“Kita sudah sepakat untuk tidak sepakat tentang yang satu itu. Aku tak tau apa sekarang kau sudah memilih biru atau pelangi, atau masih memilih abu-abu. Aku tak tau, apa kau masih mencari jalan pulang. Sudah bukan urusanku. Dari dulu pun seharusnya tak pernah jadi urusanku,” aku membalas senyumannya. Harusnya dia paham, senyumku palsu.
***
Empat setengah tahun lalu..
Di tempat ini, dengan pesanan yang sama. Kau sangat menikmati pemandangan di sekitarmu, sementara aku hanya menikmatimu, yang menurutku lebih indah dari sosok manapun di ruangan itu. Kita sudah sering terlibat pembicaraan serius tentangmu. Tentang dunia yang kini kau pilih, dan tentang keinginanmu untuk berubah. Dua hal kontras. Dan setelah berkali-kali buntu, malam itu aku akhirnya memberanikan diri bertanya.
“Jadi, apa kau sudah memilih?”
“Memilih apa? Aku menikmati hidupku sekarang. Aku merasa, ini dunia yang harusnya sudah aku masuki dari dulu.”
“Maksudmu, menikmati nafsu dan setelah itu nangis-nangis di hadapanku, saat dia dan yang lain meninggalkanmu, lalu kau segera ingin pulang? Tapi tiap bertemu dengan pria lain lagi, semua terulang lagi. Terus-menerus. Yang mana yang kau nikmati?”
Aku sudah tak bisa berbasa-basi. Aku bosan dengan segala kelakuanmu. Mencintai, tahu kalo cintamu terlarang, menikmati nafsu, dan setelahnya akan menyesal ingin kembali pulang, tapi tak pernah kaulakukan. Semua cuma wacana. Kau tetap dengan pola yang sama, dan aku mulai muak.
” Mungkin ini memang takdirku,” jawabmu kala itu.
” Tapi kau punya kuasa mengubah takdir. Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum, hingga dia mengubah nasibnya sendiri,” aku mulai berargumen.
Mendadak kulihat kau terdiam. Memainkan sendok di cangkirmu.