Hingga, akhirnya aku membuat puisi ini tentang sesuatu yang kita buat menjadi masakan itu perlu namanya proses untuk membuatnya. Memang, sekarang sudah tersedia bumbu instan yang memudahkan kita untuk memasak makanan yang enak. Takarannya sudah diatur dan rempah-rempah yang kita inginkan juga sudah diracik dalam bentuk kemasan dan tentu kita tinggal menuangkannya ke dalam masakan yang kita buat.
Tapi, setiap orang punya pilihan untuk memilih menggunakan bumbu racikan tangan sendiri atau bumbu instan yang sudah ada dan tersedia saat ini. Beberapa orang tentu akan memilih untuk tetap meracik sendiri masakan yang akan dibuatnya. Menggunakan rempah-rempah yang bisa dipilih untuk akhirnya memadupadankan racikan tersebut dalam sebuah masakan untuk mendapatkan makanan yang enak dan beraroma menggiurkan.
Jadi, makna apa yang bisa kita ambil dari puisi ini yaitu bahwa setiap orang punya pilihannya sendiri untuk menghidangkan makanan yang enak. Artinya, seseorang punya pilihan untuk memilih menjadi seperti apapun dia dan bumbu instan adalah bentuk analogi dari privilege seseorang untuk menghidangkan makanan yang enak yang artinya setiap orang berhak menjadikan dirinya seperti apapun yang dia mau.
Bumbu instan itu dimaksudkan sebagai analogi dari privilege seseorang yang memang sudah tersedia akan tetapi bumbu instan akan membuat seseorang bergantung untuk membuat masakan yang enak. Tentu, porsi rasanya akan sama dengan orang-orang yang menggunakan bumbu instan lainnya, rasanya enak tapi tidak ada pembeda antara masakan kamu dan masakan dia karena memang yang digunakan adalah bumbu instan.
Jadi, orang-orang yang memilih meracik sendiri masakannya dengan rempah-rempah yang ada dan tidak menggunakan bumbu instan bukan berarti mereka adalah orang-orang yang berlebihan atau merasa tidak membutuhkan bumbu instan. Akan tetapi, ia percaya bahwa kualitas masakan itu akan menjadi enak, unik dan menggiurkan, ketika kita benar-benar mengolah, meracik dan membuat masakan menjadi enak itu, dengan proses dalam membuatnya.
Rempah-rempah itu analogi dari potensi kita. Jadi, ketika sebenarnya kita sudah memiliki bakat dan minat, tentu tinggal bagaimana kita menjadikan diri kita untuk tercipta menjadi sesuatu yang tidak bisa dipandang sepele, tidak bisa dipandang remeh, karena kita adalah masakan yang enak, unik dan beda dari yang lain, yang pastinya tidak hanya tampilan yang menggiurkan tapi juga rasanya juga tidak kalah menggiurkan dan mengenyangkan perut sehingga ketika orang-orang menikmati masakan kita mereka akan menemukan satu titik pembeda masakan kita dengan masakan orang lain. Nilai itu yang akan resep masakan yang membuat orang lain merasa bisa membedakan karena kita tahu persis, bagaimana susah payahnya meracik masakan itu menjadi enak dan bisa dinikmati setiap orang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H