'ayah pergi mbak, katanya mbak akan makan malam sendiri', ungkapnya sesopan mungkin.
'makasih', ungkapku lirih.
Aku kembali ke kamarku dan melihat lukisan lagi. Aku sebenarnya agak sangsi jika lukisan ini tidak meninggalkan selarik tulisanpun. Aku membalik lukisan-lukisan tersebut, dan disuatu sudut belakang lukisan aku melihat sebuah tulisan yang terasa aneh.
'...yang tidak boleh dia lakukan adalah cemburu kepadaku...'
Tulisan itu tentu saja bukan tulisan Sandi. Tentu saja itu tulisan sang pelukis. Lukisan itu bagiku malam itu seperti horor yang menghantui dalam film-film horor yang tak kusuka. Semua didalamnya bergambar perempuan sebagai objeknya. Bergambar perempuan yang menderita sepertinya. Aku tak tau apa maskdunya itu.
Aku pula gelisah tak melihat ayah pulang semalaman. Aku hanya tertidur dikamarku dan bolak-balik melihat ke jendela memandangi bintang-bintang malam. Aku tak mampu memendam rasaku. Akhirnya aku tertidur dengan keadaan jendela terbuka lebar. Rasanya angin malam yang paling setia menemaniku mala mini. Angin malam yang membuat aku terus digerayangi kesejukan dan rasa.
Tengah malam, aku terbangun. Aku mengambil segelas air dan melihat ponsel. Aku melihat beberapa pesan dari Bayu dan melihat missed call-nya beberapa kali. Aku menekan namanya dan ingin bicara padanya malam ini juga. Bayu sepertinya tidak tidur dengan mengangkat telponku buru-buru.
‘ya Le’
‘Bay, kamu dimana? Aku ingin sama kamu malam ini’
‘Le, ada apa?’
‘aku tak mampu bercerita Bay, kau harus kesini’