Saya pernah menjadi guru. Guru PKn tepatnya. Iya betul guru Pendidikan Kewarganegaraan. Pelajaran PKn sudah pasti bukan pelajaran yang banyak difavoritkan anak-anak bangsa di seantero negeri ini. Coba saja cek, siapa anak yang sejak kecil bercita-cita jadi guru PKn? Saya haqqul yaqin tidak ada. Kalau ditanya cita-cita di masa depan, anak-anak kecil yang unyu-unyu itu pasti ingin jadi dokter, insinyur, gubernur, presiden, atau selebritis.
Atau di era sekarang minimal jadi seleb di medsos, instagramnya di-like puluhan ribu orang, vlog-nya ditonton dan di-endorse banyak produk. Punya uang banyak dan bahagia. Dan pastinya gak ada yang mau jadi guru PKn. Ini akan jadi bahaya laten. Lama-lama Guru PKn akan semakin langka bahkan punah jika tidak dilestarikan.
Jika dibuat survei ke siswa-siswa kelas XII SMA sederajat, dari satu angkatan mungkin hanya satu atau dua anak yang berkeinginan melanjutkan kuliah di jurusan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Atau coba cek ke mahasiswa PPKn angkatan pertama, siapa yang memang dari SMA sudah niat masuk ke jurusan PPKn? Dari satu angkatan paling hanya beberapa yang niat masuk ke jurusan PPKn.Â
Satu contoh misalnya. Saya punya teman satu angkatan yang niat banget masuk jurusan PPKn. Dia diterima di kampus lewat jalur Penelusuan Minat dan Kemampuan (PMDK). Dia selalu bilang dia bangga banget masuk jurusan PPKn. Dari zaman SMA dia sudah niat jadi guru PKn dan punya target masuk jurusan PPKn lewat jalur PMDK. Sekarang dia sudah jadi guru PKn di salah satu sekolah top di wilayah Jakarta timur. Niatan mulia dan ghirohnya mengabdi untuk bangsa dan negara dikabul oleh Tuhan yang Maha Mengabulkan.
Dari total populasi siswa SMA di republik ini, pasti akan jarang sekali ditemui orang-orang yang sudah punya niat mulia seperti teman saya ini. Jadi guru saja banyak yang tidak mau, apalagi jadi guru PKn. Meminati pelajaran PKn aja pas di sekolah gak pernah, apalagi jadi gurunya.
Sedikit flash back. Dulu pelajaran ini bernama Civics(1962). Pernah juga bernama Pendidikan Kewarganegaraan Negara (1968). Lalu berubah menjadi Pendidikan Moral Pancasila (PMP) (1975). Setelah itu menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) (1994). Dan sejak tahun 2004 sampai saat ini bernama Pendidikan Kewarganegaraan (PKn).
Tiap rezim punya kepentingan untuk mengonstruksi warga negara apa yang ingin dibentuk. Salah satu mekanismenya melalui pelajaran PKn ini. Nah, doktrin-doktrin politik dan kebangsaan, salah satunya, diinternalisasikan melalui pelajaran PKn ini.
Mulai dari era Civics, Pendidikan Kewargaan dan Negara, PMP, PPKn, dan PKn punya materi yang berbeda-beda. Tapi intinya sama memberikan pendidikan politik bagi anak-anak bangsa. Cuma di TK atau PAUD aja yang tidak ada pelajaran PKn. Dari SD, SMP, SMA, sampai perguruan tinggi ada pelajaran PKn ini.
Kalau dulu materi pelajaran berkutat pada toleransi, tepo seliro, tenggang rasa, saling menghormati, etika kebangsaan. Sekarang materinya lebih luas. Di SMA misalnya mulai dari materi hukum, politik, pendidikan anti korupsi, hubungan internasional, otonomi daerah, kewarganegaraan, konstitusi, ideologi, dan peran pers.
Berat? Ya berat banget. Kebayangkan maboknya guru PKn menyampaikan materi-materi tersebut. Bagus? Ya bagus kalau anak-anak bisa ngerti, minimal ngeh dengan apa yang disampaikan guru.
Tapi kenapa masih banyak yang KKN, gak toleran, gak bisa dialog, sering fitnah dan bikin ujaran penuh kebencian di media sosial kalau materi pelajarannya segitu bagusnya?
Karena eh karena, seringkali materi-materi yang bagus-bagus hanya sebatas diajari, diceramahi, bukan dipraktikkan. Dan lucunya lagi ujiannya tetap pilihan ganda. Anak terbiasa dikasih pilihan terbatas. Gak imajinatif, berpikir hitam putih, malas menganalisa. Akhirnya, sebagian dari kita cuma pinter bicara moral, tapi gak bisa praktik. Bicara toleran tapi intoleran. Karena gak tahu bagaimana harus toleran.
Tahu Indonesia beragam. Ada banyak agama, budaya, kelas sosial, bahasa dan lainnya. Tapi ya, sebatas teori aja. Jawab soal ya pinter-pinter. Tapi praktik ya beda lagi. Akhirnya ungkapan, itu kan teori, praktiknya ya beda, muncul terus. Ya wis, gak heran sekarang banyak yang gak bisa hidup berdampingan secara damai di Indonesia yang multikultural ini.
