Mohon tunggu...
Lyfe

Jadi Guru itu (Tidak) Mudah

9 Desember 2015   16:02 Diperbarui: 9 Desember 2015   16:02 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Entrepreneurial Competencies tidak akan membuat semua jadi lebih mudah, tetapi membentuk guru jadi lebih tangguh.”

Kepada guru di Indonesia,

Tetaplah kuat dan bertahan. Jadilah lebih tangguh demi anak-anak bangsa yang mempercayaimu dan bergantung padamu.

Katanya, guru berarti “yang digugu dan ditiru”. Katanya seperti itu. Kenyataan yang saya tahu sekarang, tidak seperti itu. Bahkan, saya sendiri kadang tidak mengikuti apa petunjuk guru saya. Itu kenyataannya. Lebih parah lagi terkadang saya dan teman-teman memberontak. Mempersulit guru kami.

Tidak hanya itu, selain para guru harus berurusan dengan siswa-siswa bandel seperti saya, mereka juga masih harus berurusan dengan kurikulum dan berbagai peraturan pemerintah. Kurikulum yang terus berubah. Yang menuntut mereka untuk melakukan ini dan itu. Eh… tapi, belum juga stabil dan berbuah, sudah berubah lagi.

Saya tidak mengatakan hal itu suatu yang buruk. Dengan adanya tuntutan untuk berubah, memang semakin menambah kompetensi dari para guru. Hanya saja saya sebagai siswanya saja kadang bingung melihat kondisi mereka, dituntut ini dan itu. Pergantian yang amat cepat dan terlihat melelahkan. Tapi herannya mereka bertahan, mereka menjalaninya walaupun kadang mungkin merasa lelah dan kecewa atau bahkan marah. Meski demikian mereka tetap mengajar dan mendidik. Salut!

Menurut Karsidi (2005), para guru mempunyai tantangan untuk dapat beradaptasi dengan sebaik-baiknya dalam situasi transisi, agar dapat memperkecil dampak negatif dan memperbesar dampak positifnya. Seperti yang saya paparkan sebelumnya. Ada banyak tuntutan dari berbagai sisi dan aspek yang membuat guru harus menjadi adaptif.

Nah, disinilah terlihat Entrepreneurial Competencies dari para guru. Bagaimana mereka mampu bertahan dan tetap berkembang dengan positif dalam menghadapi berbagai tantangan dan perubahan yang ada. Bagaimana mereka mampu melihat dan mengembangkan hal-hal positif yang berpotensi membawa perubahan ke arah lebih baik. Entrepreneurial competencies pada guru menjadi hal penting untuk ditumbuhkan dan dikembangkan dengan efektif. Hal ini memiliki dampak yang amat besar pada proses dan hasil pendidikan. Guru yang memiliki entrepreneurial competencies akan menjadi lebih tangguh dan memiliki dampak lebih besar terhadap pendidikan.         

Menggunakan teori psikologi yakni behaviorisme segala perilaku dapat dibentuk dari kebiasaan. Sesungguhnya dengan terjadinya perubahan yang terus menerus dan tuntutan yang diberikan pada guru, membuat guru terbiasa menghadapi situasi tersebut. Apabila ditambahkan dengan pembentukan dan pengembangan entrepreneurial competencies tentu guru akan memiliki kompetensi yang lebih. Dengan adanya pembiasaan maka akan lebih mudah membentuk guru yang entrepreneurial.

Saya terus menerus menyebutkan mengenai entrepreneurial competencies, jadi sebenarnya apakah itu? Berdasarkan yang dipaparkan oleh Moris, Webb, Fu, & Singhal (2013) entrepreneurial competencies dibagi menjadi 13 yakni opportunity recognition, opportunity assessment, risk management, conveying a compelling vision, tenacity, creative problem solving, resource leveraging, guerilla skills, value creation, maintain focus yet adapt, resilience, self-efficacy, dan building using networks.

Sesungguhnya entrepreneurial competencies ini kemungkinan telah dimiliki dan telah dipraktekan oleh para guru, akan tetapi tidak disadari. Kompetensi yang pertama yakni opportunity recognition bagaimana para guru menanggapi perubahan yang terjadi ataupun mempertimbangkan kembali kemungkinan yang muncul, yang dapat menjadi suatu hal yang berguna untuk proses pendidikan dan menguntungkan. Keuntungan ini bisa untuk dirinya, murid, sekolah dan pendidikan pada umumnya. Sesungguhnya hal ini yang telah dihadapi oleh guru-guru di Indonesia. Menghadapi berbagai perubahan pada berbagai aspek yang ada di dunia pendidikan dan mencari cara untuk mengaplikasikannya.

               Kompetensi yang kedua adalah opportunity assessment yakni bagaimana para guru dapat melakukan evaluasi terhadap kesempatan yang ada dan dapat mengukur secara akurat pengaruh dari kesempatan tersebut. Apakah kesempatan yang ada itu cukup worth it untuk diambil. Seberapa banyak hal baik yang mungkin dihasilkan dari kesempatan tersebut beserta resiko atau kemungkinan kerugian yang harus ditanggung. Guru disini bak pengusaha yang hendak memperlebar sayapnya. Tidak kelah bergengsi bukan? Bahkan ini demi masa depan bangsa.

               Kompetensi selanjutnya adalah risk management adalah bagaimana guru-guru Indonesia yang kita banggakan ini mampu mengambil tindakan yang dapat memperkecil kemungkinan adanya kerugian. Selanjutnya adalah conveying a compelling vision merupakan kemampuan untuk memahami bagaimana gambaran masa depan yang dimiliki oleh pendidikan di Indonesia dan mampu berperilaku yang baik untu mengajak lebih banyak orang membangun masa depan pendidikan Indonesia. Nah terlihat bukan, bahwa guru dengan entrepreneurial competencies merupakan guru yang sangat aktif dengan semangat juang yang luar biasa. Tidak hanya bertindak untuk dirinya sendiri, tetapi bersama dan untuk banyak orang.

Kemampuan untuk tetap bertindak sesuai dengan tujuan dan kemampuan untuk menghadapi kesulitan yang ada masuk dalam tenancity. Profesi guru bukan dijalani hanya sehari atau dua hari tapi merupakan suatu perjalanan yang panjang, sepanjang masa. Mengajarkan muridnya, melalui berbagai kesulitan bersama dengan muridnya. Jika sang guru tidak memiliki kekuatan semacam ini, lalu bagaimana dengan muridnya?

Lalu bagaimana guru mampu mengelola pengalaman ataupun sumber daya yang dimiliki dengan cara sedemikian rupa, meski sesungguhnya sangat tidak berhubungan, mampu menghasilkan suatu outcome yang luar biasa. Contohnya saja, guru yang mengajar matematika namun dengan cara rap. Dua hal yang tidak ada hubungannya namun dapat membantu proses pembelajaran. Ini merupakan kompetensi creative problem solving.

Ditambah lagi jika guru memiliki kompetensi guerilla skills dimana guru dapat menggunakan teknik-teknik mengajar yang tidak banyak menghabiskan cost. Cost yang dimaksud disini dapat dari berbagai aspek. Semakin menarik bukan? Seperti contohnya guru mengajak para murid untuk bahu-membahu membersihkan kelas. Selain dapat membantu petugas kebersihan sekolah, waktu yang diperlukan cenderung lebih sedikit karena dikerjakan oleh lebih banyak orang. Selain itu, murid menjadi semakin dekat dengan satu sama lain, memiliki waktu untuk kebersamaan, bertenggang rasa dan memiliki tanggung jawab bersama akan kebersihan sekolah.

Selanjutnya adalah value creation dimana guru mampu membuat suatu terobosan baru dalam dunia pendidikan untuk menghasilkan keuntungan. Hal ini dapat terlihat dari berkembangnya sekolah-sekolah dengan penanaman entrepreneurship dalam proses pembelajarannya. Ini merupakan suatu trobosan yang dibuat oleh guru-guru.

Tidak hanya itu, akan lebih baik jika para guru juga dapat menyeimbangkan antara pencapaian tujuan dan strategi aksi yang dilakukan sehingga dapat sesuai dengan pendidikan dan aspek kehidupan lain yang berhubungan. Ini disebut dengan kompetensi maintain focus yet adapt. Semakin rumit? Sebenarnya tidak juga, hal ini telah dilewati oleh para guru selama ini, hanya saja mungkin tidak disadari secara penuh.

Guru juga pasti bisa stress dan mengalami berbagai hambatan dalam prosesnya. Nah untuk itu, perlu adanya kemampuan untuk dapat menghadapi serta mengelola stress dan hambatan tersebut dengan baik. Kemampuan ini disebut dengan resilience.

Selanjutnya adalah self efficacy. Dari istilahnya saja sudah terlihat bahwa yang dimaksudkan disini adalah kepercayaan diri terkait pencapaian yang telah dan akan didapat. Bagaimana guru dapat membangun dan mengontrol kepercayaan dirinya sendiri, kepercayaan lembaganya, dan kepercayaan diri muridnya. Sehingga tercipta harmoni yang baik dan dapat membantu proses pendidikan itu sendiri.

Kompetensi yang terakhir adalah building and using networks. Bagaimana para guru dapat mengelola relasi sosialnya. Baik dengan pemerintah, dengan siswa, dengan sesama guru, dengan alumni, orang tua siswa, bahkan lembaga-lembaga lainnya. Dengan adanya pengelolaan relasi sosial yang baik, tentu akan membantu guru untuk membuka berbagai “jalan” atau peluang baru sehingga proses pendidikan dapat berjalan lebih baik dan efektif.

Itulah tiga belas kompetensi yang akan membuat para guru Indonesia menjadi makin tangguh. Dengan guru-guru yang tangguh yang menunjukan aksi nyata, tentunya akan berpengaruh positif terhadap murid bahkan lingkungan sekitarnya. Siswanya tentu akan tertular ketangguhan dari gurunya yang akan membuat kualitas output dari pendidikan semakin meningkat kualitasnya.

               Kepada guru di seluruh Indonesia, bangkitlah! Jadilah lebih TANGGUH!

              

              

Karsidi, Prof. Dr. Ravik. (2005). Makalah : Profesionalisme Guru dan Peningkatan Mutu Pendidikan di Era Otonomi Daerah. Wonogiri

Morris, M.H., Web, J.W., Fu, J., & Singhai, S. (2013). A Competency Based Perspective on Entrepreneurship Education : Conceptual and Empirical Insights. Journal of Small Business Management, 51(3), 325-369. doi:10.1111/jsbm.1203

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun