Perpajakan memainkan peran penting sebagai instrumen fiskal yang memiliki dampak strategis yang luas bagi perekonomian suatu negara. Fungsi-fungsi strategis ini meliputi pengoptimalan pendapatan negara, pengendalian dampak negatif eksternalitas, redistribusi pendapatan untuk mencapai tujuan keadilan sosial, serta pendorong daya saing melalui pemberian insentif fiskal yang tepat sasaran untuk mendukung aktivitas ekonomi yang diinginkan. Sehingga, dalam konsepsi idealnya, suatu negara diharapkan memiliki rasio pajak sekitar 15 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) guna mendukung program pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan.
Meskipun memiliki potensi yang besar, realitas di lapangan menunjukkan bahwa rasio pajak Indonesia masih berada pada level yang relatif rendah. Realisasi data dari periode 2015 hingga 2019 dalam pemerintahan Jokowi yang pertama mengindikasikan adanya penurunan dalam tax ratio Indonesia, mulai dari 10,76 persen pada tahun 2015 hingga mencapai 9,76 persen pada tahun 2019.Â
Angka ini bahkan lebih rendah jika dibandingkan dengan rasio pajak negara-negara tetangga di kawasan ASEAN, yang menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan rasio pajak terendah di kawasan ASEAN.
Pemerintah Indonesia memiliki target ambisius dalam meningkatkan rasio perpajakan pada tahun 2024, yang ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2020-2024. Target tersebut mencapai rentang antara 10,7 hingga 12,3 persen, yang jauh lebih tinggi dari target yang disebutkan dalam Nota Keuangan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun 2024, yaitu sebesar 10,1 persen. Meskipun masih di bawah target RPJMN, Pemerintah tetap optimis dengan pertumbuhan rasio perpajakan, mengingat peningkatan yang konsisten selama tiga tahun terakhir dan realisasinya yang melebihi target.
Tren pertumbuhan rasio perpajakan Indonesia mengalami evolusi pasca pandemi Covid-19. Pada tahun 2020, rasio perpajakan terendah tercatat sebesar 8,33 persen, akibat dari dampak awal pandemi yang menyebabkan restriksi aktivitas secara luas. Namun, pada tahun 2021, pelonggaran restriksi membawa dampak positif dengan meningkatnya aktivitas masyarakat, memperbaiki rasio perpajakan menjadi 9,12 persen.Â
Pada tahun 2022, rasio perpajakan terus naik mencapai 10,39 persen, dipicu oleh kenaikan harga komoditas dan implementasi reformasi perpajakan. Meskipun demikian, di tahun 2023, pemerintah menargetkan penurunan rasio perpajakan, mengantisipasi penurunan harga komoditas dan ketidakpastian kondisi global.Â
Peningkatan rasio perpajakan di Indonesia diharapkan akan meningkatkan posisi negara dalam peringkat rasio perpajakan di tingkat regional, khususnya di ASEAN, di mana saat ini Indonesia masih tergolong sebagai salah satu negara dengan rasio perpajakan terendah.Â
Salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya rasio pajak ini adalah kekurangan dalam kebijakan perpajakan yang tidak mampu mengoptimalkan penerimaan pajak secara maksimal. Selain dari aspek kebijakan, masalah juga terdapat pada sistem administrasi perpajakan yang belum optimal, tingkat kepatuhan individu terhadap kewajiban perpajakan, dan peran serta kelembagaan perpajakan dalam mendukung kinerja sistem perpajakan secara keseluruhan.Â
Dampak dari rendahnya rasio pajak ini adalah adanya keterbatasan dalam ruang fiskal yang tersedia untuk membiayai kebutuhan pembangunan negara. Oleh karena itu, tantangan utama yang dihadapi adalah bagaimana menciptakan sistem perpajakan yang efektif dan efisien guna mendukung pembangunan nasional secara optimal dan berkelanjutan.
Dalam rentang waktu tahun 2020 hingga 2024, arah kebijakan terkait pengelolaan sumber daya ekonomi dan peningkatan nilai tambah ekonomi telah dirumuskan dengan berbagai strategi yang ditujukan untuk memperkuat pilar pertumbuhan dan meningkatkan daya saing ekonomi. Salah satu strategi yang dijalankan adalah meningkatkan pendalaman sektor keuangan, yang meliputi langkah-langkah untuk memperkuat infrastruktur keuangan, meningkatkan aksesibilitas layanan keuangan, serta memperbaiki regulasi dan kebijakan terkait sektor ini. Selain itu, strategi lainnya adalah mengoptimalkan pemanfaatan teknologi digital dan industri 4.0 dalam berbagai sektor ekonomi, seperti manufaktur, pertanian, dan layanan, untuk meningkatkan efisiensi, produktivitas, dan daya saing.
Di samping itu, upaya juga dilakukan untuk meningkatkan sistem logistik dan stabilitas harga, dengan fokus pada peningkatan efisiensi distribusi barang dan jasa serta pengendalian inflasi. Penerapan praktik berkelanjutan pada industri pengolahan dan sektor pariwisata juga menjadi fokus strategi, termasuk langkah-langkah untuk mengurangi dampak lingkungan, meningkatkan efisiensi energi, dan mengembangkan produk ramah lingkungan. Selain itu, reformasi fiskal yang mencakup penyederhanaan sistem perpajakan, peningkatan keadilan pajak, dan pengendalian pengeluaran pemerintah juga menjadi bagian penting dari arah kebijakan ekonomi ini. Selain itu, strategi ini juga mencakup peningkatan ketersediaan dan kualitas data dan informasi terkait perkembangan ekonomi, terutama dalam sektor-sektor strategis seperti pangan dan pertanian, kemaritiman, pariwisata, ekonomi kreatif, dan ekonomi digital. Hal ini dilakukan untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang dinamika ekonomi, mengidentifikasi peluang dan tantangan, serta mendukung pengambilan keputusan yang lebih efektif dalam upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan dan inklusif.