Mohon tunggu...
Anggi Afriansyah
Anggi Afriansyah Mohon Tunggu... Penulis - Peneliti

Masih terus belajar. Silahkan kunjungi blog saya: http://anggiafriansyah.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menulis Opini di Koran

25 Februari 2017   21:11 Diperbarui: 25 Februari 2017   21:36 14697
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tulisan Saya Dua Tahun ini (Dokumentasi Pribadi)

Tahun 2015 saya memberanikan diri untuk mengirim tulisan ke koran. Sebelumnya saya belum pernah mencobanya. Upaya pertama saya untuk menembus salah satu koran nasional akhirnya gagal. Ketika itu hari pendidikan nasional. Saya menulis refleksi tentang hari pendidikan Nasional. Ternyata naskah saya tak bisa tembus.  

Saya tak patah arang. Mulai kembali membaca tips dan trik membuat tulisan yang bagus sehingga bisa dimuat di koran. Saya mulai mengumpulkan daftar email koran-koran yang potensial untuk ditembus. Saya list dan saya pelajari opini-opini yang ada di tiap media tersebut.

Saya pun belajar dari beberapa teman yang tulisannya sudah sering dimuat di media massa. Teman-teman muda yang luar biasa produktif. Baik dari tulisan maupun berbincang secara langsung. Saya banyak belajar dari Mas Ridho Imawan Hanafi, Mas Triyono, dan Mas Wasis Raharjo Jati. Ketiganya masih muda dan sangat produktif menulis di koran. Mereka tak pernah pelit berbagi cerita tentang dunia tulis menulis khususnya di koran. Saran mereka satu. Jangan mudah menyerah. Kirim terus. Dan itu benar. Pasti ada yang akan dimuat. Terima kasih kawan-kawan. Semoga semakin produktif.

Saya juga membaca catatan Indra Jaya Piliang (bisa dicari diinternet) tentang bagaimana dia menulis. Dia bercerita dalam satu tahun (ketika masa jayanya) ia bisa menulis 62 artikel di koran dan beberapa tulisan jurnal. Itu belum termasuk chapter buku atau makalah seminar. Tulisan tersebut sangat menginspirasi saya. Tulisan lain yang sangat menginspirasi adalah tulisan Prof. Azyumardi Azra. Rasanya masih ada di notes FB beliau. Sampai saat ini beliau masih produktif menulis.

Sejak dulu saya memang punya impian, semoga suatu saat tulisan-tulisan saya bisa dibaca oleh banyak orang. Tapi tak pernah berani dan tak mencari tahu caranya. Di internet banyak tips dan trik tersebut. Mulai tahun 2015 saya berusaha mencari beragam info tersebut. Sebelumnya saya hanya berani menuliskan gagasan saya di blog yang saya miliki (anggiafriansyah.wordpress.com).

Memasuki dunia kerja yang baru saya merasa, selain menulis jurnal dan hasil penelitian harus ada karya lain. Karya tersebut antara lain catatan di koran. Ada banyak nama besar yang kita kenal di koran. Daoed Joesoef, Syamsudin Haris, Yudi Latif, Sukardi Rinakit, Ikrar Nusa Bhakti, Azyumardi Azra, Komarudin Hidayat dan masih banyak lainnya. Tentu akan jadi kebahagiaan tersendiri jika nama saya pun terekam di koran.

Setelah gagal menulis di koran nasional saya berusaha menjelajah koran-koran daerah. Dan ternyata berhasil. Opini pertama saya, Penciptaan Pendidikan untuk Semua dimuat di Koran Berita Cianjur selama dua edisi. Opini saya tersebut dipotong menjadi dua bagian. Opini kedua saya kirimkan kembali ke koran yang sama, judulnya Guru dan Semangat Perubahan. Alhamdulillah dimuat dan dijadikan dua edisi. Kalau mau rajin cari informasi ada banyak koran daerah yang menyediakan kolom opini.  

Hasil tersebut memotivasi saya. Saya kembali menulis. Kali ini saya kirim ke Jawa Pos. Judulnya Sekolah sebagai Ruang Dialog. Opini tersebut pun dimuat. Rasanya tentu saja senang luar biasa. Jawa Pos memiliki jaringan yang sangat luas. Opini saya pun dimuat ulang di beberapa jaringan Jawa Pos tersebut. Tahun 2015 ditutup dengan tiga opini dan satu resensi buku di Koran Jakarta. 2015 sangat berkesan bagi saya.

