Mohon tunggu...
Anggi Afriansyah
Anggi Afriansyah Mohon Tunggu... Penulis - Peneliti

Masih terus belajar. Silahkan kunjungi blog saya: http://anggiafriansyah.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Gus Dur: Ibu Kota Kaum Teraniaya

7 Februari 2017   13:09 Diperbarui: 7 Februari 2017   13:49 842
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ia pun harus sabar menunggu giliran untuk bertemu Gus Dur. Setiap hari ia datang ke kantor PBNU, menunggu di depan ruang Gus Dur. Tekadnya untuk bertemu dengan Gus Dur sangat besar. Ia memiliki keyakinan tinggi Gus Dur akan menerimanya. Padahal setelah dua hari menunggu, uang sakunya sudah mulai menipis. Jelas sekali ia tak bisa berlama-lama di Jakarta dengan kondisi tersebut.

Penantian yang penuh kesabaran tersebut ternyata membuahkan hasil. Ia pun diijinkan untuk mewawancarai Gus Dur secara langsung. Tidak main-main, ia diajak Gus Dur duduk bersebelahan selama di pesawat Jakarta-Surabaya. Selama di pesawat ia diberi kesempatan untuk bertanya beragam hal berkait penelitiannya.

Pengalaman tersebut sangat berkesan bagi sahabat saya tersebut. Yang menurutnya merupakan berkah tersendiri. Ia seolah mendapat durian runtuh. Ia dapat secara langsung mewawancarai Gus Dur, duduk bersebelahan dengannya, dan pulang ke Surabaya gratis. Keajaiban-keajaiban maupun kisah unik seperti yang dialami oleh sahabat saya tersebut banyak juga diceritakan orang-orang yang pernah bertemu langsung dengan Gus Dur.

Untuk pembelaan terhadap mereka yang teraniaya, posisi Gus Dur sangatlah jelas. Dia siap membela kelompok yang terpinggirkan ketika tak banyak yang mau bersuara secara lantang.

Di dalam Film Dokumenter Konghucu (Bukan) Agama Baru karya Dandy Laksono, Budi S. Tanuwibowo (Ketua Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia 2002-2010) menceritakan bagaimana pembelaan-pembelaan Gus Dur terhadap etnis Tionghoa yang beragama Konghucu. Salah satunya adalah ketika Gus Dur menghadiri persidangan gugatan pengantin Konghucu terhadap catatan sipil yang menolak mencatatkan pernikahan meraka. Pembelaan tersebut dilakukan sebelum Gus Dur menjadi presiden.

Ketika jadi presiden Gus Dur membuka ruang besar agar perayaan kultural etnis Tionghoa yang sebelumnya dilarang oleh Pemerintahan Era Orde Baru dapat dirayakan secara terbuka. Dan sampai sekarang kegiatan-kegiatan menyambut tahun baru imlek dirayakan begitu meriah oleh kita semua.

Ketika lupa menebar kasih dan malah asyik menebar kebencian, kita perlu mengingat Gus Dur. Kita patut mempelajari ide-ide besar yang sudah ditinggalkan Gus Dur. Mengikuti jejak langkah dan teladan baik yang ditinggalkan oleh Gus Dur.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun