Jangan tanyakan hatiku. Tubuhku mulai terasa enak dan nyaman karena anak-anak palang merah menggosokiku dengan minyak-minyak. Tetapi jiwaku hancur. Hatiku patah. Wanita idolaku itu telah membuat hatiku berkeping-keping.
Semua kekagumanku serasa hilang. pesonanya memudar, dan bagiku, dia seperti orang kebanyakan. Matahari itu benar-benar sudah padam di hatiku.
Sampai di rumah ibu menyruhku mandi dan terus-terusan ngomel karena aku nekad berangkat sekolah. Aku tidak menjawab. Aku biarakan saja semuanya.
Rasanya jalanan sudah senyap dan buntu, tidak ada lagi harapan. Aku mandi dan kemudian masuk kamar. Ingin menangis namun tak bisa.
Jadi tak ada gunanya lagi aku pramuka. Tak ada gunanya bersekolah. Semua ini tak ada gunanya. Aku membuka tas rangselku. Peralatan pramuka semua ada di sana. Anggota palang merah rupanya memasukkan semua milikku ke tas itu.
Aku mengambil tali pramuka. Aku memainkan beberapa teori dan cara yang berkaitan dengan tali temali. Tuhan, ketika hati dan jiwaku merasakan keindahan dan dihargai, kenapa kemudian Kau membiarkannya dihancurkan.
"Kenapa kau tak pernah membiarkan hatiku bahagia. Aku tak ingin dilahirkan cacat begini. Aku ingin seperti mereka. Lalu kau turunkan bidadari yang baik, yang memperlakukanku sebagai manusia. Namun itu hanya sekejap mata. Setelahnya dia tak jauh beda dengan yang lainnya. Kenapa Tuhan, kenapa Kau lakukan semua ini kepadaku."
Aku naik ke atas meja. Lalu tali itu aku ikatkan ke kayu-kayu penyangga genting.
"Setelah ini, tak ada lagi sekolah, tak ada lagi pramuka, tak ada lagi ibu, tak ada lagi tetangga usil, tak ada lagi kak Risa. Tak ada semua manusia yang selalu mengejek dan merendahkanku. Aku datang padamu Tuhan."
Aku mengikatkan tali itu kuat-kuat. Lalu aku masukkan kepalaku pada lingkaran, dan tali itu menjerat leherku. Pelan-pelan aku melangkah dari meja.
 Kreekkk...
Itu adalah suara terakhir yang aku dengar. Inilah aku Tuhan, aku bukan Daus, aku Adi Putra.
Jakarta, 3 Agustus 20