Mengapa pelajaran ini kurang diminati anak bangsa dan mengapa tak banyak anak bangsa yang punya ghiroh besar untuk menjadi guru PKn masa depan yang sukses dunia dan akhirat? Ini analisa sok tahu dari saya mantan guru PKn yang belum bisa move on.
Pertama, pelajaran PKn kalah pamor dengan pelajaran Sosiologi, Geografi, Matematika, Biologi, Kimia dan Fisika. Tidak ada pelajaran PKn di Ujian Nasional. PKn juga gak ada di materi ujian masuk perguruan tinggi. Paling nanti ada lagi pas ujian CPNS. Tinggal beli buku best seller kumpulan soal-soal menjadi PNS, beres. Gak usah belajar serius dari zaman sekolah.
Terus, mana ada bimbingan belajar (bimbel) yang menyediakan fasilitas pelajaran PKn. Artinya, peluang guru Pkn jadi guru bimbel atau guru les sangat kecil. Akhirnya, tidak ada penghasilan tambahan. Jadi, masuk jurusan PKn sangat tidak prospektif, karena tidak akan mendapatkan banyak penghasilan tambahan.
Kedua, belajar PKn itu tidak menguntungkan. Kalau cita-citanya jadi politisi, ya tidak perlu juga serius-serius belajar PKn. Caranya jelas kok. Jadi pengusaha, banyak uang, masuk partai, ikut pemilu, duduk jadi anggota DPR. Mekanismenya jelas banget. Jelas tidak ada korelasi antara nilai PKn yang bagus dengan cerahnya karir politik di masa depan.
Maka apa untungnya belajar PKn serius-serius. Mending belajar Matematika, Biologi, atau Bahasa Inggris. Manfaatnya lebih jelas. Lha belajar PKn? Materinya banyak, belajar perundang-undangan, politik, hukum tapi apa yang ada di pelajaran dengan kenyataan di dunia nyata berbeda.
Ketiga, Guru PKn ngajarnya gak asik. Asik jelasin sendiri. Asik ngerti sendiri. Gak perduli sama sikap anak-anaknya. Kebanyakan cerita dan ceritanya ga menggugah dan mencerahkan. Jadi lebih baik, pas guru PKn ngajar ya tidur saja. Atau, pas pelajaran PKn, buka pelajaran lain, ngerjain soal Matematika, Fisika, Kimia yang lebih penting. Buka-buka Instagram sambil stalking mantan juga boleh. Atau bisa juga sambil cekikikan baca Mojok. Itu lebih asyik pastinya. Saya yakin, banyak yang melakukan itu ketika guru PKn sedang mengajar di depan kelas. Hayo ngaku?
Sebab itu, Guru PKn harus bikin pelajaran ini semakin asyik.
Misal, ajak anak-anak untuk banyak baca buku. Misal baca Madilognya Tan Malaka, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyatnya Cindy Adams, Untuk Negerikunya Bung Hatta, Pesan-pesan Islamnya Agus Salim, dan banyak buku keren lainnya. Jangan cuma baca buku paket aja. Minimal mereka tergerak untuk membaca buku itu secara serius nantinya. Â
Guru PKn bisa memanfaatkan kemajuan teknologi. Sesekali ajak anak-anak (terutama anak SMA) untuk nonton film-film dokumenternya Mas Dandhy Laksono. Atau lihat film dokumenternya Joshua Oppenheimer misal The Act of Killing atau Senyap. Setelah itu ajak diskusi. Sambal ketawa-tawa boleh, yang penting substansinya dapat.
Praktik juga penting. Sesekali ajak anak-anaknya wawancara masyarakat atau survei kecil-kecilan di sekitar sekolah. Agar mereka tahu realitas sosial di sekitarnya. Ada juga teman yang sering bikin sosiodrama. Biar lebih menjiwai pembelajaran katanya.
Anak harus dikenalkan ke berbagai perspektif. Ingat dikenalkan bukan dijejalkan. Kalau dijejalkan ya mabok. Katanya mau buat anak belajar berdemokrasi tapi kok caranya otoriter. Gak nyambung.
Kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan supaya anak gak hanya pinter teori tapi ga bisa praktik. Terbiasa dengan beragam perspektif yang ada di masyarakat Indonesia yang beragam. Jangan sampai pelajaran yang diberikan menjauhkan anak dari dari realitas kehidupan kesehariannya. Artinya pendidikan kita seringkali gak kontekstual.
Makanya saya mengajak teman-teman saya guru PKn seindonesia untuk bersatu. Yakinlah teman-teman punya peran penting untuk menguatkan kebhinekaan Indonesia. Kerja keras memang. Tapi, bukankah sedikit kontribusi lebih berarti dibanding diam, atau mencak-mencak tiap hari. Dua jam perminggu teman-teman di hadapan anak-anak bangsa yang lucu-lucu itu begitu berarti. Jangan sampe terjebak jadi guru yang kerjanya hanya ngajar, bikin soal, kasih tugas, koreksi, dan kasih nilai.
Maka, ayo, Guru PKn seindonesia, bersatulah!Â
Salam perjuangan, dari Mantan Guru PKn yang belum bisa move on.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H