Di tengah kondisi tersebut sesekali saya baca buku dan buka laptop, tapi kemudian merasa pusing. Istri masih lebih tangguh, ia bebersih dan masih mengajar online. Bosan katanya. Beberapa bulan pasca covid saya sering merasa kelelahan. Ada satu pekerjaan yang saya minta undurkan. Untung redaksinya baik hati. Masalah yang muncul ketika itu, setiap saya duduk dan membaca, tak bisa saya menulis sepatah kata pun. Ujungnya emosi. Apalagi ketika itu saya harus mereview buku yang sebetulnya bukan bidang saya. Meski membaca berkali-kali, menelusuri pustaka demi pustaka, saya kelelahan untuk menuliskannya.
Dua minggu terlalui. Petugas kesehatan datang kembali. PCR dilakukan mereka. Hasilnya negatif. Kami kemudian bebersih rumah. Menelpon orangtua kami negatif. Anak kami pulang ke rumah. Tetangga hadir menjenguk. Kelegaan kembali datang.
Selama pandemi, istri saya kena dua kali positif. Ia kena lagi di masa omicron. Saya rasanya positif jika tes. Tapi karena saya tak ada kepentingan harus bertemu orang lain, dan bisa menyepi di rumah, akhirnya tak tes. Istri sering tes, karena sekolahnya ketat sekali. Seminggu sekali ia harus antigen di sekolah. Dan secara berkala tes PCR.
Dalam momen pandemi saya juga semakin dekat dengan anak kami satu-satunya. Bagaimana tidak, setiap hari saya bersamanya. Menemaninya belajar online di masa TK akhir dan di masa kelas 1 SD. Saya betul-betul belajar dari momen-momen itu.
Momen itu baru kemarin, tapi nampak mudah terlupakan. Meski tentu bagi orang-orang yang kehilangan keluarga, sahabat tercinta, pandemi tak segampang itu (mengutip Anggi Marito) untuk dilupakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H