"Mama..."
Suaminya memanggilnya. Jantungnya berdengup kencang. Rasa takut menyerang. Karena setiap suaminya memanggil  pasti ada yang salah. Wanita itu segera berdiri dan bergegas masuk kamar.
Suaminya sedang mencoba mengancingkan bajunya tetapi kesulitan karena tak menemukan lubang-lubang kancing.
Hesti menghampirinya. Meluruskan bagian bawah hem itu, lalu menyingkapkan segaris kain yang menutupi lubang-lubang kancing.
Bagian bawahnya diluruskan lagi, sampai benar-benar lurus. Pelan-pelan dia keluarkan kancing yang salah masuk, dan dia masukkan ke lubang yang seharusnya.
"Kenapa kau ulang lagi, aku salah ya?"
"Bagian bawah tidak sama, karena ada yang salah masuk," kata Hesti.
"Lepaskan, lepaskan, tinggalkan aku, aku sudah terlalu tua untuk melakukan ini, bahkan memasukkan kancing saja tidak bisa."
Hesti melepaskan baju yang dipegangnya dan berdiri. Matanya berkaca-kaca, menahan tangis agar tak jatuh menetes. Zoel memalingkan muka darinya dan sekarang menghadap cermin berusaha mengancingkan baju sendiri.
"Kenapa masih disitu, keluar dari kamar, aku bisa melakukan sendiri."
"Aku hanya ingin menolongmu."
"Oh jadi menurutmu aku nggak bisa apa-apa ya, aku tidak mampu, aku lemah."
Tidak tahan dengan semua ucapan itu, Hesti meninggalkan kamar diam-diam. Entah sudah ke berapa kali dia dikata-katain seperti itu. Padahal tidak ada terbesit sedikit pun di pikirannya bahwa dia merendahkan Zoel, tetapi dia selalu berfikir begitu. Dia sudah tak mau berbicara baik-baik dan membicarakan segala hal dengannya. Dia mengira Hesti menganggapnya rendah. Padahal itu tidak benar, itu sama sekali salah, itu prasangka.
*