Kami tahu tujuannya, sebuah restoran sederhana tak jauh dari kantor. Â Bisa ditempuh dengan jalan kaki selama sepuluh menit. Aku memesan kopi dan Riksa memesan minuman yang sama. Aku melihat bahwa Riksa begitu tenang dan tidak setegang biasanya.
"Jadi selama ini engkau kemana, Antariksa?"
Laki-laki berpostur  tinggi itu menghela nafas, menghirup kopinya perlahan dan memandangiku dengan teguh. Tak kusangka mata coklat itu begitu indah. Dan aku melihat kulitnya terlihat lebih gelap dari sebelumnya saat dia meninggalkanku.
"Aku sendirian, kupikir sendirian itu enak, terbebas dari siapapun juga, Zan..."
"Oh, gitu ya."
"Dulu saat kuliah di Jogja, aku mengenal Darto, Darto tinggal di Jogja, aku pun lari ke sana untuk menemuinya."
"Kota yang indah, bukan?"
"Aku ingin lepas dari bayang-bayang masa lalu yang membuatku teramat letih, dan berlari mengejar  bayanganku sendiri."
"Aku tinggal di rumah Darto, Darto tinggal bersama ibunya yang sudah tua, mereka hanya berdua, meskipun sarjana, Darto menggarap kebun, peninggalan ayahnya."
"Apa yang kamu lakukan di sana Rik?"
"Memotret."