Corona  Virus  Disease  2019  atau yang sering disebut dengan COVID-19 merupakan penyakit yang diidentifikasikan penyebabnya adalah virus Corona yang menyerang saluran pernapasan manusia. Penyakit ini pertama kali dideteksi kemunculannya di Wuhan, Tiongkok. Sebagaimana diketahui bahwa SARS-Cov-2 bukanlah jenis virus baru. Akan tetapi dalam penjelasan ilmiah suatu virus mampu bermutasi membentuk susunan genetik yang baru, singkatnya virus tersebut tetap satu Corona  Virus  Disease  2019. memberikan risiko yang besar bagi kesehatan seluruh masyarakat serta merenggut banyak korban jiwa di berbagai belahan penjuru dunia, salah satunya Negara Indonesia.
Selain itu, Corona Virus Disease 2019 juga  secara  nyata  telah  mengganggu kestabilan  ekonomi  dan memberikan implikasi besar bagi perekonomian negara-negara di seluruh penjuru dunia, terutama Negara Indonesia. . Kestabilan perekonomian global diperkirakan akan menurun mulai dari 3%  menjadi 1,5% bahkan dapat menjadi lebih rendah dari pada itu.  Salah satu implikasinya berupa penurunan pertumbuhan ekonomi di Negara Indonesia yang diperkirakan dapat mencapai 4%, hal tersebut tergantung seberapa lama dan seberapa parah penyebaran pandemi COVID-19 memberikan pengaruh terhadap kegiatan masyarakat dan aktivitas ekonomi.
Pada sector atau perusahaan swasta, pandemi COVID  19 pun memberikan dampak yang besar. Dampak yang ditimbulkan ialah tidak sedikit pengusaha swasta  dipaksa untuk  mengurangi bahkan menghentikan kegiatan  usahanya. Hal ini  mengartikan bahwa akan terjadi pengurangan para pekerja atau pemutusan Hubungan Kerja,dan juga memaksa pekerja untuk Work  From  Home (WFH) atau  tidak  bekerja  sama  sekali (PHK). Sehingga terjadi pengurangan atau pemberhentian sumber nafkah pekerja / buruh dan keluarganya. Akibat dari Pandemi COVID 19, bagi Pemerintah Pemutusan  Hubungan Kerja adalah bertambahnya jumlah pengangguran yang nantinya akan  menimbulkan keresahan sosial.
Akan tetapi, di masa ini secara resmi, sebagai contoh pada pemerintah DKI Jakarta masih memberikan izin kepada sektor-sektor industri untuk tetap beroperasi di tengah-tengah ancaman penularan Covid 19 (Peraturan Gubernur Nomor 33 Tahun 2020). Sektor -sektor tersebut antara lain: Sektor kesehatan, pangan, makanan, dan minuman, energi, komunikasi, jasa, media komunikasi, keuangan perbankan termasuk pasar modal, logistik dan distribusi barang, retail seperti warung, toko kelontong dan industri strategis lainnya. Namun, apabila memang terpaksa harus masuk bekerja karena masuk dalam 8 sektor industri yang harus tetap beroperasi, maka pengusaha harus secara penuh tanggungjawab memperhatikan hak-hak pekerja yang WFO terutama hak kesehatan bagi pekerja yang dijamin dalam konstitusi kita.Para pekerja yang bekerja di 8 sektor tersebut mau tidak mau, harus rela masuk kerja seperti biasanya (work from office/WFO) di kala sektor-sektor lain harus berhenti beroperasi dan karyawannya bekerja dari rumah (work from home/WFH).
Demi menghadapi  krisis yang diakibatkan oleh wabah virus corona, tepat pada  tanggal  31  Maret  2020,  Presiden  Joko  Widodo  telah  menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2020 yang berjudul "Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Desease 2019 (Covid-19) dan/atau  dalam  rangka  Menghadapi  Ancaman  yang  Membahayakan  Perekonomian Nasional  dan/atau  Stabilitas  Sistem  Keuangan".Â
Jika  diperhatikan  dengan  seksama, PERPU tersebut dapat dipandang sebagai contoh penerapan "omnibus law" di Negara Indonesia, bahkan mendahului pembahasan rancangan UU yang memang ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia sebagai "omnibus law" pertama dalam sejarah. Namun,  PEPRU  Nomor  1  Tahun  2020  belum  sepenuhnya terkait dengan dunia ketenagakerjaan. Sebab, urusan terkait dengan tenaga kerja sepenuhnya berada di tangan  perusahaan  dan  sangat beresiko untuk  menimbulkan kesewenang-wenangan perusahaan tehadap para pekerjanya. Terutama pekerja yang tetap masuk selama masa PSBB secara hukum harus dilindungi dan tidak boleh diabaikan hak kesehatannya oleh Pengusaha/ Pemberi Kerja yang rentan karena tetap bekerja di masa yang sulit ini.
a.Perlindungan Status Kerja dan Pengupahan Tenaga Kerja
Penerapan perlindungan hukum terhadap pekerja dalam masa pandemi covid 19, dipraktekkan dalam berbagai kebijakan sebagai bentuk dari perlindungan terhadap pekerja/buruh. Sebagai contoh, Â diterbitkannya SE Nomor M/3/HK.04/III/2020 tentang perlindungan pekerja/buruh dan kelangsungan usaha dalam rangka pencegahan dan penanggulangan covid 19.
Dalam SE Menaker ini, Gubernur diminta untuk melaksanakan perlindungan pengupahan bagi pekerja/buruh terkait pandemi covid 19 serta mengupayakan pencegahan, penyebaran dan penanganan kasus terkait Covid-19 di lingkungan kerja, ketentuan dari  SE Menaker ini yaitu:
a) Bagi pekerja/buruh yang dikategorikan sebagai orang dalam pemantauan (ODP) covid19 berdasarkan keterangan dokter sehingga tidak dapat masuk kerja paling lama 14 hari, atau sesuai standar kementrian kesehatan, maka upahnya dibayarkan secara penuh.
b) Bagi pekerja/buruh yang dikategorikan kasus suspek covid 19 dan dikarantina/diisolasi menurut keterangan dokter maka upahnya dibayarkan secara penuh selama menjalani masa karantina sosial.
c) Bagi pekerja/buruh yang tidak masuk kerja karena sakit covid 19, dan dibuktikan dengan keterangan dokter, maka upahnya dibayarkan sesuai dengan peraturan perundangundangan.
d) Bagi perusahaan yang melakukan pembatasan kegiatan akibat kebijakan pemerintah di daerah masing-masing guna pencegahan dan penanggulangan covid-19, sehingga menyebabkan sebagian atau seluruh pekerja/buruhnya tidak masuk kerja dengan mempertimbangkan kelangsungan usaha maka perubahan besaran maupun cara pembayaran upah pekerja/buruh dilakukan sesuai dengan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja buruh
Â
1)Pencegahan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
Â
Pemutusan hak kerja yang terjadi di masa pandemic covid 19, menyebabkan banyak pekerja kehilangan pekerjaanya dan berpengaruh pada kesejahteraan pekerja terutama hak-hak normatif pekerja. Salah satu contohnya ialah di perusahaan PT Dharma Indah yang turut mengalami kerugian akibat pengaruh dari pandemi covid 19. Perusahaan yang usahanya bergerak di bidang transportasi, terkhususnya menyediakan jasa transportasi antar laut harus mengalami penurunan omset yang disebabkan karena tidak adanya pemasukan, dikarenakan kapal kapal yang menjadi pion utama pendapatan dari perusahaan ini tidak beroperasi.
Jika  semua  upaya  telah  dilakukan,  tetapi  PHK juga  tidak  dapat terhindarkan,  maka  maksud dari  PHK  wajib  dirundingkan  oleh  pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh  yang  bersangkutan  tidak  menjadi  anggota  serikat pekerja/serikat buruh. Pemerintah dalam situasi Pandemi COVID-19 meminta pengusaha tidak melakukan PHK, terutama di sektor-sektor yang rentan terdampak pandemi COVID-19.Â
Sutrisno Iwantono, Ketua Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha Indonesia,  mengatakan  bahwa  imbauan  untuk  tidak  melakukan  PHK terdaat sediit kendala  untuk  diterapkan.  Terutama jika perusahaan mengalami kerugian, PHK menjadi hal  yang paling mungkin untuk dilakukan oleh pelaku usaha untuk menekan deficit keuangan perusahaan. Pada sisi yang berbeda, Ida Fauziyah selaku Menteri Ketenagakerjaan, mengatakan bahwa  yang  dibutuhkan  adalah  kerja sama antara pemilik dengan pekerja/buruh untuk melakukan dialog  sosial  demi  mencari  solusi  terbaik  dan  menghindari  PHK. Sehingga dalam  rangka  menghindari  PHK, Kementerian  Ketenagakerjaan berhasil  menerbitkan  Surat  Edaran  Menteri  Ketenagakerjaan  Nomor M/3/HK.04/III/2020 Tahun 2020 tentang Perlindungan Pekerja/Buruh dan Kelangsungan Usaha dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan COVID-19.
      2) Ketentuan  Ganti  Rugi  bagi  Pekerja  dengan  Perjanjian  Kerja Waktu Tertentu ("PKWT")
Dalam  ranah pekerja yang menggunakan sistem  PKWT,  apabila diantara  salah satu  pihak  mengakhiri  hubungan  kerja  sebelum  berakhirnya jangka waktu  yang telah disepakati dalam  PKWT  atau  berakhirnya  hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,  maka yang terjadi ialah  pihak yang  mengakhiri  hubungan  kerja diwajibkan membayar biaya ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai pada batas waktu berakhirnya perjanjian kerja tersebut. Berdasarkan  dari ulasan diatas,  seorang  pekerja/buruh  PKWT memiliki hak untuk mendapatkan ganti atas kerugian ketika nantinya terjadi PHK secara sepihak di tengah masa kontrak mereka. Terkait dengan proses pengajuan PHK juga wajib tunduk pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
Uwiyono, Aloysius. 2020. Pemutusan Hubungan Kerja  Sepihak Akibat  Pandemi COVID 19. Jakarta: Kepri Lawyears Club Indonesia.
Pesulima, T. L., & Hetharie, Y. (2020). Perlindungan Hukum Terhadap Keselamatan Kerja Bagi Tenaga Kesehatan Akibat Pandemi Covid-19. Sasi, 26(2), 280-285.
Prajnaparamitha, K., & Ghoni, M. R. (2020). Perlindungan Status Kerja Dan Pengupahan Tenaga Kerja Dalam Situasi Pandemi COVID-19 Berdasarkan Perspektif Pembaharuan Hukum. Administrative Law and Governance Journal, 3(2), 314-328.
Hatane, K., Alfons, S. S., & Matitaputty, M. I. (2021). Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Di Masa Pandemi Covid-19. TATOHI: Jurnal Ilmu Hukum, 1(3), 265-275.
Rahmatullah, I. (2020). Jaminan Hak Kesehatan Pekerja Work From Office Selama Masa PSBB Covid-19. ADALAH, 4(1).
Anggita Saphira
1405619067
Pendidikan Sosiologi A 2019Â
Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negri Jakarta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H