumen sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) dan peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Artikel ini bertujuan menganalisis praktik overclaim pada produk skincare menggunakan perspektif teori hukum responsif, yang menekankan pentingnya hukum adaptif untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan melindungi hak-hak konsumen.  

Pendahuluan
Produk skincare saat ini tidak hanya menjadi kebutuhan estetika tetapi juga bagian dari gaya hidup masyarakat. Dengan nilai pasar yang besar, persaingan di industri ini menjadi sangat ketat sehingga mendorong produsen untuk mengembangkan berbagai strategi pemasaran, termasuk memberikan klaim yang menarik perhatian konsumen. Namun, tidak semua klaim tersebut didukung oleh bukti ilmiah atau fakta yang dapat dipertanggungjawabkan, sehingga memunculkan isu overclaim.  

Overclaim pada produk skincare, seperti klaim mampu “menghilangkan kerutan dalam satu malam” atau “memutihkan kulit secara instan,” sering kali menjadi alat pemasaran yang menyesatkan. Dalam perspektif hukum, praktik ini bertentangan dengan prinsip keadilan, kejujuran, dan perlindungan konsumen. Di sisi lain, konsumen sering kali tidak memiliki kapasitas untuk menilai validitas klaim tersebut, sehingga memerlukan intervensi hukum yang responsif untuk melindungi hak-hak mereka. 

Artikel ini akan membahas lebih lanjut bagaimana teori hukum responsif dapat memberikan kerangka kerja untuk menangani praktik overclaim dalam industri skincare di Indonesia.  

Pembahasan
Overclaim adalah klaim berlebihan yang tidak sesuai dengan fakta atau data ilmiah yang mendukung. Dalam konteks produk skincare, overclaim dapat terjadi dalam berbagai bentuk, antara lain:  
1. Klaim Ilmiah yang Tidak Terbukti: Misalnya, pernyataan bahwa suatu produk memiliki bahan aktif yang dapat memberikan manfaat tertentu, tetapi tidak didukung oleh hasil uji klinis yang valid.  
2. Klaim Instan: Menjanjikan hasil yang terlalu cepat atau instan, seperti "menghilangkan bekas jerawat dalam satu hari" yang secara ilmiah sulit dibuktikan.  
3. Klaim Tanpa Risiko: Menyatakan produk 100% aman tanpa efek samping, meskipun semua produk kosmetik memiliki potensi reaksi pada kulit sensitif.  

Praktik overclaim ini tidak hanya menyesatkan konsumen, tetapi juga menciptakan persaingan tidak sehat di antara pelaku usaha yang mematuhi regulasi.  

Di Indonesia, beberapa instrumen hukum yang dapat digunakan untuk mengatasi overclaim produk skincare antara lain:  

1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK):
   - Pasal 8 UUPK melarang pelaku usaha memproduksi atau memperdagangkan barang yang tidak sesuai dengan klaim yang disampaikan.  
   - Pasal 9 dan Pasal 10 melarang iklan yang menyesatkan konsumen.  

2. Peraturan BPOM:
BPOM bertugas mengawasi peredaran kosmetik dan memastikan bahwa setiap klaim produk didukung oleh data ilmiah. Produk yang tidak memenuhi standar dapat dikenakan sanksi administratif, seperti pencabutan izin edar atau denda.  

3. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP):  
Dalam beberapa kasus, overclaim dapat dikategorikan sebagai tindak pidana penipuan (Pasal 378 KUHP) jika ada unsur kesengajaan untuk menyesatkan konsumen demi keuntungan pribadi.  

4. UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE):  
Dalam konteks pemasaran digital, klaim palsu yang disebarkan melalui media sosial atau platform digital dapat dijerat dengan Pasal 28 ayat (1) UU ITE yang mengatur larangan menyebarkan informasi yang menyesatkan.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun