Maen Jaran atau pacuan kuda merupakan tradisi perwujudan Budaya di Pulau Sumbawa. Sejak dahulu tradisi ini dilaksanakan secara turun-temurun dan sudah menjadi bagian dari hiburan yang sangat digemari oleh masyarakat Sumbawa, selain menjadi atraksi hiburan, maen jaran juga dapat menguntungkan masyarakat Sumbawa, sebab dengan adanya perlombaan itu menjadi ajang peningkatan harga jual kuda. Sehingga masyarakat Sumbawa berlomba-lomba dalam merawat dan meningkatkan kualitas kudanya demi mencapai kuda terbaik. Kuda sumbawa adalah kuda lokal asli Indonesia yang merupakan persilangan kuda lokal (Sandalwood pony) dengan bangsa kuda arab atau Thotoughbred. Masyarakat Sumbawa lebih mengenalnya dengan sebutan kuda liar Sumbawa. Main jaran di Pulau Sumbawa ini biasanya diadakan saat mulai musim tanam padi dan sebagai simbol status sosial terhadap kebudayaan bagi Masyarakat Sumbawa. Maen jaran hingga saat ini masih eksis di beberapa Desa yang ada di Pulau Sumbawa, diantaranya; di Brang Kolong, Desa Maronge, Desa Moyo Hulu, Desa Senampar, Desa Poto, Desa Lengas, Desa Batu Bangka, Desa Utan hingga desa Alas. Bahkan baru-baru ini telah hadir arena Pacuan Kuda di Desa Penyaring sebagai event budaya khas Sumbawa.
Ciri khas yang lebih menarik pada pacuan kuda Sumbawa adalah adanya Lawas (pantun khas Sumbawa) atau yang biasa disebut dengan ngumang merupakan bentuk pengutaraan kemenangan sebagai pemikat wanita dan penonton pacuan kuda, kemudian pengumang merayu-rayu dengan lawas yang dikuasainya saat pacuan kuda berlangsung. Sejarah perkembangan permainan ini bermula pada saat zaman kolonial Belanda, hingga saat ini masih dipertahankan oleh masyarakat Sumbawa.
Permainan Maen Jaran pada zaman kolonial Belanda dengan sekarang, mengalami sedikit perubahan dari segi aturan, yang dimana permainan pada saat itu bebas, bagi siapa saja yang mempunyai kuda yang besar dan siap untuk diadu kecepatannya boleh mengikuti perlombaan, begitu pun arena yang digunakan di tanah lapang yang tidak dibuatkan arena khusus. Atribut-atribut atau perkakas yang digunakan oleh kuda maupun para joki sangat sederhana, karena pada saat itu keselamatan kuda maupun joki belum terlalu diperhatikan.
Adapun atribut yang dikenakan pada kuda pacu, diantaranya:
- Jombe adalah atribut yang terbuat dari tali (benang woll) yang ditempelkan berbagai macam pernak pernik kemudian dipasang di muka dan leher kuda.
- Tali kancing merupakan tali yang diikat dan dipasang di dalam mulut kuda yang digunakan sebagai pengendali kuda saat pelepasan.
- Kili merupakan kawat yang dibuat berbentuk angka delapan sebagai penyambung tali pengendali dengan rantai yang dipasang di mulut kuda.
- Lapek merupakan alas tempat duduk joki yang diletakkan pada punggung kuda dan terbuat dari alang-alang atau daun pisang kering.
Namun biasanya masyarakat Sumbawa jarang yang menggunakan point nomor 3 dan 4 karena dapat menambah beban kuda dan menjadi faktor penghambat larinya kuda. Masyarakat Sumbawa menggunakan joki-joki cilik sehingga akselerasi/kecepatan kuda bisa maksimal.
Barikut atribut yang digunakan oleh para joki pacuan kuda Sumbawa, diantaranya:
- Helem digunakan sebagai pelindung kepala dan berfungsi untuk mengurangi cidera dari joki apabila terjatuh.
- Baju kaos berlengan panjang dan celana panjang.
- Ketopong digunakn sebagai sarung kepala digunakan sebelum memakai helem.
- Cambuk biasanya terbuat dari kayu rotan.
- Baju ban (baju rompi) yang memiliki nomor punggung sebagai nomor urut kuda.
Selain perkembangan atribut yang digunakan oleh para joki. Peraturan maen jaran pun mengalami perubahan. Zaman dahulu peraturan maen jaran tidak terlau ketat, namun sekarang peraturan-peraturan tersebut sangat ketat. Dari arena pacuan sampai aturan mainnya sangat diperhatikan.
Berikut beberapa klasifikasi kuda pacu dalam maen jaran Sumbawa.Â
1. Teka saru yaitu kelas untuk kuda pemula dan baru pertama kali melakukan perlombaan.
2.Teka pas untuk kelas yang telah mengikuti perlombaan sebanyak 2-3 kali.
3. Teka A untuk kuda sudah berpengalaman yang tingginya 117 cm sampai dengan 120 cm.