Mohon tunggu...
Anggi Afriansyah
Anggi Afriansyah Mohon Tunggu... Penulis - Peneliti

Masih terus belajar. Silahkan kunjungi blog saya: http://anggiafriansyah.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Tidak Mudah Menjadi Orangtua

21 Oktober 2019   09:44 Diperbarui: 21 Oktober 2019   10:00 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oya, salah satu hal yang jadi pertimbangan kami adalah biaya. Jelas kami bukan orang yang berlimpah. Jadi variabel biaya jadi salah satu pertimbangan. Dan 'jeng-jeng' sekolah yang memberikan ruang bagi visi dan imajinasi di mana anak tetap bermain, tiada belajar serius, adalah sekolah-sekolah mahal. Duh. Pendidikan (berkualitas) mahalnya ampun-ampunan.

Kembali ke penelusuran,  kami menemukan day care plus TK yang berfokus pada penguatan keagamaan. Kami muslim, kami sepakat penguatan keagamaan sangat penting. Tapi kami merasa penguatan keagaman tersebut adalah tugas kami, di ruang keluarga. Pembiasaannya ada di ranah keluarga. 

Jadi kami cari tempat yang tidak terlalu memberatkan aspek itu dalam pembelajarannya. Tapi di sekitar rumah kami, daycare atau TK memang didominasi oleh lembaga yang berbasis keagamaan. 

Yang jadi agak "ngeri" lebih memfokuskan pada agama sebagai ritual dan menegasikan perbedaan. Jatuhnya sangat ekslusif. Ini kesan yang kami berdua tangkap. Dan kita tentu bisa berbeda pendapat.

Makanya, untuk nilai-nilai agama. Kami sepakat. Itu diberikan di rumah. Melalui contoh, bukan ujaran-ujaran. Berat memang. Soal agama kami harus jadi teladan. Bukan orang lain di luar rumah. Tapi itu harus dilakukan. Kami ingin anak kami bisa bergaul dengan banyak orang tanpa sekat agama.

Kami akhirnya dapat sekolah, yang kami anggap cocok. Dilalahnya, ibunya diterima mengajar di salah satu sekolah. Sekolah tersebut memiliki day care dan TK. Para yang anaknya bersekolah di situ mendapatkan apresiasi, berupa subsidi biaya. Biayanya menjadi lebih ringan (meskipun tetap berat bagi kami). 

Tapi, karena visinya sesuai dengan visi kami. Juga anak kami berkesempatan berjumpa dengan beragam kalangan, maka kami tak pikir panjang, bismillah, memasukan anak kami di situ.

Berbagai drama kami rasakan. Anak kami masih usia 4 tahun. Tak biasa berinteraksi dengan banyak orang. Selalu menempel dengan kami dan keluarga. Awal masuk selalu menangis. Tapi, tidak pernah menolak berangkat ke sekolah. Kami, terutama istri saya, sangat berat sekali mengawali hari-hari awal anak kami bersekolah. 

Istri saya yang bebannya lebih besar. Karena pada saat yang sama saya ditugaskan ke Papua Barat selama dua minggu untuk penelitian. Kami hanya diskusi melalui sms dan telpon, karena sinyal sangat terbatas. Istri saya, disamping harus beradptasi dengan tugas di sekolah barunya, yang begitu banyak, juga harus mengawal putra kami. 

Apakah tanpa emosi? Seperti yang disampaikan di buku-buku parenting? Jelas tidak. Ia kadang tak bisa mengontrol emosinya. Tarik ulur. Saya juga sama saja. Menghadapi anak kecil memang berat. Kami konsultasi secara intensif dengan guru dan akhirnya ke konselor sekolahnya. 

Ada masa di mana anak kami bangun di pagi hari dan selalu mengulang-ulang bahwa ia ingin ditemani bundanya. Dan menangis panjang, baru berhenti di sekolahnya. Di situ emosi diaduk-aduk. Kesabaran diuji. Dia sering menangis. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun