Mohon tunggu...
Anggit Pujie Widodo
Anggit Pujie Widodo Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Orang boleh pandai setinggi langit. Tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian. ( Pramoedya Ananta Toer )

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Citra Dua Asap

1 April 2023   22:31 Diperbarui: 1 April 2023   22:32 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Tulisan Asap. (Unplash)

Cangkir bukan orang jahat, dia hanya berusaha untuk terus ada ketika dibutuhkan. Kalau saja suatu hari dia tidak ada di tempat, isi bisa memilih wadah lainnya, namun tidak merubah rasanya.

Yang berubah hanya wadahnya.

Cangkir selalu setia, jikalau suatu hari dia menghilang, tidak akan jauh. Mungkin dia sedang berada dibalik layar dan membersihkan diri. Saat sudah siap, dia akan kembali untuk menjalankan tugasnya.

Lelaki itu masih memiliki daya, dia yakin, dia adalah cangkir..

Satu sruputan kopi dalam cangkir menyentuh lidahnya. Indera perasanya bermain disana, menentukan apakah ini manis atau pahit, sesuai yang ia pesan.

Setelah beberapa lama kopi dalam cangkir terus ia pandangi hingga mendingin, baru Lelaki itu berani untuk menyentuh dan menikmatinya.

Begitulah caranya untuk menikmati secangkir kopi. Jika sebagian orang berpikir menikmati kopi selagi masih hangat merupakan kenyamanan, baginya tidak.

Lelaki itu punya jalan pikiran berbeda. Ia berpikir jika kopi juga butuh proses untuk menyerap semuanya, mulai dari bubuk, gula dan air panas.

Jika terlalu kental, sarinya akan menempel di bibir, namun jika cair, akan lebih mudah dan halus mengetuk tenggorokan.

Jangan heran, Lelaki itu memang berbeda, dia lebih suka sendiri, merenung dan tidak suka mengabadikan pribadinya. Mungkin sesekali, tapi tidak utuh, syair syair otodidak yang muncul di kepalanya jadi teman sejatinya.

Kebebasannya dari kelamnya masa lalu, membuat hatinya lega, meskipun tidak begitu lega. Ada hari esok yang coba ia gapai dengan harap baru. Jadwal sudah tersusun, hanya menunggu langkah untuk memulai semuanya.

Setelah satu sruputan itu, ia menaruh kembali cangkir kopinya bersanding dengan lepek. Ia biarkan kopi itu terbuka dan tak ditutupinya. Biasanya, ia selalu menutup atas cangkir dengan lepek, sesuai ia sruput kopi itu.

Bukan tanpa alasan, Lelaki itu beranggapan, jika jalan barunya baru saja dimulai dari secangkir kopi.

Dulu cangkir ia tutup, kini ia biarkan terbuka, membebaskan asap mengepul kemanapun, tanpa membatasinya dan memaksakan didalam cangkir untuk tetap menghangatkan.

Dulu sering ia lakukan, namun, kini ia tersontak kaget, jika ia pernah memaksakan kehendak ke kopi untuk tetap hangat, padahal, takdirnya tetap menuju dingin.

Jalan barunya sudah ia mulai dengan hal paling sederhana, mungkin tak pernah terpikirkan sebagian orang. Hanya dia yang punya pikiran dangkal seperti itu. Tapi yasudah, kalaupun ada yang berkomentar, toh juga hanya jadi angin lalu saja.

Kopi itu sudah berada kembali di tempatnya. Setelah itu ia diam sejenak, kemudian tangan kanannya mulai merogoh tas kecil yang selalu ia tenteng kemanapun. Hanya tangannya yang bergerak, sorot matanya tegak lurus kedepan.

Tangannya terus merogoh isi tas, entah apa yang sedang ia cari. Setelah mencarinya tanpa melihat, beberapa saat kemudian, akhirnya ia mendapatkan apa yang ia cari didalam tas, korek.

Korek sudah ditangannya, ia mainkan sejenak, 'tak-tek-tak-tek-tak-tek'

Ia nyalakan api, kemudian dimatikan, nyalakan lagi, matikan lagi. Mungkin itu ritual sebelum Lelaki itu masuk ke bagian paling dahsyat.

Tak lama, tangan kirinya merogoh kantong jaket yang ia pakai. Tak seperti mencari korek yang membutuhkan waktu, ia langsung mendapatkan apa yang ia cari, rokok.

Sebelum ia buka, ia goyang-goyang rokok tersebut, mengecek apakah isinya masih banyak atau tinggal sebatang.

Sama saat memainkan korek, baginya itu sebuah ritual khusus. Setelah digoyangkan beberapa kali, ia memastikan rokoknya masih ada 5 batang, meskipun ia belum membukanya.

Lelaki itu hanya menerka, biasanya terkaannya benar, karena sudah terbiasa ia lakukan. Ia buka rokok tersebut, saat itu ia melihat isi rokoknya ternyata masih ada 6 batang. Terkaannya salah, ia menyarankan diri sendiri, meskipun ada sedikit rasa bahagia.

'Walah, ternyata masih ada 6, berarti tadi nebaknya salah' ucapnya menggerutu sendiri.

Satu batang rokok ia keluarkan dari bungkusnya, tangan kirinya bekerja, sembari berkoneksi dengan tangan kanan yang siap menyalakan korek api.

Satu batang rokok itu sudah ia ikat diantara kedua tepi bibirnya, tangan kanannya kali ini bekerja. Korek api ia nyalakan, dan menempel di sudut rokok, ia tarik nafas sembari menyalakan sebatang rokok itu, dan busssshhh..

Kepulan asap keluar, ia tarik nafas dalam, Lelaki itu menikmati suasananya. Kepulan asap bebas mengudara, arah asapnya mengarah kemanapun. Batinnya tenang, raganya santai. Satu yang ada didalam pikirannya saat itu.

'Asap rokok itu kubiarkan bebas sejak dulu, tapi kenapa kepulan asap kopi itu tak kubiarkan bebas sejak dulu?' tanyanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun