Mohon tunggu...
Anggie D. Widowati
Anggie D. Widowati Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Psikolog, Pegiat Literasi

Penulis Novel: Ibuku(Tidak)Gila, Laras, Langit Merah Jakarta | Psikolog | Mantan Wartawan Jawa Pos, | http://www.anggiedwidowati.com | @anggiedwidowati | Literasi Bintaro (Founder)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Tangan

21 Agustus 2022   05:26 Diperbarui: 30 Juli 2024   02:32 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash


Oleh Anggie D. Widowati

Ruangan itu tidak besar, selembar karpet merah usang, digelar membentang dari ujung ke ujung. Di situlah para pelanggan duduk mengantri.

Seorang wanita yang dipanggil Anisa dan berparas manis mencatat semua pasien yang mendaftar. Lengkap dengan keluhannya, biar Untung bisa mengurut dengan benar, tepat di titik sasaran.

Pada ujung ruangan, di situlah tempat pasien dieksekusi. Bukan tempat tertutup. Pasien yang ada di ruangan itu bisa melihat cara Untung mengurut. Laki-laki muda itu mengenakan baju santai dan kepalanya ditutup topi kain batik atau yang biasa disebut blangkon.

Saat seorang pasien tiba pada gilirannya, tangan saktinya mulai mengurut, mencari syaraf-syaraf yang tak berfungsi dengan benar, meluruskan dan memijitnya dengan pasti.

Penderita penyakit berat maupun ringan itu, datang dari kota tempat tinggalnya, maupun dari kota-kota sekelilingnya. Di depan rumahnya dipasang papan nama, Pijat Refleksi Pak Untung, mengobati segala macam penyakit. Di bawah tulisan itu tampak diparkir mobil Avansa seken kesayangan Untung, yang dibelinya beberapa bulan lalu.

Para penderita penyakit dalam yang berat, rutin berobat kepadanya. Sehari bisa 50 pasien laki perempuan, tua dan muda.
Setelah banyak pasien, Untung yang memiliki postur gagah itu, meninggalkan pekerjaannya sebagai penjaga sekolah, sekarang dia lebih dikenal sebagai tukang pijat refleksi.

*

Tiga puluh tahun yang lalu, Untung adalah bocah cilik badung. Bisa dianggap biang kerok. Ayahnya meninggal saat bocah itu masih balita. Maka dia pun tinggal bertiga dengan ibu dan adik perempuannya.


Ayahnya memberinya nama Untung, dengan harapan hidupnya kelak akan penuh dengan kemujuran. Ibunya bukan perempuan pintar dengan  gelar akademis di belakang namanya. Hanya wanita biasa.

Dia berjualan di pasar, dan hidupnya habis di keramaian itu. Tiap hari, Untung berangkat sekolah sendiri sementara adiknya ikut ibunya ke pasar. Sekolahnya tidak terlalu jauh. Dia selalu diajari ibunya untuk menjadi pemberani.

Untung bukan anak yang pintar, nilainya biasa saja. Di sekolah dia dianggap anak nakal. Tangannya usil, suka mengganggu teman-temanya. Di kelas bikin ulah, meskipum baru kelas satu ada-ada aja keributan yang dibuatnya.

"Bu, kemarin Untung mencoret-coret tembok belakang sekolah pakai arang, kebetulan ada guru yang lewat dan melihatnya," kata wali kelas saat ibunya dipanggil.

"Maaf pak guru, biar nanti saya yang bersihkan," kata ibunya.

Minggu pagi ibunya datang ke sekolah dengan Untung dan adiknya untuk membersihkan coretan-coretan arang itu. Dengan tekun wanita itu menyikat tembok lalu menyiramnya dengan air.

Untung membantunya dengan tanpa bicara.

"Kalau kau tak berulah, harusnya ibu bisa berjualan di pasar, kalau hari minggu pasar ramai," kata ibunya menahan kesal hati.
Untung diam saja tidak menyahuti.

"Darimana kau dapatkan arang ini?" tanya lbu.

"Pingir lapangan."

"Pinggir lapangan?"

"Ada yang membakar cabang-cabang dan rating pohon," ujarnya pula.

Ibunya tak berkomentar lagi, meneruskan membersihkan tulisan-tulisan yang hampir rata di tembok belakang sekolah. Air mata sudah mau menetes tapi ditahannya.

Belum seminggu peristiwa itu, ibunya kembali dipanggil guru. Kali ini, Untung disetrap karena berkelahi dengan Hasim. Hasim dijongkrokkan ke got sampai basah kuyup. Katanya dia bermain curang.

Ibunya terpaksa membelikan seragam baru buat Hasim karena seragamnya hitam, bau karena air got.

"Kalau main curang tinggalin aja, gak usah diajak main, nggak perlu dijongkrongin ke got," begitu nasehat ibunya kepada Untung.

Membeli satu stel baju seragam bukan nilai yang sedikit buat pedagang kecil sepertinya. Namun karena tak mau ribut, dan sadar kalau itu kesalahan anaknya, terpaksa ibunya mengambil uang simpanannya yang tak seberapa.
Bukan hanya di sekolah, di rumah pun Untung sering bikin masalah. Barang yang dipegang pecah. Piring dan gelas diganti gelas plastik biar awet dan aman.

Belum lagi ngusilin tetangga. Ibunya mengalah dan mengganti kerugian tetanga bila kena imbas keusilan tangan Untung. Misalnya Untung gerusakin mainan teman, melempar bola dan memecahkan genting tetangga atau bikin ulah yang lain.

Ada tetangga yang berbaik hati karena melihat kondisi ekonomi keluarga Untung, dan tak mau diganti. Tapi ada juga yang tetap minta ganti, dengan alasan  pembelajaran buat Untung.

Suatu hari Untung sedang bermain sepeda di jalan depan rumah, saat itu seorang tetangga mengeluarkan mobilnya dari garasi. Untung yang sedang mengebut menabrak mobil itu sampai tergores.

Untung tidak terluka, meskipun jatuh di aspal. Hanya ada lecet-lecet ringan. Tetapi tetangga minta ganti rugi karena mobilnya tergores.

Ibunya menangis, waktu tahu berapa uang yang harus dibayarkan untuk memperbaiki mobil itu. Sementara tetangga tak mau tahu dan minta secepatnya diganti.

"Makanya, pandai-pandailah mendidik anak, biar enggak badung," kata tetangga itu.

"Iya bu, pasti saya ganti," kata Ibu.

Ibunya pun mengontrakkan lapak di pasar untuk mendapatkan uang itu. Teman-teman pedagang menasehatinya untuk tidak memenuhi keinginan tetangga yang sombong itu.

"Dia mungkin benar, aku yang tak bisa mendidik anak," katanya.

Setelah lapak dikontrakkan, uang dibayarkan, dan menyimpan sisanya, seorang pedagang yang baik mau mempekerjakannya di tokonya. Sampai masa kontraknya habis dan ibu itu bisa berjualan kembali.

Namun yang dipikirkan ibunya hanyalah bagaimana agar Untung tidak nakal lagi. Bagaimana caranya agar tangannya tak usil. Tapi dia hanya perempuan berpendidikan rendah, tau apa soal mendidik anak.

Suatu sore, sehabis shalat maghrib dia mendapatkan ide. Entah itu akan bermanfaat atau tidak, dia tak tahu. Lepas shalat berjamaah, Untung dan adiknya bersalaman dengan ibu, ketika tangan itu dalam genggamannya, ibu tak melepaskan tangan itu.
Ibu komat-kamit, kemudian meniup-niup punggung tangan Untung, Al Fatihah, katanya, lalu pelan-pelan dia membaca surat pendek itu. Untung hanya diam, tak berusaha melawan ibunya yang selalu bersabar atas kenakalannya itu.

Setelah sore itu, setiap habis shalat maghib ibu membaca al Fatihah sambil memegang tangan jahil anaknya.

*
Untung tidak berubah, dia tetap saja usil, meskipun kadarnya mulai berkurang. Setelah lulus sekolah menengah atas, dia mendaftar PNS dan diterima. Alangkah bangganya sang ibu yang mulai tua dan sakit-sakitan.

Bila ibunya mengeluh, Untung akan mengurut pundaknya. Uniknya setiap diurut sama Utung karena kecapaian habis dari pasar, rasa capai pun hilang. Bahkan tubuh tua yang sudah ringkih itu juga menjadi nyaman setelah tangan Untung memijitnya.

Dia pun menceritakan semua itu pada teman-teman sesama pedagang di pasar. Seorang padagang di pasar yang menderita stroke minta diurut sama Untung. Ajaibnya yang semula badannya tak bisa digerakkan separo, mulai pulih kembali. Dari situlah Untung mulai dibicarakan.

Beberapa kenalan ibunya yang penyakitan datang minta diurut. Untung tidak memasang tarif, para pasiennya bebas dan sukarela memberikan tip sekedarnya. Kalau yang parah mereka harus rutin diurut, minimal seminggu dua kali.

Lama-kelamaan pasiennya bukan hanya dari kota itu tapi juga dari kota lain. Karena membludak Untung mempekerjakan seorang sekretaris. Ibunya tidak boleh berjualan lagi. Dan mereka membeli rumah baru yang lebih sehat.

Sambil memperhatikan para tamu yang keluar masuk tempat pijat refleksi itu, ibunya ingat masa-masa kecil Untung dengan tangan jahilnya.

"Jangan-jangan karena kebanyakan dialfatihahin, dia jadi tukang urut terkenal" katanya dalam hati.

Jakarta, 1 April 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun