Mohon tunggu...
Anggie D. Widowati
Anggie D. Widowati Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Psikolog, Pegiat Literasi

Penulis Novel: Ibuku(Tidak)Gila, Laras, Langit Merah Jakarta | Psikolog | Mantan Wartawan Jawa Pos, | http://www.anggiedwidowati.com | @anggiedwidowati | Literasi Bintaro (Founder)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Post Power Syndrome

19 Desember 2024   02:44 Diperbarui: 19 Desember 2024   02:44 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Anggie D. Widowati (from Book Cover)

Oleh Anggie D. Widowati

Berubah. Kesimpulan itu satu-satunya yang ada di benak perempuan itu sambil memandangi suaminya yang duduk di teras dengan kopi paginya. Kopi itu dibiarkan menguap dan menjadi dingin. Sejak disajikan, belum disentuhnya sama sekali, sibuk dengan lamunannya.


Sebelumnya, Zoel penyuka kopi panas. Kopi yang benar-benar panas. Air untuk menyeduhnya baru diangkat dari kompor. Meluap-luap seperti kawah Merapi yang akan Meletus. Tetapi belakangan ini, lelaki itu membiarkan kopinya begitu saja sampai menjadi dingin.

"Ada apa denganmu, Mas," keluh Hesti lirih.

Bukan hanya itu, Zoel sering uring-uringan bila mencari sesuatu. Marah-marah bila air ledeng mengalir terlampau kecil. Bahkan emosi ketika sup kesukaannya kurang asin. Dulu tidak begitu, bila mencari sesuatu tak ketemu, dia bilang pada Hesti dengan baik-baik, minta tolong dicarikan.

Bila air ledeng PAM itu mengalir tersendat, dia akan menjauhi kamar mandi, dan membiarkan ember mandinya penuh. Karena memang di musim kemarau biasanya air mengalir tersendat. Zoel melakukan kegiatan untuk menahan marahnya.

Apalagi soal makanan, Zoel bukanlah seorang pencela makanan. Makanan terlalu asin, kurang asin, terlalu manis atau kurang manis, diam saja. Bila kurang asin, dia jalan ke dapur menjumput garam lalu ditaburkan ke mangkuk sayur, tanpa komentar, lalu melanjutkan makan. Akhlaknya, akhlak nabi.

Semua perjalanan dengan tiga anak yang sudah mandiri terlampoi dengan mulus. Gajinya sebagai kepala bagian sebuah BUMN mencukupi kehidupan Jakarta dengan sederhana namun tidak kekurangan. Rumah tangga Hesti berjalan mulus, tanpa ada hambatan yang berarti.

Namun sekarang, bertambahnya usia justru membuat suaminya bersikap kekanakan. Setiap hari ada saja yang dilakukan lelaki itu, benar-benar membuat Hesti bingung. Katanya ingin menikmati masa tua dengan tenang, katanya ingin menikmati hasil semua perjuangan selama bekerja menjadi karyawan yang jujur dan baik. Ternyata malah sebaliknya dia  menjadi orang yang tak dikenali lagi.

Hesti memandangi Zoel yang sedang mematut dirinya di cermin. Pintu kamar dibiarkan terbuka. Wanita itu duduk tenang di meja makan. Suaminya sedang menyisir rambutnya, melihat mukanya dekat-dekat di cermin. Lalu jari jempolnya menarik lipatan kuit mukanya yang mengendur. Mengeluh pelan dan kengusap rambutnya yang sudah tersisir dengan rapi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun