Mohon tunggu...
Anggun Kurnia Likawati
Anggun Kurnia Likawati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis

Merupakan seorang mahasiswi dari salah satu perguruan tinggi di Bandung. Memiliki ketertarikan dalam kepenulisan, baik creative writing maupun scientific writing, sejak tahun 2019 silam. Saat ini, sedang berfokus pada bidang kepenulisan artikel mengenai kesetaraan gender, lingkungan, edukasi, dan topik lainnya yang masih mendukung perkembangan SDG's di Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kasus Henry Wirawan dan Hukuman Mati: Impunitas Hukum Terkait Tindak Kekerasan Seksual di Indonesia

13 Februari 2022   10:10 Diperbarui: 13 Februari 2022   10:18 1847
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Hukuman mati berkaitan erat dengan hak hidup (the right to life) yang merupakan mahkota HAM. Sebagai kategori non-derogable right, negara dibebankan positive obligation untuk melindungi dan memastikan hak hidup,"

- Wakil Ketua Internal Komnas HAM, Munafrizal (2021)

Tahun lalu, tepatnya pada tahun 2021, Indonesia dilanda berbagai permasalahan yang secara hukum belum dapat diselesaikan dengan semestinya, sebut saja permasalahan kekerasan seksual yang semakin marak muncul diberitakan oleh media-media nasional. Salah satu kasus kekerasan seksual yang sempat menggemparkan publik, bahkan hingga saat ini, adalah kasus pemerkosaan oleh Herry Wirawan (HW) kepada 13 santriwati di bawah umur yang bahkan beberapa di antaranya sampai hamil dan melahirkan (Detik.com, 2022). Dilansir dari CNN Indonesia (2022), Jaksa Penuntut Umum (JPU) telah menggolongkan kasus ini sebagai kejahatan paling serius (the most serious crime). Bukan tanpa alasan, terdapat beberapa alasan yang mendasari argumen JPU tersebut.

Pertama, perbuatan yang dilakukan oleh HW, sudah termasuk dalam kategori kekerasan seksual yang sangat tidak manusiawi. Kedua, kekerasan seksual tersebut didukung dengan hadirnya relasi kuasa antara HW sebagai pendiri pondok pesantren dengan para santriwati yang masih di bawah umur. Ketiga, kekerasan seksual tersebut dapat mengakibatkan rusaknya kesehatan secara mental dan reproduksi anak di bawah umur. Keempat, pelaku menggunakan simbol agama dan pendidikan untuk memanipulasi para santriwati tersebut dan menjadikan alat justifikasi dalam melanggengkan nafsu dan melancarkan aksi kejahatannya. Serta masih terdapat beberapa alasan lain yang pada akhirnya mengakibatkan HW dijatuhkan hukuman dengan Pasal 81 ayat (1), ayat (30), ayat (5), jo Pasal 76D UU RI No 17 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi UU jo Pasal 65 ayat (1) KUHP. Atau secara praktik hukumnya, HW dituntut dengan hukuman mati dan tambahan kebiri kimia atas perbuatannya yang dianggap sebagai kejahatan paling serius.

Permasalahan tidak hanya berhenti sampai di sana, pro dan kontra mulai bermunculan terkait hukuman yang akan dijatuhkan kepada HW. Komnas HAM, misalnya, sebagai kubu kontra, menjelaskan bahwa penerapan hukuman mati, sangatlah bertentangan dengan prinsip HAM. Seorang Komisaris HAM, sebut saja Beka Ulang Sahara, dalam wawancaranya mengatakan bahwa hak hidup seseorang tidak dapat dikurangi. Penjatuhan pidana mati dianggap bertentangan dengan HAM, karena dalam prosesnya yang secara paksa mengambil alih hak hidup orang lain dan tidak memberikan kesempatan bagi mereka untuk memperbaiki kesalahan dan kejahatan yang telah diperbuat.

Sedangkan dalam kubu pro, terdapat DPR RI yang menilai bahwa hukuman mati ini merupakan langkah paling tepat karena HW sendiri sudah merampas hak asasi para korbannya. Alasan lain disampaikan oleh Wakil Menteri Agama, yaitu Zainut Tauhid Sa'adi yang senada dengan DPR RI, yaitu "(adanya hukuman mati) ini juga mudah-mudahan bisa memberikan efek jera orang-orang yang akan melakukan hal serupa serta agar masyarakat menghargai hak hidup orang lain," (Times Indonesia, 2022).

Melihat fenomena pro dan kontra tersebut, tentunya ikut menimbulkan banyak pertanyaan dalam benak masyarakat di Indonesia, terutama mereka yang paham akan perjuangan memerangi kasus kekerasan seksual di Indonesia yang tidaklah mudah. Seperti penulis yang sempat mengeluhkan kehadiran paradoks mengenai proses hukum dan HAM di Indonesia, seperti misalnya bagaimana kehadiran hukum dan konstitusi berusaha untuk melindungi HAM dan di saat bersamaan dapat bertentangan dengan prinsip HAM itu sendiri. Dengan demikian. dalam karangan tulis ini, penulis akan mengelaborasikan wacana hukuman mati dalam konstitusi berdasarkan perspektif HAM, atau mudahnya penulis akan membongkar bagaimana konstitusi seharusnya juga dapat melindungi HAM tanpa bertentangan dengan HAM itu sendiri.

HUKUMAN MATI DAN HAM

Seperti pada Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Perubahan ke-4, telah disebutkan bahwa "Negara Indonesia adalah negara hukum." Tentunya, hal tersebut menjadi landasan atau pondasi konstitusional bahwa Indonesia merupakan negara yang berdiri di atas hukum yang berlaku, atau dengan kata lain hukum ditempatkan sebagai pokok dan satu-satunya aturan main dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara di Indonesia (supremacy of law). Hadirnya konsep negara hukum, tidaklah terlepas dengan praktiknya dalam menegakkan hukum sebagai produk bernegara. Menurut Aeni & Bawono (2020), penegakan hukum merupakan suatu upaya untuk mengaplikasikan norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman dalam berperilaku suatu kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Hukum diciptakan untuk mengatur berbagai kepentingan yang berbeda dalam masyarakat agar terjamin tanpa merugikan pihak lain, contohnya adalah Hak Asasi Manusia (HAM).

Hubungan mutualisme antara HAM dan negara hukum sengatlah erat. Mengapa? Karena sejatinya dalam UU RI No 39 tahun 1999, menegaskan bahwa HAM merupakan hak dasar yang absolut dimiliki oleh setiap individu sejak lahir yang diberikan langsung oleh Tuhan YME, serta tidak ada alasan untuk dapat dirampas ataupun dihilangkan eksistensinya, melainkan perlu untuk dihargai, dihormati, dan dilindungi oleh negara dan hukum yang berlaku, demi perlindungan harkat dan martabat manusia. Lainnya, kaitan antara negara hukum dan HAM adalah warga negara secara adil perlu mendapatkan perlindungan HAM. Jika dilanggar, alhasil akan berdampak pada keambiguan definisi "negara hukum", karena bertentangan dengan prinsip negara hukum itu sendiri.

Di Indonesia, HAM memiliki kedudukan yang kuat karena diakui dalam instrumen-instrumen penting negara seperti halnya Pancasila yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Selain itu, berdirinya Komisi Nasional (Komnas) HAM menjadi bukti betapa seriusnya negara Indonesia sebagai negara hukum dalam menjamin berdirinya supremasi dan perlindungan HAM di Indonesia. Namun, dalam beberapa kasus, Indonesia secara hukum positif, menganggap bahwa pidana mati merupakan salah satu bagiannya. Bukankah pidana mati bertentangan dengan prinsip HAM?

Secara internasional, Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) terus berupaya untuk meniadakan penerapan pidana mati berdasarkan apa yang telah dirampungkan dalam Deklarasi Hak-Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) sejak 10 Desember 1948 yang menjamin hak untuk hidup. Selain itu, terdapat pula jaminan hak untuk hidup pada Pasal 6 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) sejak 1966 dan telah diratifikasi melalui UU No 12 tahun 2005 tentang Pengesahan ICCPR. Sedangkan Indonesia, melalui Pasal 66 RKUHP, pidana mati telah menjadi pidana pokok yang bersifat khusus dan diancamkan alternatif dengan jatuhan pidana pokok lainnya (Kurnisar, 2017). Padahal, pada Pasal 28A UUD 1945, yang menjelaskan bahwa "Setiap orang berhak untuk hidup dan berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya", yang mana pidana mati tidak lagi selaras dengan HAM. Pidana atau hukuman mati jelas-jelas bertentangan dengan Kovenan Internasional sebelumnya, dan merupakan kewajiban negara untuk secara kontinyu memberikan jalan keluar dalam melindungi dan memenuhi HAM segenap warga negara, sebagaimana telah diadopsi melui Pasal 28A Amandemen UUD 1945.

Jika kembali pada kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh HW terhadap 13 santriwatinya, menurut DPR RI dan Kemenag bahwa hukuman mati menjadi jalan keluar untuk mengadili HW sebagai pelaku dalam rangka memberikan hukuman yang seimbang dengan penderitaan korban dan fungsi pencegahan yang dimaksudkan agar orang-orang yang akan melakukan hal serupa merasa jera. Padahal, terdapat banyak penelitian yang mengungkapkan bahwa praktik hukuman mati tidaklah menurunkan angka kejahatan dan justru sebaliknya, seperti fakta melalui bagan berikut:

Vonis Hukuman Mati di Indonesia
Vonis Hukuman Mati di Indonesia

Hukuman mati merupakan suatu tindakan final atau dengan kata lain, secara eksekusinya yaitu menghapus harapan dan kemungkinan bagi pelaku melakukan rehabilitasi diri. Mungkin, dengan hadirnya hukuman mati ini dapat memuaskan rasa balas dendam dan amarah rekan, keluarga, atau bahkan korban sendiri. Namun, dalam beberapa kasus, hal ini juga akhirnya melahirkan masyarakat yang memberi pembenaran terhadap aksi-aksi balas dendam, karena negaranya sendiri pun melakukan hal yang sama.

HUKUMAN MATI + KEBIRI: VONIS PIDANA BERTINGKAT PADA PELAKU, BAGAIMANA SOROT KEADILAN PADA KORBAN?

Dilansir dalam tanggapan The Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Indonesia mengenai kasus pemerkosaan HW, mereka mengungkapkan kekhwatiran terhadap pemidanaan yang justru akan mengakibatkan terhambatnya proses hukum dan proses pemulihan korban pada kasus-kasus serupa yang mungkin akan terjadi lagi. Maksudnya adalah ICJR menyanyangkan pendekatan pidana yang cukup berat, dan justru hanya akan mengalihkan perhatian publik dari permasalahan inti dan sistemik, serta dasar terjadinya kekerasan seksual.

Mengenai vonis pidana pada pelaku, yaitu kebiri kimia dan pidana mati, menurut ICJR Indonesia (2022), merupakan suatu pelanggaran konstitusional pada prinsip dalam pasal 67 KUHP yang mengemukakan jika seseorang dijatuhi pidana mati, dirinya tidak mungkin dapat divonis pidana tambahan lain. Dalam hal ini, seharusnya seorang penuntut umum, dapat lebih yakin dan percaya dalam menjatuhkan pidana yang sesuai kepada pelaku, dengan tetap memenuhi ketentuan yang ada, termasuk permasalahan pidana mati yang tidak dapat digabungkan dengan vonis pidana lainnya. Lalu, eksekusi hukuman mati dapat mempersulit proses hukum dan pemberian fokus dalam memulihkan korban.

Terakhir, belum ada penelitian sah yang menunjukkan bahwa vonis pidana mati akan menimbulkan efek jera pada pelaku, apalagi mengurangi angka kekerasan seksual. Dalam pengaplikasiannya, hukuman mati juga tidak dapat sepenuhnya membuat publik memahami dan sadar bahwa permasalahan kekerasan seksual diakibatkan karena adanya ketimpangan relasi kuasa dan kurangnya intensitas gaungan narasi pentingnya melindungi integritas tubuh.

Dengan demikian, vonis pidana atau hukuman mati kepada pelaku kekerasan seksual hanya membangkitkan ilusi sementara terkait keadilan korban dan ungkapan amarah secara politis yang secara bersamaan menghilangkan hak asasi pelaku untuk tetap hidup dan menjalani rehabilitasi, serta mengurangi fokus ketika memberikan perlindungan nyata kepada korban, atau dalam hal ini korban merupakan 13 santriwati di bawah umur.

Lalu, bagaimana jalan keluarnya? Menurut Usman Hamid (2021), seorang Direktur Eksekutif Amnesty International, mengungkapkan bahwa "(satu-satunya) yang (dapat) menimbulkan efek jera adalah kepastian hukum, bukan tingkat kekejaman hukumannya. Jadi, seharusnya yang dilakukan (pemerintah Indonesia) saat ini adalah membenahi sistem hukum yang masih melanggengkan impunitas, bukan (justru) semakin menambah tingkat kekejaman hukuman,". Dengan demikian, menurut penulis, alangkah lebih baik jika Indonesia dapat dengan cepat dan sigap dalam mengesahkan dan memberlakukan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagai payung hukum yang sah dalam mengadili pelaku dan memberikan perlindungan pada korban dengan sistemik.

REFERENSI:

Anjari, Warih, 2015, Penjatuhan Pidana Mati di Indonesia dalam Perspektif Hak Asasi Manusia, Jurnal Widya Yustisia, 1 (2).

Asnawi, Habib Shulton, 2012, Hak Asasi Manusia Islam dan Barat: Studi Kritik Hukum Pidana Islam dan Hukuman Mati, Supremasi Hukum,1(1).

Astuti, Laras, 2016, Penegakan Hukum Pidana Indonesia dalam Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia, Jurnal Kosmik Hukum, 16 (2).

CNN Indonesia. (2022). 8 Alasan Jaksa Golongkan Kasus Herry Wirawan 'The Most Serious Crime'. Diakses melalui : https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220111144233-12-745215/8-alasan-jaksa-golongkan-kasus-herry-wirawan-the-most-serious-crime.

DetikNews. (2022). Apa Itu Hukuman Mati, Tuntutan Herry Wirawan Pemerkosa 13 Santriwati. Diakses melalui: https://news.detik.com/berita/d-5894696/apa-itu-hukuman-mati-tuntutan-herry-wirawan-pemerkosa-13-santriwati.

Effendi, A.M. (2005). Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia (HAM) & Proses Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia (HAKHAM). Jakarta: Ghalia Indonesia.

Kholiq, M. Abdul, 2007, Kontroversi Hukuman Mati Dan Kebijakan Regulasinya dalam RUU KUHP (Studi Komparatif Menurut Hukum Islam), Jurnal Hukum, 14 (2)

Ramli, M. (2022). Pro Kontra Hukuman Mati untuk Predator Seksual Herry Wirawan. Diakses melalui: https://www.timesindonesia.co.id/read/news/391715/pro-kontra-hukuman-mati-untuk-predator-seksual-herry-wirawan

Sahetapy, J.E. (2007). Pidana Mati Dalam Negara Pancasila. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun