Mohon tunggu...
Anggi Oktavia
Anggi Oktavia Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Andalas

Saya suka membaca dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Baralek dengan Dekorasi Tradisional, Apa Masih Zaman?

7 Desember 2023   19:40 Diperbarui: 7 Desember 2023   19:43 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh : Anggi Oktavia 

Undangan turun mandi dari keluarga jauh Ayah di daerah yang terkenal dengan oleh-oleh kacangnya, membuat Saya dan Keluarga berangkat sekitar jam sepuluh pagi menuju Surian. Duduk di atas mobil pick up yang terbuka membuat mata lepas memandang. Saya  dan keluarga menikmati perjalanan. Saat tiba di daerah  tanah hitam, terlihat hamparan kebun teh di kanan dan di kiri.  Ibu dan Uwo langsung mengambil jaket dari dalam tas, menyuruh kami memakai jaket, supaya tidak kedinginan Semakin jauh perjalanan, udara dingin semakin terasa menusuk tulang. Tiba di seberang Masjid Umi, tepat di depan SMA 1 Lembah Gumanti, mobil di hentikan suami One. Angin sepoi-sepoi terasa menghempas badan. Kami sekeluarga mengeluarkan nasi dan sambal lado untuk makan. Selesai makan, Saya dan Uwo menunaikan kewajiban, berdialog dengan Tuhan di Masjid Umi, Alahan Panjang.

Mobil pick up milik One terus melaju kencang, menelusuri jalanan. Jalanan-jalanan berlubang membuat perut kami berguncang. Sekitar jam satu Kami sampai di rumah keluarga yang ada di Surian. Kami di suguhkan makanan. Tetapi sayang, saat kami sampai ritual turun mandi anak adik ayah yang kami kunjungi, sudah selesai. Di sudut rumah milik adik Ayah itu, tampak ada kasur anak Bayi, dan di sebelahnya ada Ibunya dengan kaki selonjoran. Ujung kakinya di ikat daun. Ada makanan yang berbeda seperti panukuik tetapi warnanya merah, rasanya manis dan gurih.   

Sekitar jam tiga, kami memutuskan untuk pulang dari Surian. Tidak jauh dari tugu bertuliskan selamat jalan, One berhenti membeli kacang. Saya pun ikut turun untuk membeli Kacang, Bermerek "Kacang Haji Arifin" kacang ini sangat terkenal. Serta masih banyak oleh-oleh yang masih dari olahan kacang.

Bukit yang di penuhi batang surian membuat mata sedap memandang, berwarna hijau dan kuning. Tiba di belokkan selanjutnya, terlihat bukit yang meliuk-liuk. Juga terlihat Ladang di atas bukit beserta satu-dua pondok terlihat sangat tinggi untuk sampai di sana.

One membawa kami singgah di Aia Dingin, melihat anak teman suaminya baralek. Baralek adalah pesta pernikahan yang di lakukan orang minangkabau. Kami sampai di sana sekitar jam lima sore. Hamparan bukit yang luas di sana, beserta jejeran rumah di seberang sana membuat pemandangan segar, menciptakan perasaan kagum di hati saya. Bukit di depan kita terlihat berwarna hijau dan kuning karena terkena kilauan matahari. Rumah kayu itu sudah di penuhi oleh tamu undangan yang datang.

Tetapi, ada yang tidak saya temukan, panggung orgen dan pelaminan luar yang biasa ada saat orang Baralek di kampung saya. Seketika itu saya berpikir, bahwa keluarga memang menyelenggarakan pesta pernikahan dengan pelaminan di dalam rumah. Udara dingin menusuk tulang.

Ibu berbisik di telinga saya "Nak, jangan ketawakan orang sembarangan" Saya mengangguk dan lamgsung mengerti. "iya Bu, orang alahan panjang ini" bisikku menjawab ibu.

Saya melihat ada sekelompok ibu-ibu yang turun dari rumah orang baralek, menggendong anaknya di punggung menggunakan kain panjang, mereka tidak menggunakan sendal. Hati saya tergugah, merasakan vibes orang zaman dahulu. Dalam rumah kayu yang sesak, karena orang banyak, kemudian keluar Marapulai memakai baju warna merah, dan tingkuluak.

"Bedaknya tebal bana tek" bisik one kepada ibu. Aku melihat one dan ibu berusaha menyembunyikan tawa. Tiba-tiba orang rumah membawa one, menyuruh masuk untuk makan. Kami pun masuk ke dalam.

Dari pintu kita bisa menyaksikan, Rumahnya memanjang, posisi pintu ada di sebelah kiri. Sedangkan ke kanan adalah pelaminan dan kursi pengantin. Saya terkejut dan heran melihat dinding pelaminan yang di hias dengan kain kelambu yang berbeda, meskipun berwarna warni. Tetapi tidak seperti dekorasi masyarakat pada umumnya, yang sudah menggunakan pelaminan modern. Tempat duduk tamu pun masih menggenakan kasur, di alasi kain panjang. Terlihat anak-anak muda seusia saya, menggunakan kemeja putih, peci, dan kain sarung di selempangkan di dada. ikut duduk di atas kasur. Kasur yang di buat memanjang di kedua sisi rumah, membuat Saya berhadapan dengan masyarakat yang juga datang Baralek. Saya merasa benar-benar harus menjaga sikap saat makan. Kami pun makan bajamba, menikmati hidangan. Sementara Anak Daro duduk sendiri di atas pelaminan.

Magrib usai sudah, langit gelap dengan udara yang lembab membuat siapa saja yang berada di sana menggertakkan gigi, saking dinginnya. Termasuk Saya, bahkan udara lembab yang menerpa badan, mengilukan tulang Saya. Di halaman rumah di pasang terpal, untuk tenda. Juga, di tanah di alasi terpal, tak sengaja kaki Saya hampir saja menginjak dulang berisikkan "silamak" atau lemang seperti tumpeng.

Kata Uwo "itu hantaran yang di bawa oleh Marapulai sebagai syarat untuk datang ke rumah perempuan atau Anak Daro." Kami bergegas menaiki mobil pick up. Perjalanan yang terjal, licin, dan berbatu (belum di aspal sangat menguji nyali).   

Uwo Eli memecahkan keheningan "Mereka masih menggunakan adat, dan dekorasi pelaminan orang maso isuak" (artinya orang lama).

"lihatlah, dekorasi yang lama itu namanya Garediang, sangat jarang orang zaman sekarang masih menggunakan itu sebagai hiasan dinding pelaminannya. Terakhir mungkin generasi Ibu Anggi yang memakai itu. Masyarakat di sini masih menggunakan adat lama seperti itu, tidak hanya hiasan pelaminan, tapi juga cara hidup mereka yang masih melestarikan nilai-nilai zaman dulu, mulai dari tata cara jemput-menjemput, teknik pelaksanaan, bahkan sampai pada cara mereka berpidato saat menjelang makan bajamba."

"kelambu yang di gunakan masih kelambu zaman dahulu. Hantaran juga sangat di perhatikkan. Pesta pernikahan uwo dan ibu dulu sesederhana itu."

"tapi kenapa mereka tidak beranjak pada modernisasi pesta pernikahan Wo, kan sudah banyak wedding organizer yang bisa mereka sewa?" Tanyaku pada Uwo.

"Hal itu di sebabkan karena dekorasi yang mereka kenal dari dulu adalah seperti itu, dan tak ada yang mencoba memakai pelaminan  modern. Juga karena ekonomis menggunakan kain yang di dekor sendiri, tanpa menyewa" Uwo bercerita panjang lebar, sedangkan di samping kiri saya terlihat kerlap-kerlip lampu perahu di danau Kembar. Sangat indah sekali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun