Ruang sendiri memang sudah jadi ikatan yang kuat dengan lelaki itu. Itu teman terbaik dan sejatinya.Â
Siapa lagi yang bisa memberi dawuh hati kepada lelaki itu? Orang tuanya saja tak bisa. Teman apalagi. Tak ada yang bisa menggesernya dari prinsip busuk itu. Hanya ruang sendiri itu yang bisa membuat ia nyaman untuk berpikir jernih.Â
Kembali setelah menghilang tak membuatnya berubah dalam urusan asmara. Rasa yang ia tunjukkan begitu besar, namun ruangnya begitu sempit.Â
Kisahnya sudah tertera jelas. Lelaki itu sendiri yang membuatnya. Tapi lihat? Lelaki itu juga yang mengembalikannya.Â
Ia hilang. Yah, hilang.Â
Begitu lama hilang, sempat membuka pintunya untuk orang baru. Seorang gadis dengan paras menawan, senyum manis membuatnya tak segan membuka pintu yang sekian lama ia tutup.Â
Lelaki itu mudah nyaman, penyakitnya hanya tak mampu merawat. Nafsu besarnya untuk memiliki tak ia imbangi dengan tingkah laku. Semua berbanding terbalik. Apa yang ia pikirkan untuk esok hari tak bisa diungkapkannya dan hanya hinggap di kepala.Â
Hal itu berulang, siapa yang betah dengan cara seperti itu. Tak ada pembelaan. Lelaki itu jujur, perihal percaya atau tidak semua ia kembalikan ke rasa nyaman yang ia tumbuhkan sendiri.Â
Setelah Ris ia campakkan begitu saja, seseorang lainnya merasakan hal serupa dengan cara yang sama. Llaki itu tak pernah belajar? Sudah pasti begitu. Dunianya hanya boleh ia yang tahu, ia serakah, ingin lebih banyak tahu tanpa harus memberi.Â
Gelapnya hanya untuknya, ia belum berani untuk membaginya kepada orang lain, sekalipun orang tuanya.Â
Tentangmu juga tentangku, tapi tentangku hanya aku yang tahu. Mungkin saja hanya ada narasi itu di kepala lelaki itu. Tampaknya narasi itu telah ia pupuk sejak lama, hingga untuk mengikisnya perlahan sangat sulit.Â