Tahun 2016 mengirim cukup banyak opini dan cukup banyak juga yang ditolak. Hehehe. Tapi alhamdulillah masih ada yang dimuat. Tapi memang tahun 2016 lebih baik dibanding tahun 2015. Berturut-turut tulisan saya dimuat di Jawa Pos, Koran Jakarta, dan Media Indonesia. Saya juga mengirim tulisan ke media online seperti nu.or.id situs resmi milik Nahdlatul Ulama. Di koran kurang lebih ada lebih dari 10 opini dan 2 resensi buku yang dimuat.

Setiap tulisan dimuat ada kepuasan dan kebahagiaan sendiri. Apalagi jika tulisan kita dibaca oleh banyak orang. Minimal dikomentari dan dikritisi. Komentar sangat bermanfaat bagi penulis pemula seperti saya. Itu saya anggap sebagai bentuk perhatian. Saya butuh sekali banyak masukan.

Lalu apa impian saya selanjutnya. Impian saya adalah menembus kolom opini kompas. Susah sekali menembus kolom opini kompas di halaman 6-7 itu. Hehehe. Saya sudah mengirim lebih dari lima tulisan ke koran kompas. Tapi alhamdulillah selalu dikembalikan. Hehehe. Tapi saya tak mau menyerah. Saya sadar tulisan-tulisan saya memang masih belum cukup bagus untuk bisa dimuat. Perlu usaha yang lebih kuat untuk menghasilkan opini yang bagus.  

Biasanya setelah dikembalikan atau tidak dimuat baru ketahuan di mana kekurangan tulisan kita. Entah logikanya tidak runut, analisisnya kurang mendalam, diksinya tak oke atau bahasanya monoton. Tak dimuat berarti ada kesempatan untuk memperbaik tulisan.

Sayangnya memang tak semua koran memberikan informasi apakah tulisan yang kita kirim dimuat atau tidak. Beberapa media misalnya punya batas waktu: jika dalam satu minggu/dua minggu tidak dimuat tulisan dikembalikan. Tapi banyak media yang tak memberitahukan kepada kita dimuat atau tidak. Membalas emailpun tidak. Itu tentu menjadi kebijakan masing-masing media.

Saya sendiri biasanya ketika dalam dua minggu tulisan tidak dimuat saya akan mengirim email penarikan tulisan saya. Karena kadang juga ada tulisan tertentu yang dimuat di dua koran yang berbeda dalam hari yang sama. Tentu hal tersebut harus kita hindari. Pengalaman saya selama ini Koran Kompas lah yang selalu mengirim informasi apakah tulisan kita layak muat atau tidak. Bisa tiga hari, satu minggu atau satu bulan.

2017 ini saya agak panceklik. Sudah dua bulan saya belum menghasilkan opini apapun. Meskipun demikian saya tetap semangat. Saya masih berusaha menulis di Kompasiana, media online lain dan tentu saja blog saya sendiri. Kesulitan saya adalah membuat tulisan saya lebih tajam analisisnya. Saya masih cenderung deskriptif ketika menganalisa sesuatu.

Penyakit saya yang tak kunjung sembuh adalah kurangnya saya membaca secara reflektif. Sehingga produksi kata-kata cenderung itu-itu saja. Membaca persoalan tak tajam seperti silet. Hehehe. Kata beberapa teman, tulisan saya cenderung mudah ditebak alurnya. Dan saya sadar betul itu. Mungkin jika ada teman-teman yang bisa kasih tips dan trik agar tulisan kita lebih menggigit. Hal tersebut akan  sangat membantu saya.

Sampai saat ini saya tetap berusaha mengirimkan tulisan-tulisan saya baik untuk koran cetak maupun media online. Meskipun belum ada yang dimuat. Mungkin karena isunya tak pas dan tulisannya memang belum cukup baik.

Kita beruntung, saat ini semakin banyak ruang untuk menuliskan gagasan-gagasan. Koran-koran cetak pun banyak yang sudah dibuat dalam epaper. Banyak juga yang dapat diakses secara gratis. Sehingga di manapun kita bisa membacanya.  Maka, ayo tetap  semangat menulis. Tulisan ini juga bentuk menyemangati diri sendiri. Maju terus pantang mundur.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun