Mohon tunggu...
Anggi Hafiz Al Hakam
Anggi Hafiz Al Hakam Mohon Tunggu... Pustakawan - Eksisto Ergo Sum

Saya membaca maka saya menulis | literature enthusiast | Bee Gees | selendangwarna.blogspot.com |

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Yukiguni dan Ingatan yang Tidak Seragam

16 April 2010   19:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:45 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kawabata

Ketika membaca kembali nama penulis buku ini, ingatan saya langsung mengacu pada kalimat pembuka dalam satu cerpen SGA, “Seperti Kawabata, aku mencintai seorang perempuan yang tidak pernah ada.” Kalimat ini juga pernah mendapat sorotan dari Prof. Sapardi Joko Damono, dalam sebuah diskusi buku karya Seno Gumira Ajidarma “Linguae” di Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran, pada Maret 2008 silam.

Kalimat tersebut berasal dari cerpen berjudul Kyoto Monogatari yang terdapat dalam kumpulan cerpen dari Seno Gumira Ajidarma (SGA) yang berjudul “Aku Kesepian Sayang, Datanglah Menjelang Kematian” Cerpen ini bercerita tentang pemandangan bersalju dari dalam kereta shinkansen. Namun, sebelum saya baca kembali cerpen itu ternyata ingatan saya tentang pembahasan dari Prof. Sapardi Djoko Damono kembali menyeruak dan memang kalimat itu tidak pernah tersebutkan dalam cerpen Kyoto Monogatari tetapi ada di dalam cerpen Senja di Pulau Tanpa Nama yang justru terdapat dalam kumpulan cerpen lainnya yaitu “Linguae”.

Saya pikir, Kawabata itu adalah tokoh fiktif yang hanya ada dalam pikiran Seno saja. Kawabata saya asumsikan sebagai tokoh yang biasa menjalani plot dan alur cerita sehingga saya tidak terlalu concern untuk mencari tahu apa yang dimaksud dengan Kawabata itu. Dalam pembahasan Prof. Sapardi juga menyebutkan bahwa itu adalah kebiasaan dan ciri khas Seno dalam pemilihan kata dan penokohan. Bahkan, Prof. Sapardi membandingkannya dengan judul dari cerpen lainnya yaitu Cintaku Jauh di Komodo, yang juga terdapat dalam kumpulan cerpen Linguae. Judul cerpen yang juga mengadaptasi judul puisi Chairil Anwar, Cintaku Jauh di Pulau.

Ada kesamaan antara Snow Country dengan Kyoto Monogatari. Keduanya berlatarbelakang salju dan sama-sama mengambil latar cerita dari dalam kereta. Tetapi, belum bisa dipastikan apakah SGA menulis Kyoto Monogatari setelah membaca Snow Country atau malah tidak pernah sama sekali sebelumnya. Masih diperlukan studi khusus mengenai hal ini.

Demikianlah, ingatan saya yang terus berpacu sehingga mempengaruhi keputusan untuk mencari tahu siapa ‘Kawabata’ itu. Kemudian, ketika sedang jalan-jalan di suatu Toko Buku, saya menemukan buku berjudul Snow Country ini. Lengkap dengan cap Nobel Prize Winner. Terlebih lagi ketika melihat nama Yasunari Kawabata sebagai penulisnya. Rasa penasaran terus muncul untuk membuktikan apakah ada hubungan antara ‘Kawabata’ yang pernah dituliskan SGA dengan Kawabata yang menulis Snow Country ini.

Yukiguni (Snow Country)

Membaca Snow Country ibarat berjalan-jalan menapaki alam pegunungan di musim dingin yang bersalju. Bahasa yang digunakan Kawabata dalam bercerita ibarat angin dari gunung yang turun perlahan. Sebuah bahasa seperti puisi haiku yang mengalir. Imaji tentang suatu keindahan alam pegunungan di musim dingin tercipta dalam setiap detail cerita.

Shimamura, yang sering melakukan perjalanan ke daerah pegunungan bertemu dengan Komako, seorang geisha yang jatuh cinta padanya sejak pertama bertemu. Shimamura yang telah menikah tahu bahwa Komako memang mencintainya. Tetapi, ia tidak begitu yakin atas hal itu. Apalagi, sejak Shimamura bertemu dengan Yoko. Yoko telah memberinya suatu perasaan yang tidak biasa sejak Shimamura menatap kedua matanya. Shimamura dan Komako mencoba mencari pembenaran atas cinta mereka. Sayangnya, hal itu telah gagal sejak mereka pertama kali bertemu.

Pembawaan cerita yang mengangkat kehidupan tradisional masyarakat Jepang pasca Restorasi Meiji menjadikan novel ini memiliki kelebihan tersendiri. Bahasa penyampaian (secara terjemahan) lebih merupakan rangkaian kata-kata serupa yang menyusun keindahan bahasa haiku. Secara tidak langsung, keindahan bahasa ini ikut memberikan ragam tersendiri kepada penceritaan. Bagi beberapa kalangan pembaca justru hal seperti ini malah memberikan kesan yang kurang baik. Ada yang beranggapan bahwa dengan ditampilkannya keindahan semacam ini rasanya seperti menonton film tahun 1950-an. Ditambah lagi dengan ending yang menggantung dengan tidak adanya deskripsi tentang hidup Yoko apakah akan berakhir dengan tragis.

Hal lainnya dari buku ini adalah Kawabata berhasil mengangkat isu tentang keteguhan seorang perempuan. Keteguhan seorang Komako untuk mencintai Shimamura yang telah beristri tapi juga punya sedikit perasaan untuknya. Betapa pun Komako mencintai Shimamura, Komako berhasil untuk tidak memaksakan cintanya pada Shimamura. Ini sebagai bukti bahwa kekuatan cinta kaum perempuan memang mengagumkan seperti kuku manusia, yang berkali-kali terpatahkan namun perlahan selalu tumbuh kembali.

Hadiah Nobel Sastra

Perdebatan mengenai ketentuan dalam penilaian karya-karya sastra masih mengemuka ketika Yukiguni ditetapkan sebagai pemenang. Seringkali, terjadi batasan dalam hal “continental literatures” atau karya-karya sastra dari belahan benua dan negara tertentu sehingga menghilangkan karakter “The Literature of The Whole World”. Bagaimanapun, bila hal itu sampai terjadi maka dikhawatirkan Hadiah Nobel Sastra akan dipolitisasi untuk kepentingan-kepentingan tertentu saja.

Dari sisi linguistik, yang menjadi satu kriteria penilaian Nobel Prize for Literature, Snow Country yang judul aslinya ini Yukiguni memang layak mendapat tempat kehormatan. Hadiah Nobel Sastra tahun 1968 yang diberikan pada Yasunari Kawabata menggambarkan pengecualian dalam beberapa kesulitan atau hambatan untuk melakukan penilaian terhadap karya sastra yang berbahasa Non-Eropa. Perlu 7 tahun dan empat orang ahli linguistik internasional untuk melakukan penilaian terhadap Yukiguni. Demi untuk mencapai “a global distribution” hal itu perlu dilakukan pada ukuran-ukuran yang memperkuat kompetensi dalam penilaian sastra secara internasional.

Sekedar Bacaan

"Aku Ini Binatang Jalang”, Chairil Anwar, Gramedia Pustaka Utama, 2005
“Aku Kesepian Sayang, Datanglah Menjelang Kematian”, Seno Gumira Ajidarma, Gramedia Pustaka Utama, 2004
“Linguae”, Seno Gumira Ajidarma, Gramedia Pustaka Utama, 2007
“Snow Country”, Yasunari Kawabata, Gagasmedia, 2009

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun