Secangkir vanilla latte-ku sudah habis. Kami masih lebih banyak diam. Aku memesan cangkir ke-2. Aku seperti berhadapan dengan orang asing.
“Kamu benar, Na.. Suatu saat aku harus pulang dan memilih tinggal di mana,” kali ini dia memulai percakapan. Sambil tersenyum.
“Lalu?”
“Empat tahun aku mencari jalan pulang. Ternyata susah. Aku sudah lupa dunia seperti apa yang dulu aku jalani, saat aku pertama lahir ke dunia.”
Aku hanya diam saja. Belum mengerti percakapan ini akan berakhir seperti apa. Aku cuma tidak mau berakhir dengan pertengkaran.
“Aku hampir saja mencari rumah di duniaku sekarang, sampai akhirnya aku sadar, bahwa aku bukan hanya hidup untuk diriku sendiri, aku bukan hidup hanya untuk masa ini, dan kurasa, ini bukan takdirku.”
Aku mulai menatapnya, ingin tahu apalagi yang ingin dia katakan.
“Akan ada masa di mana aku harus mempertanggungjawabkan hidupku pada orang tuaku. Lebih dari itu, pada Tuhanku. Dan saat itu aku sadar, aku tidak bisa hidup di duniaku sekarang untuk selamanya. Seenak-enaknya tinggal di penthouse hotel termewah sekalipun, tetap saja aku harus pulang ke rumah. Empat tahun aku mencari jalan pulang itu. Empat tahun aku jatuh bangun, Na.. Mungkin dulu kau benar. Yang kunikmati itu nafsu. Nafsu yang diberikan Tuhan sebagai cobaan untukku. Kalau aku bisa melewati cobaan ini, Tuhan pasti membalas kan? Itu yang aku camkan dalam perjalananku mencari jalan pulang.”
Aku masi mencerna setiap kata-katanya. Sambil sesekali menatapnya dan meneguk vanilla latte cangkir keduaku.
“Ternyata, aku masih butuh keluarga. Masih butuh Tuhan. Dan aku makin tersesat di duniaku yang itu. Aku lalu mulai melihat ke belakang, mencari-cari di jalan mana aku dulu tersesat. Aku mulai berdamai dengan masa laluku. Memaafkan ayahku atas kealpaannya di masa kecilku. Aku semakin sering menghadap Tuhan. Karena aku tau, cuma Dia yang bisa membantuku pulang.”
“Lalu, apa kau akhirnya menemukan jalan pulang? Apa kau sudah siap untuk pulang?”