Magrib usai sudah, langit gelap dengan udara yang lembab membuat siapa saja yang berada di sana menggertakkan gigi, saking dinginnya. Termasuk Saya, bahkan udara lembab yang menerpa badan, mengilukan tulang Saya. Di halaman rumah di pasang terpal, untuk tenda. Juga, di tanah di alasi terpal, tak sengaja kaki Saya hampir saja menginjak dulang berisikkan "silamak" atau lemang seperti tumpeng.
Kata Uwo "itu hantaran yang di bawa oleh Marapulai sebagai syarat untuk datang ke rumah perempuan atau Anak Daro." Kami bergegas menaiki mobil pick up. Perjalanan yang terjal, licin, dan berbatu (belum di aspal sangat menguji nyali). Â Â
Uwo Eli memecahkan keheningan "Mereka masih menggunakan adat, dan dekorasi pelaminan orang maso isuak" (artinya orang lama).
"lihatlah, dekorasi yang lama itu namanya Garediang, sangat jarang orang zaman sekarang masih menggunakan itu sebagai hiasan dinding pelaminannya. Terakhir mungkin generasi Ibu Anggi yang memakai itu. Masyarakat di sini masih menggunakan adat lama seperti itu, tidak hanya hiasan pelaminan, tapi juga cara hidup mereka yang masih melestarikan nilai-nilai zaman dulu, mulai dari tata cara jemput-menjemput, teknik pelaksanaan, bahkan sampai pada cara mereka berpidato saat menjelang makan bajamba."
"kelambu yang di gunakan masih kelambu zaman dahulu. Hantaran juga sangat di perhatikkan. Pesta pernikahan uwo dan ibu dulu sesederhana itu."
"tapi kenapa mereka tidak beranjak pada modernisasi pesta pernikahan Wo, kan sudah banyak wedding organizer yang bisa mereka sewa?" Tanyaku pada Uwo.
"Hal itu di sebabkan karena dekorasi yang mereka kenal dari dulu adalah seperti itu, dan tak ada yang mencoba memakai pelaminan  modern. Juga karena ekonomis menggunakan kain yang di dekor sendiri, tanpa menyewa" Uwo bercerita panjang lebar, sedangkan di samping kiri saya terlihat kerlap-kerlip lampu perahu di danau Kembar. Sangat indah sekali.