'Kopinya mas," kata pelayan yang mengantarkan pesanan kopi pesanan sambil sedikit tersenyum.
'Ouh iya, taroh situ aja mas, makasih yah," Lelaki itu balik melemparkan senyuman.Â
Salam basa basi warung kopi yang biasa terjadi. Bisa menghangatkan hubungan dua orang yang belum saling kenal, hanya dari kopi.Â
Kopinya masih panas, Lelaki tidak langsung menyentuh tubuh cangkir, hanya ia pandangi, setiap kepulan asap yang membawa aroma biji kopi yang sudah alur dengan air panas.Â
Warna hitam pekat pada kopi itu, mengingatkan pada masa lalunya yang penuh dengan titik gelap. Kopi hitam di dalam cangkir putih. Melukai si cangkir dengan goresan hitam.Â
Arah sorot matanya terus menghadap cangkir yang terisi kopi. Tidak ada raut sedih. Wajahnya datar, di pikirannya hanya ada satu yang terus melayang.Â
'Aku dulu begini," katanya dalam hati.Â
Lelaki itu membayangkan, cangkir putih yang terisi kopi itu, bulan hanya bisa diisi oleh Kopi. Bisa saja susu, atau air putih biasa, tidak ada yang tahu, cangkir itu mau di isi apa.Â
Tidak ada juga yang tahu, apa jadinya jika cangkir itu tidak terisi hari ini. Namun, yang diyakini, setiap hari cangkir itu akan selalu bekerja siang dan malam.Â
Tanpa henti, tanpa istirahat. Jika dia diperlukan akan selalu hadir. Tapi jika tidak, cangkir itu akan tetap pada posisi awalnya dan tidak akan kemana-mana. Yang pergi, hanya isinya, namun wadahnya tidak akan pernah beralih.Â
Otak nya terus bergerak, dari secangkir kopi, dia merasa menemukan kisahnya di masa kelam. Rasa-rasanya, dia adalah cangkir putih yang terisi kopi dan merusak keindahan cangkir itu sendiri.Â