Mohon tunggu...
Anggita Meylinda (FISIP UMJ)
Anggita Meylinda (FISIP UMJ) Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa - UMJ

Nama : Anggita Meylinda, NPM : 22010200004, Prodi : Administrasi Publik, Fakultas : Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Universitas : Universitas Muhammadiyah Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tinjauan Kritis Kontroversi Pemindahan Ibu Kota, Dampak, Potensi, dan Tantangan terhadap Otonomi Daerah Khusus Jakarta

16 Mei 2024   01:24 Diperbarui: 16 Mei 2024   01:37 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
PDRB Berdasarkan Lapangan Usaha Provinsi di Kalimantan (Sumber: Purnama & Chotib, 2023) 

Pada tahun 2019, pemerintah Indonesia mengumumkan rencana ambisius untuk memindahkan ibu kota negara dari Jakarta ke wilayah Kalimantan. Keputusan ini memicu gelombang diskusi dan perdebatan yang luas di berbagai kalangan masyarakat, termasuk warga Jakarta dan pemerintah daerah setempat. Salah satu aspek yang menjadi sorotan utama adalah dampak yang akan ditimbulkan terhadap otonomi daerah Daerah Khusus Jakarta. Namun, sejarah gagasan pemindahan ibu kota Indonesia bukanlah hal yang baru. Ide ini pertama kali diajukan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 17 Juli 1957. 

Soekarno melihat Palangkaraya, sebuah kota di Kalimantan Tengah, sebagai kandidat ideal untuk menjadi ibu kota negara baru. Alasannya adalah karena letaknya yang strategis di tengah-tengah kepulauan Indonesia dan luas wilayahnya yang mencakup potensi pembangunan yang besar. Soekarno juga ingin menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia mampu membangun ibu kota yang modern dan representative.

Meskipun gagasan Soekarno tidak pernah terealisasi, Jakarta kemudian ditetapkan sebagai ibu kota Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1964 pada tanggal 22 Juni 1964. Seiring berjalannya waktu, wacana pemindahan ibu kota muncul kembali, terutama pada era Orde Baru di tahun 1990-an. Pada saat itu, terdapat beberapa opsi yang diajukan, mulai dari tetap mempertahankan Jakarta sebagai ibu kota namun melakukan pembenahan, hingga memindahkan pusat pemerintahan ke daerah lain, bahkan hingga opsi membangun ibu kota baru. 

Pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, wacana pemindahan ibu kota juga mencuat kembali sebagai respons terhadap masalah kemacetan dan banjir yang melanda Jakarta. Tiga opsi yang diusulkan pada saat itu mencerminkan berbagai pertimbangan strategis, namun tidak ada tindakan konkret yang diambil.

Baru pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, rencana pemindahan ibu kota diambil dengan serius. Pada tanggal 29 April 2019, Presiden Jokowi secara resmi mengumumkan keputusan untuk memindahkan ibu kota negara ke luar pulau Jawa, dengan pencantuman dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. 

Langkah ini dianggap sebagai tonggak sejarah bagi bangsa Indonesia dalam merespons tantangan perkembangan wilayah dan keberlanjutan pembangunan. Pada tanggal 18 Januari 2022, momentum sejarah tercapai dengan disahkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Ibu Kota Negara menjadi Undang-Undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dan pemerintah. Maka dari itu, Indonesia secara resmi akan memiliki ibu kota negara yang baru, yang akan menggantikan Jakarta dalam fungsi-fungsi kenegaraan.

Selama masa pemerintahan Hindia-Belanda, Jakarta tidak hanya menjadi pusat administrasi kolonial, tetapi juga menjadi pusat perdagangan yang penting. Kondisi ini tidak hanya memberikan manfaat dalam hal pembangunan infrastruktur untuk kebutuhan administratif, tetapi juga dalam pembangunan infrastruktur yang mendukung aktivitas perdagangan. Gabungan ini menciptakan hubungan yang erat antara administrasi pemerintahan dan kegiatan perdagangan, yang memberikan manfaat tidak hanya dari segi ekonomi, tetapi juga secara sosial dan politik. 

Setelah kemerdekaan Indonesia, pola pembangunan yang mengintegrasikan fungsi administrasi dan perdagangan di Jakarta tetap dipertahankan. Jakarta, yang dikenal sebagai Batavia pada masa pemerintahan Hindia-Belanda, telah menjadi pusat administrasi dan perdagangan yang penting, dengan berbagai infrastruktur kota yang telah dibangun dengan baik untuk mendukung aktivitas pemerintahan dan perdagangan. Seiring berjalannya waktu, Jakarta dijadikan ibu kota negara sebagai hasil dari sejarah panjang dan peran pentingnya dalam proses kemerdekaan Indonesia.

Meskipun pada awal kemerdekaan sempat terjadi pengalihan ibu kota ke Yogyakarta atas pertimbangan politik dan keamanan, namun Jakarta tetap menjadi ibu kota negara hingga saat ini. Namun, Jakarta sebagai ibu kota negara juga menyisakan tantangan tersendiri. Sejak masa pemerintahan Hindia-Belanda hingga saat ini, telah muncul pandangan akan keterbatasan Jakarta sebagai ibu kota. Pemikiran untuk memindahkan ibu kota telah muncul sejak masa pemerintahan Hindia-Belanda dan terus berlanjut hingga saat ini. 

Berbagai alasan menjadi dasar dari keinginan untuk memindahkan ibu kota, yang telah mencakup pertimbangan politik, sosial, dan ekonomi. Pada era reformasi, pemikiran untuk memindahkan ibu kota mencuat kembali dengan alasan-alasan yang berbeda. Salah satunya adalah untuk menciptakan pemerataan ekonomi dan pembangunan dengan mengembangkan daerah di luar pulau Jawa. Selain itu, terdapat keinginan untuk menciptakan ibu kota yang lebih kondusif dan akomodatif untuk penyelenggaraan pemerintahan yang berbasis pada prinsip tata kelola yang baik, bersih, dan professional.

Dalam mengamati rencana yang mendalam dan tindakan cepat Presiden Jokowi untuk memindahkan Ibu Kota Negara (IKN) ke Kalimantan, penting untuk memahami urgensi di balik keputusan tersebut. Pertama, urgensi ini muncul dari kebutuhan untuk menghadapi tantangan masa depan. Sesuai dengan Visi Indonesia 2045, yang bertujuan mencapai status Indonesia sebagai negara maju, diproyeksikan bahwa ekonomi Indonesia akan menjadi salah satu dari lima terbesar di dunia pada tahun 2045, dengan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) per kapita sebesar US$ 23.119. Untuk mencapai visi tersebut, diperlukan transformasi ekonomi yang mendalam, didukung oleh hilirisasi industri, penguatan sumber daya manusia, infrastruktur yang memadai, penyederhanaan regulasi, dan reformasi birokrasi. Transformasi ini dimulai dari periode 2020 hingga 2024. Maka, diperlukan IKN yang dapat menjadi katalisator bagi transformasi ekonomi tersebut.

Kedua, IKN juga harus mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan merata, termasuk di Kawasan Timur Indonesia. Sejarah menunjukkan bahwa Jakarta dan sekitarnya telah menjadi pusat segala aktivitas, baik dalam bidang pemerintahan, politik, industri, perdagangan, investasi, teknologi, dan budaya. Namun, konsentrasi aktivitas ini telah menyebabkan ketidakmerataan pembangunan dan kesejahteraan di Indonesia, dengan mayoritas perputaran uang terpusat di Jakarta yang memiliki luas yang sangat terbatas dibandingkan dengan total luas daratan Indonesia. Kondisi ini tidak sehat untuk pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, menyebabkan penyalahgunaan potensi daerah yang belum optimal, kurangnya keadilan antara daerah, dan meningkatnya risiko terhadap kesatuan dan persatuan bangsa. Oleh karena itu, IKN baru di Kalimantan diharapkan dapat menjadi pusat gravitasi ekonomi baru di Indonesia, khususnya di kawasan tengah dan timur, serta menciptakan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru dan memaksimalkan potensi sumber daya daerah.

Ketiga, kondisi objektif Jakarta yang tidak lagi cocok sebagai IKN menambah urgensi pemindahan tersebut. Jakarta menghadapi berbagai tantangan, seperti kepadatan penduduk yang luar biasa tinggi, kemacetan lalu lintas yang parah, dan masalah lingkungan yang serius, termasuk banjir tahunan dan penurunan tanah yang mengakibatkan beberapa wilayah berada di bawah permukaan laut. Pemindahan IKN dari Jakarta ke Kalimantan, diharapkan dapat mengurangi beban yang harus ditanggung Jakarta dan mengatasi berbagai masalah yang mengganggu tersebut. Meskipun urgensi pemindahan ibu kota telah dipahami, namun masih banyak kontroversi yang muncul sebagai akibat dari keputusan tersebut.

Penggunaan data PDRB berdasarkan lapangan usaha provinsi di Kalimantan memberikan gambaran tentang potensi ekonomi di wilayah yang diusulkan sebagai ibu kota baru. Menariknya, dari data tersebut terlihat bahwa Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) lima provinsi di Kalimantan mengalami pertumbuhan yang signifikan dalam dekade terakhir. Pada tahun 2010, total PDRB lima provinsi tersebut mencapai Rp646,11 triliun, sementara pada tahun terakhir yang tersedia, yakni 2020, jumlahnya meningkat hampir dua kali lipat menjadi Rp1.228,89 triliun. 

Ini menunjukkan bahwa ekonomi Kalimantan telah mengalami perkembangan yang pesat dalam periode waktu tersebut. Kalimantan Timur menonjol sebagai provinsi dengan PDRB terbesar di Kalimantan, mencapai Rp638,11 triliun. Provinsi ini memiliki kontribusi yang signifikan, menyumbang lebih dari separuh total PDRB Kalimantan. Di sisi lain, Kalimantan Utara merupakan yang memiliki PDRB terkecil di antara lima provinsi tersebut. Perbandingan ini menggambarkan variasi dalam potensi ekonomi antara provinsi-provinsi di Kalimantan.

Dalam pemindahan ibu kota, data ini memberikan gambaran tentang potensi ekonomi yang bisa dimanfaatkan di wilayah yang diusulkan sebagai lokasi baru. Pertumbuhan yang signifikan dalam PDRB Kalimantan menunjukkan adanya peluang untuk mengembangkan infrastruktur dan meningkatkan investasi di wilayah tersebut. Namun, penting untuk diingat bahwa keberhasilan pemindahan ibu kota tidak hanya ditentukan oleh potensi ekonomi semata. Aspek-aspek lain seperti infrastruktur, sosial, dan politik juga perlu dipertimbangkan dengan cermat. Sementara itu, jika kita melihat PDRB Jakarta, data menunjukkan angka yang cukup stabil dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2020, PDRB Jakarta mencapai Rp468.215.996 triliun, sedangkan pada tahun 2021, angkanya mencapai Rp477.376.955 triliun. Meskipun ada fluktuasi kecil dari triwulan ke triwulan, namun secara keseluruhan, PDRB Jakarta menunjukkan konsistensi yang cukup baik .

Perbandingan antara PDRB Kalimantan dan PDRB Jakarta menunjukkan bahwa Kalimantan memiliki potensi ekonomi yang besar yang dapat menjadi landasan untuk pembangunan ibu kota baru. Namun, hal ini tidak berarti bahwa Jakarta secara otomatis akan mengalami penurunan dalam hal potensi ekonomi atau otonomi. Sebagai pusat keuangan dan bisnis nasional, Jakarta memiliki ekosistem ekonomi yang mapan dan masih memiliki daya tarik bagi investasi dan bisnis. Dalam otonomi, pemindahan ibu kota dapat memiliki dampak yang kompleks bagi Jakarta. 

Meskipun pemindahan ibu kota dapat mengurangi beban Jakarta dalam hal kepadatan penduduk dan mobilitas, namun hal ini juga dapat mengurangi peran Jakarta sebagai pusat politik dan administrasi nasional. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah dan pemangku kepentingan untuk mempertimbangkan secara cermat dampak pemindahan ibu kota terhadap otonomi Jakarta dan upaya apa yang dapat dilakukan untuk menjaga keseimbangan antara kedua entitas ini.

Presiden Joko Widodo telah mengungkapkan lima alasan utama pemilihan Kalimantan sebagai Ibu Kota Negara. Pertama, Kalimantan dianggap memiliki risiko bencana alam yang minimal, termasuk banjir, tsunami, kebakaran hutan, gunung merapi, dan tanah longsor. Kedua, lokasinya yang strategis dan terletak di tengah-tengah Indonesia. Ketiga, Kalimantan berdekatan dengan wilayah perkotaan yang sudah berkembang seperti Balikpapan dan Samarinda. Keempat, infrastrukturnya dianggap relatif lengkap. Dan kelima, tersedia lahan yang dikuasai pemerintah seluas 180 ribu hektar. 

Namun, ketika ditelusuri lebih dalam, kelima alasan tersebut lebih didasarkan pada aspek geografis. Namun demikian, potensi bencana alam di Kalimantan Timur cukup tinggi, dengan sekitar 60,34 persen potensi banjir terjadi di provinsi tersebut. Selain itu, potensi gempa dan tsunami juga menjadi perhatian, terutama dengan adanya tiga titik sesar di bawah laut. Oleh karena itu, perbandingan dengan beberapa opsi daerah lainnya berdasarkan aspek geografis menjadi penting dalam penunjukan Ibu Kota Negara .

Perbandingan Jumlah Bencana Alam pada Tahun 2018 dan 2021 (Sumber: Purnama & Chotib, 2023)
Perbandingan Jumlah Bencana Alam pada Tahun 2018 dan 2021 (Sumber: Purnama & Chotib, 2023)

Perbandingan dengan daerah-daerah khusus lainnya seperti Aceh, Yogyakarta, dan Jakarta menunjukkan bahwa Daerah Khusus Jakarta memiliki potensi bencana alam yang lebih rendah dibandingkan dengan hampir seluruh provinsi di Kalimantan. Data menunjukkan bahwa Daerah Khusus Jakarta hanya mengalami sedikit bencana alam, seperti banjir, tanah longsor, dan gempa bumi, jika dibandingkan dengan Kalimantan Timur yang menghadapi bencana dalam jumlah yang jauh lebih besar. Terlepas dari alasan geografis, Jakarta telah menunjukkan kemampuannya dalam mengatasi beberapa masalah yang dikhawatirkan akan semakin memburuk jika ibu kota dipindahkan. Tingkat kemacetan di Jakarta menurun, begitu juga dengan bencana banjir yang semakin berkurang. Hal ini menunjukkan bahwa Jakarta masih mampu mengatasi permasalahan yang dihadapinya. Oleh karena itu, pemindahan Ibu Kota Negara masih menjadi topik yang kontroversial. Beberapa masyarakat meragukan keputusan ini, terutama mengingat potensi bencana alam yang tinggi di Kalimantan Timur. Selain itu, masih ada pertimbangan lain terkait potensi perekonomian yang dapat digagas dengan memindahkan beberapa pusat perekonomian ke luar Jakarta. Hal ini menjadi salah satu argumen yang muncul dalam diskusi seputar pemindahan ibu kota.

Pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan tentu akan memiliki dampak yang signifikan terhadap otonomi Daerah Khusus Jakarta. Beberapa dampak yang mungkin terjadi antara lain:

1.Pemindahan ibu kota dapat menggeser fokus pusat pemerintahan dan kekuasaan dari Jakarta ke ibu kota baru di Kalimantan. Hal ini dapat mengurangi peran Jakarta sebagai pusat politik dan administrasi nasional, serta berpotensi mengurangi kemandirian dalam pengambilan keputusan lokal.

2.Sebagai ibu kota negara, Jakarta menerima alokasi anggaran yang signifikan untuk mendukung fungsi-fungsinya. Pemindahan ibu kota dapat menyebabkan pemangkasan anggaran untuk Jakarta, karena fokus pemerintah pusat akan beralih ke pembangunan infrastruktur dan layanan publik di ibu kota baru.

3.Pemindahan ibu kota dapat mengakibatkan perubahan besar dalam infrastruktur Jakarta. Mungkin akan ada penurunan investasi dalam pembangunan infrastruktur di Jakarta, sementara infrastruktur di ibu kota baru di Kalimantan akan mendapat perhatian lebih besar.

4.Pemindahan ibu kota dapat mempengaruhi demografi Jakarta. Kemungkinan besar akan terjadi migrasi penduduk dari Jakarta ke ibu kota baru di Kalimantan, baik oleh warga sipil maupun pegawai pemerintah. Hal ini dapat mengubah struktur sosial dan ekonomi Jakarta.

5.Pemindahan ibu kota dapat mempengaruhi dinamika politik di Jakarta. Pergeseran fokus politik ke ibu kota baru dapat mengubah lanskap politik di Jakarta, baik dalam hal partisipasi politik, kepemimpinan, maupun agenda-agenda politik lokal.

6.Meskipun pemindahan ibu kota dapat mengurangi tekanan pembangunan di Jakarta, namun hal ini juga dapat mengurangi perhatian terhadap pengembangan wilayah Jakarta. Proyek-proyek pembangunan dan revitalisasi wilayah mungkin akan mengalami penundaan atau pengurangan.

7.Dalam jangka pendek, pemindahan ibu kota dapat memberikan dampak negatif terhadap ekonomi Jakarta. Pemindahan infrastruktur, pengurangan anggaran, dan perubahan demografi dapat mempengaruhi sektor-sektor ekonomi lokal seperti perdagangan, jasa, dan properti.

Adapun potensi pemindahan ibu kota terhadap otonomi Daerah Khusus Jakarta dapat bervariasi, tergantung pada bagaimana pemindahan tersebut direncanakan, diimplementasikan, dan dikelola. Beberapa potensi yang mungkin timbul adalah:

1.Pemindahan ibu kota dapat memberikan kesempatan untuk memperluas otonomi Jakarta dalam beberapa aspek. Dengan pemerintah pusat yang memusatkan perhatian pada pembangunan ibu kota baru di Kalimantan, Jakarta mungkin mendapatkan lebih banyak kewenangan dalam mengelola urusan lokalnya sendiri tanpa campur tangan yang berlebihan dari pemerintah pusat.

2.Jakarta dapat memanfaatkan pemindahan ibu kota sebagai kesempatan untuk mengembangkan sumber daya manusianya. Pemerintah daerah dapat fokus pada peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan tenaga kerja untuk menghadapi perubahan demografi dan kebutuhan ekonomi yang terkait dengan pemindahan ibu kota.

3.Pemindahan ibu kota dapat mendorong pembangunan infrastruktur yang lebih baik di Jakarta. Karena fokus pembangunan pusat pemerintahan baru, Jakarta dapat memanfaatkan kesempatan ini untuk meningkatkan kualitas infrastruktur publik seperti transportasi, jaringan listrik, air bersih, dan sanitasi.

4.Meskipun pemindahan ibu kota dapat mengurangi peran Jakarta sebagai pusat administrasi nasional, namun Jakarta tetap memiliki potensi untuk menjadi pusat ekonomi dan bisnis yang kuat. Melalui strategi pengembangan ekonomi yang tepat, Jakarta dapat memanfaatkan infrastruktur dan sumber daya manusia yang ada untuk menarik investasi dan memperkuat sektor-sektor ekonomi kreatif dan inovatif.

5.Pemindahan ibu kota dapat memperkuat identitas lokal dan kebanggaan warga Jakarta terhadap kota mereka. Dengan pemerintah pusat yang beralih ke ibu kota baru, Jakarta dapat fokus pada memperkuat budaya dan kearifan lokal serta mempromosikan keunggulan-keunggulan yang dimiliki oleh Jakarta.

6.Dengan perhatian yang berkurang dari pemerintah pusat, Jakarta dapat memanfaatkan kesempatan ini untuk meningkatkan kualitas hidup penduduknya. Langkah-langkah seperti peningkatan akses terhadap layanan kesehatan, pendidikan, dan perumahan yang terjangkau dapat menjadi prioritas untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Jakarta.

7.Pemindahan ibu kota juga dapat membuka peluang untuk kolaborasi antara Jakarta dan ibu kota baru di Kalimantan. Kerja sama dalam berbagai bidang seperti ekonomi, budaya, dan lingkungan dapat memperkuat kedua wilayah tersebut dan memberikan manfaat bagi masyarakatnya.

Pemindahan ibu kota juga dihadapkan pada berbagai tantangan. Berikut adalah beberapa tantangan yang mungkin timbul:

1.Sebagai pusat administrasi nasional, Jakarta memiliki peran politik dan administratif yang sangat penting. Pemindahan ibu kota dapat mengurangi peran dan kekuatan politik Jakarta, karena sebagian besar aktivitas pemerintahan akan dipindahkan ke ibu kota baru di Kalimantan. Hal ini dapat mengurangi otonomi Jakarta dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan urusan lokalnya sendiri.

2.Pemindahan ibu kota dapat berdampak negatif terhadap PAD Jakarta. Sebagai pusat bisnis dan perdagangan, Jakarta menghasilkan sejumlah besar pendapatan dari sektor-sektor seperti properti, perbankan, dan pariwisata. Penurunan aktivitas ekonomi dan investasi di Jakarta akibat pemindahan ibu kota dapat mengakibatkan penurunan pendapatan asli daerah, yang pada gilirannya dapat mengganggu keberlanjutan keuangan Jakarta.

3.Jakarta sudah menghadapi berbagai masalah sosial dan infrastruktur yang kompleks, seperti kemacetan lalu lintas, kepadatan penduduk yang tinggi, dan banjir tahunan. Pemindahan ibu kota dapat meningkatkan tekanan pada infrastruktur dan layanan publik yang sudah ada di Jakarta, karena potensi peningkatan migrasi dan peningkatan permintaan akan fasilitas kota.

4.Pemindahan ibu kota dapat menyebabkan peningkatan biaya hidup di Jakarta. Perpindahan pusat pemerintahan ke Kalimantan dapat mengakibatkan berkurangnya sumber daya manusia dan investasi dari sektor-sektor terkait pemerintahan di Jakarta, yang pada gilirannya dapat mengurangi permintaan akan layanan dan barang-barang lokal. Hal ini dapat menyebabkan peningkatan harga properti, sewa, dan barang-barang konsumen di Jakarta.

5.Pemindahan ibu kota dapat menciptakan ketidakpastian ekonomi dan sosial di Jakarta. Perubahan besar dalam struktur pemerintahan dan ekonomi dapat mempengaruhi lapangan kerja, investasi, dan stabilitas sosial di wilayah tersebut. Masyarakat Jakarta juga mungkin mengalami ketidakpastian terkait perubahan kebijakan dan kehidupan sehari-hari mereka.

6.Pemindahan ibu kota dapat meningkatkan persaingan antara Jakarta dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Jakarta mungkin merasa terpinggirkan dalam hal alokasi sumber daya dan perhatian dari pemerintah pusat. Hal ini dapat mengakibatkan ketegangan politik dan ekonomi antara Jakarta dan daerah-daerah lain.

Referensi

Al-Barbasy, M. M. (2024). Pindah Ibu Kota Negara, Kepentingan Siapa?. Diakses pada 30 April 2024, dari https://umj.ac.id/opini/pindah-ibu-kota-negara-kepentingan-siapa/

Ayundari. (2022). Urgensi Pemindahan Ibu Kota Negara. Diakses pada 30 April 2024, dari https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kanwil-kalbar/baca-artikel/14671/Urgensi-Pemindahan-Ibu-Kota-Negara.html

BPS. (2024). PDRB Provinsi DKI Jakarta Atas Dasar Harga Konstan Menurut Lapangan Usaha (Juta Rupiah), 2020-2021. Diakses pada 30 April 2024, dari https://jakarta.bps.go.id/indicator/52/1048/2/-pdrb-provinsi-dki-jakarta-atas-dasar-harga-konstan-menurut-lapangan-usaha.html

Hasibuan, R. R. A., & Aisa, S. (2020). Dampak dan resiko perpindahan ibu kota terhadap ekonomi di indonesia. AT-TAWASSUTH: Jurnal Ekonomi Islam, 5(1), 183-203.

Herdiana, D. (2022). Pemindahan Ibukota Negara: Upaya Pemerataan Pembangunan ataukah Mewujudkan Tata Pemerintahan yang Baik. Jurnal Transformative, 8(1), 1-30.

Purnama, S. J., & Chotib, C. (2023). Analisis kebijakan publik pemindahan ibu kota negara. Jurnal Ekonomi Dan Kebijakan Publik, 13(2), 153-166.

Ramadhani, R., & Djuyandi, Y. (2022). Upaya Pemerintah Indonesia Dalam Mengatasi Resiko Kerusakan Lingkungan Sebagai Dampak Pemindahan Ibu Kota Negara. Aliansi: Jurnal Politik, Keamanan Dan Hubungan Internasional, 1(3), 144-152.

Yahya, M. (2018). Pemindahan ibu kota negara maju dan sejahtera. Jurnal Studi Agama dan Masyarakat, 14(1), 21-30.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun