Untung bukan anak yang pintar, nilainya biasa saja. Di sekolah dia dianggap anak nakal. Tangannya usil, suka mengganggu teman-temanya. Di kelas bikin ulah, meskipum baru kelas satu ada-ada aja keributan yang dibuatnya.
"Bu, kemarin Untung mencoret-coret tembok belakang sekolah pakai arang, kebetulan ada guru yang lewat dan melihatnya," kata wali kelas saat ibunya dipanggil.
"Maaf pak guru, biar nanti saya yang bersihkan," kata ibunya.
Minggu pagi ibunya datang ke sekolah dengan Untung dan adiknya untuk membersihkan coretan-coretan arang itu. Dengan tekun wanita itu menyikat tembok lalu menyiramnya dengan air.
Untung membantunya dengan tanpa bicara.
"Kalau kau tak berulah, harusnya ibu bisa berjualan di pasar, kalau hari minggu pasar ramai," kata ibunya menahan kesal hati.
Untung diam saja tidak menyahuti.
"Darimana kau dapatkan arang ini?" tanya lbu.
"Pingir lapangan."
"Pinggir lapangan?"
"Ada yang membakar cabang-cabang dan rating pohon," ujarnya pula.
Ibunya tak berkomentar lagi, meneruskan membersihkan tulisan-tulisan yang hampir rata di tembok belakang sekolah. Air mata sudah mau menetes tapi ditahannya.