Foto ini merupakan salah satu penanda setelah isolasi akibat terpapar Covid-19. Saya mengunggah foto ini tiga tahun lalu, Januari 2023. Ketika itu saya dan istri positif Covid-19. Sementara anak kami harus diungsikan ke rumah mama dan bapak, alhamdulillah negatif. Salah satu penghiburan ketika isolasi mandiri adalah membaca buku, ngobrol dengan istri, dan nonton netflix.
Momen ketika itu, belum ada vaksin dan tes antigen baru awal-awal. Kami tes antigen, dan kami positif. Dilanjut tes PCR oleh tetangga yang menjadi salah satu tenaga kesehatan di salah satu RS Swasta di Bekasi.
Tak lama petugas kesehatan datang ke rumah. Lengkap dengan ambulance yang tak meraung-raung, dan para petugasnya yang berseragam APD. Memeriksa rumah, semprot sana-sini (meski saya tahu di kemudian hari, nampaknya tak berguna betul).
Semua serba deg-degan. Dalam momen perenungan, seringkali hadir, apakah ini akhir dalam hidup saya. Kekhawatiran itu selalu muncul. Apakah saya siap. Apa bekal ini memadai? Semua serba menegangkan. Kadang dada terasa sesak. Mood naik turun.
Saya ingat betul, betapa sedihnya menatap anak kami harus membawa satu tas, mendorong sepedanya, ketika dijemput Mama. Ia belum mengerti sepenuhnya, mengapa Ia harus terpisah dari ayah ibunya. Ini rasanya kesedihan yang paling besar, harus terpisah dari anak.
Dua minggu saya dan istri isolasi mandiri. Awalnya kami terpisah kamar. Saling terus bicara melalui kamar yang berbeda. Lama-lama kami merasa, buat apa pisah kamar, akhirnya kami satu kamar lagi. Toh sama-sama positif.
Di momen berat itu kami sadar banyak yang menyayangi kami. Keluarga terdekat tentu yang paling utama. Mereka menyuplai banyak kebutuhan kami.
Yang tak disangka adalah tetangga-tentangga, yang setiap saat siap membantu. Ada yang membelikan apapun yang kami butuhkan. Ada yang menggantung makanan di pagar dan kemudian memanggil, Pak-Bu ada makanan digantung di pagar. Ada juga tentangga yang bolak-balik bertanya apa kami baik-baik saja dan apa lagi yang kami butuhkan. Yang lucu, ia tak terlalu percaya Covid-19, sehingga setiap ke rumah kami tak bermasker, sehingga kami harus mengomel "kalau ke sini harus pakai masker".
Saya ketika itu bokek. Kepikiran, duh ini banyak yang harus dibiayai tapi apakah tabungan kami yang tak seberapa itu cukup. Tapi dilalahnya, ada transferan yang cukup besar dari penulisan buku yang saya buat di tahun sebelumnya. Alhamdulillah. Di tengah kesulitan selalu ada kemudahan. Apalagi orang-orang terdekat begitu siap siaga membantu dalam setiap kondisi.
Di tambah bantuan makanan melimpah: beras dan sayur, lauk-pauk tinggal lep (kayak iklan sosis), susu beruang, aneka vitamin, buah-buahan, dan lain sebagainya.
Selain makanan, wa-telpon membanjiri, memberi semangat. Bahkan di antara teman yang positif kami saling menyemangati. Bercerita tentang gejala yang kami alami masing-masing.
Di tengah kondisi tersebut sesekali saya baca buku dan buka laptop, tapi kemudian merasa pusing. Istri masih lebih tangguh, ia bebersih dan masih mengajar online. Bosan katanya. Beberapa bulan pasca covid saya sering merasa kelelahan. Ada satu pekerjaan yang saya minta undurkan. Untung redaksinya baik hati. Masalah yang muncul ketika itu, setiap saya duduk dan membaca, tak bisa saya menulis sepatah kata pun. Ujungnya emosi. Apalagi ketika itu saya harus mereview buku yang sebetulnya bukan bidang saya. Meski membaca berkali-kali, menelusuri pustaka demi pustaka, saya kelelahan untuk menuliskannya.
Dua minggu terlalui. Petugas kesehatan datang kembali. PCR dilakukan mereka. Hasilnya negatif. Kami kemudian bebersih rumah. Menelpon orangtua kami negatif. Anak kami pulang ke rumah. Tetangga hadir menjenguk. Kelegaan kembali datang.
Selama pandemi, istri saya kena dua kali positif. Ia kena lagi di masa omicron. Saya rasanya positif jika tes. Tapi karena saya tak ada kepentingan harus bertemu orang lain, dan bisa menyepi di rumah, akhirnya tak tes. Istri sering tes, karena sekolahnya ketat sekali. Seminggu sekali ia harus antigen di sekolah. Dan secara berkala tes PCR.
Dalam momen pandemi saya juga semakin dekat dengan anak kami satu-satunya. Bagaimana tidak, setiap hari saya bersamanya. Menemaninya belajar online di masa TK akhir dan di masa kelas 1 SD. Saya betul-betul belajar dari momen-momen itu.
Momen itu baru kemarin, tapi nampak mudah terlupakan. Meski tentu bagi orang-orang yang kehilangan keluarga, sahabat tercinta, pandemi tak segampang itu (mengutip Anggi Marito) untuk dilupakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H