Mohon tunggu...
Anggit Satriyo Nugroho
Anggit Satriyo Nugroho Mohon Tunggu... Jurnalis - Advokat dan akademisi

Saya adalah seorang yang berpengalaman dalam bidang jurnalistik selama hampir 20 tahun, saya juga menggeluti dunia advokasi selama 5 tahun. Selain itu saya juga miliki pengalaman sebagai akademisi. Dari pengalaman tersebut, saya memiliki kemampuan menulis terutama terkait hukm dan pers

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jebakan Patologi Birokrasi Pada Pemimpin Muda

7 Mei 2024   11:53 Diperbarui: 7 Mei 2024   11:54 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

KETIKA ada kasus operasi tangkap tangan (OTT) KPK kepada kepala daerah karena  korupsi, ingatan saya  terlempar empat belas tahun silam.

Saat masih menjadi wartawan bidang hukum di Jakarta, saya kerap diajak berdiskusi penasihat KPK pada masa itu, Abdullah Hehamahua.

Diskusinya tidak khusus dalam rangka menjalankan tugas jurnalistik. Namun, hanya diskusi biasa, untuk menambah wawasan saja. Kadang di teras gedung KPK yang lama. Kadang diskusinya sambil jalan, ketika Pak Abdullah hendak menunaikan salat di Masjid Gedung Jasa Raharja, yang bersebelahan dengan tempat kerjanya.

Tak lama. Mungkin hanya lima sampai sepuluh menit saja. Tapi, setidaknya bisa memberi gambaran soal peta korupsi di daerah."Kalau baru dilantik jadi pemimpin daerah, janganlah berpikir untuk meraih jabatan di periode kedua. Jatuh-jatuhnya pasti korupsi," begitu kata Pak Abdullah Hehamahua.

"Lebih baik berkaryalah sebaik-baiknya. Tiket periode kedua pasti di tangan," lanjut Pak Abdullah lagi.

Demikian juga saat baru dilantik jadi anggota DPR. Jangan cepat-cepat berpikir untuk bisa meraih tiket sebagai bupati, wali kota atau bahkan presiden. Dua atau tiga periode di sana. Pastilah, akan memahami peta politik dan birokrasi dengan baik.

Sudah banyak contoh orang yang tergelincir lalu menyesal. Sudah kerap pula, KPK menyosialisasikan itu ke daerah. Tapi, korupsi di Indonesia tetap saja memiliki keunikan tersendiri, tak pernah berhenti.

Rupanya pernyataan Pak Abdullah itu banyak benarnya. Apalagi bila merunut waktu hingga sekarang. Banyak sekali politisi muda yang dulunya aktivis  akhirnya terkena jebakan patologi birokrasi. Bentuknya beragam, mulai penyalahgunaan kewenangan, paksaan kepada bawahan, konspirasi, hingga penurunan mutu. Banyak jenis dan derivasinya.

Ia mungkin tidak sadar, bahwa kekuasaan begitu membuainya dan menuntunnya pada jurang kehancuran itu. Patologi birokrasi seakan gula-gula yang kapan saja enak dinikmati, tapi sejatinya menggerogoti.

Begitu lafaz sumpah sebagai pemimpin muda diucapkan, secara tiba-tiba saja, semua orang patuh dengannya. Tak sedikit orang yang mengeluarkan kata-kata ini ketika ingin bertemu : mohon izin bapak, mohon petunjuk. Dari semula yang mendapatkan pelayanan biasa-biasa saja sebagaimana rakyat, tiba-tiba mendapatkan service very-very important person.

Nah, dari sanalah hubungan menyimpang antara struktur dan birokrasi mulai terbentuk. Jalin menjalin dan berkelindan satu sama lain. Bahkan antara struktur dan birokrasi memunculkan ketergantungan.

Pemimpin muda yang hanya memiliki modal politik dan modal sosial minus wawasan birokrasi akan sulit keluar dari jebakan ini. Birokrasi sudah membangun jejaringnya sendiri sejak sangat lama. Begitu dia harus memimpin birokrasi ia seakan harus menghadapi pertarungan idealisme dan kultur birokrasi yang sult ditundukkan. Pemimpin muda yang tidak lihai menghadapi situasi ini akan tergelincir pada pola permainan birokrasi.

Nah, mereka yang sebenarnya datang dari luar dan sama sekali jauh tidak memahami kondisi birokrasi akan mudah tergelincir.

Apalagi apabila tekanan  politik yang merupakan faktor eksternal datang. Ia merasa menjaga modal politik dan modal sosial yang dipunyainya. Karenanya, pemimpin muda yang merasa memiliki kewenangan di tangan akan mudah sekali masuk perangkap patologi birokrasi itu. Karena itu, pertemuan antara tekanan dan kesempatan itulah yang akhirnya memicu korupsi.

Pekan lalu, saya berdiskusi dengan politikus senior Senayan. Ia kenyang pengalaman soal menghadapi patologi birokrasi itu sendiri. Saat menjadi pemimpin daerah, ia mengaku punya kewaspadaan dobel. Nilai-nilai anti korupsi ia dapatkan ketika menjadi aktivis pro demokrasi. Sebenarnya, tekanan faktor eksternal dan kesempatan memungkinkannya menyimpang. Namun ia mengaku bahwa narasi dan komitmen itu terus ia pegang ketika memimpin birokrasi. Kendati pun berakibat tidak disukai di kalangan birokrasi dan kerap berakhir pahit.

Di Jawa Timur banyak sekali contoh jebakan patologi birokrasi yang ditangani KPK. Latar belakang pemimpin muda yang terjebak pun beragam. Mulai pengusaha muda, pengurus partai politik hingga pendidik.

Terus terang, ia terheran-heran, mengapa seorang bupati yang datang dari latar belakang pengusaha, masih doyan korupsi recehan yang nilainya hanya Rp 25-Rp 50 juta. Uang tersebut dia dapat dari sogokan mutasi pejabat level kecamatan saja, setingkat kepala sekolah atau kepala puskesmas begitu. Padahal, sebelumnya ia berangkat dari pengusaha sukses dengan unit usaha dimana-mana.

Politikus senior tadi berpesan, menjadi pemimpin muda harus mampu menjalankan narasi baik yang ada di otaknya. Narasi itu ia susun sebelum disumpah sebagai pemimpin muda. Ia harus mampu melawan badai, selagi apa yang diniatkannya baik.

Apakah Anda, pemimpin muda bisa menghadapi tantangan ini ?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun