Dunia secara global sedang mencanangkan penerapan konsep ramah lingkungan pada setiap unsur, termasuk pada rumah tinggal. Konsep ini sering dikenal dengan sebutan rumah ramah lingkungan atau eco-house. Salah satu inovasi yang penting dalam desain bangunan ramah lingkungan adalah pemanfaatan pencahayaan alami. Dengan memaksimalkan pencahayaan alami, rumah dapat mengurangi ketergantungan pada sumber energi listrik, terutama pada siang hari. Penggunaan jendela berukuran relatif besar dan skylight di area atap memungkinkan cahaya matahari masuk secara optimal, menciptakan suasana yang lebih terang dan nyaman di dalam rumah (BSN, 2000).
Selain itu, ventilasi yang baik juga merupakan elemen kunci dalam desain bangunan ramah lingkungan. Ventilasi alami dapat dicapai melalui penempatan jendela dan bukaan strategis yang memungkinkan sirkulasi udara yang efisien. Dengan cara ini, suhu dalam ruangan dapat dijaga tetap sejuk tanpa perlu menggunakan pendingin udara yang boros energi. Inovasi dalam pencahayaan dan ventilasi alami tidak hanya berkontribusi pada penghematan energi, tetapi juga meningkatkan kualitas hidup penghuni dengan menciptakan lingkungan yang lebih sehat dan menyenangkan.
Rumah-rumah dengan jendela lebar paling sering ditemukan di Jakarta sebagai kota yang paling progresif mengikuti perkembangan tren dan sedang gencar terdampak isu perubahan iklim. Desain dengan konsep ini banyak ditemukan pada rumah tipe minimalis atau kontemporer, hal ini disebabkan bentuk yang tegas dari jendela lebar ini mempertegas kesan tersebut. Pada rumah tingkat rendah, sering disiasati dengan skylight, terutama jika rumah tersebut berada di kawasan padat yang menyebabkan cahaya dari samping tidak maksimal karena terhalang bangunan di sebelahnya. Namun, beberapa desain rumah mengombinasikan kedua bukaan tersebut sehingga cahaya yang didapatkan lebih maksimal lagi.
Adapun alasan yang menjadi acuan dalam penerapan desain ini adalah bahwa:
1. Pencahayaan alami akan menghemat pemakaian listrik untuk penerangan pada siang hari. Isu ini menjadi sangat relevan dalam penerapan jendela lebar dan skylight pada eco-house, di mana pengurangan penggunaan energi listrik tidak hanya menguntungkan secara ekonomi tetapi juga berkontribusi terhadap pengurangan jejak karbon.
2. Paparan sinar matahari yang cukup sangat penting untuk kesehatan. Sinar matahari membantu dalam memproduksi vitamin D, mendukung tubuh dalam memproduksi hormon serotonin, serta memperkuat tulang dan menyembuhkan beberapa gangguan kulit (Kompas, 2018). Dengan desain yang memaksimalkan pencahayaan alami, penghuni dapat menikmati manfaat kesehatan ini secara optimal.
3. Sirkulasi udara alami akan membuat lingkungan di dalam rumah menjadi lebih sehat. Ventilasi yang baik tidak hanya menciptakan kenyamanan tetapi juga berfungsi sebagai stabilisasi udara alami yang hemat biaya. Dengan adanya sirkulasi yang baik, kelembapan dan polusi udara dapat diminimalisir, menciptakan suasana yang lebih segar dan bersih.
4. Selera beberapa orang yang menyukai desain ini secara estetika juga menjadi faktor penting. Jendela lebar dan skylight tidak hanya berfungsi praktis tetapi juga memberikan nilai tambah visual pada bangunan. Desain yang modern dan terbuka menciptakan kesan luas dan terang, menjadikan ruang lebih menarik dan nyaman untuk dihuni.
Tapi penerapan desain ini di Jakarta bisa menjadi antiklimaks karena pada beberapa kondisi tidak cocok dengan keadaan kota itu sendiri, serta dengan kebiasaan dari penduduknya. Beberapa hal yang bisa dianalisis dari keadaan tersebut adalah :
1. Jakarta merupakan kota yang berada pada daerah tropis, dimana pencahayaan serta pemanasan sinar matahari relatif maksimal. Hal ini menyebabkan suhu ruangan di dalam rumah akan terasa cukup tinggi. Pada rumah yang menerapkan desain eco-house dengan jendela lebar dan skylight, akhirnya harus disiasati dengan pendingin udara. Pemakaian pendingin udara ini tentu bertentangan dengan tujuan utama dari pencahayaan alami, yaitu penghematan pemakaian listrik. Oleh karena itu, desain ini kurang efektif dalam mengurangi beban listrik di wilayah tropis seperti Jakarta (BMKG, 2018).
2. Kondisi kualitas udara Jakarta terutama pada siang hari berada pada kondisi Sedang mendekati Tidak Sehat. Misalnya, pada tanggal 14 Agustus 2018, partikulat PM10 pada pukul 10.00 WIB berada pada pengukuran 150 µgram/m³, yang merupakan ambang batas Tidak Sehat. Sementara itu, partikulat PM2.5 pada pukul 11.00 WIB berada pada titik maksimum 121,47 µgram/m³, yang dua kali lipat batas konsentrasi yang diperbolehkan yaitu 65 µgram/m³ (BMKG, 2018). Dengan kondisi tersebut, pilihan membuka jendela untuk mendapatkan sirkulasi udara yang baik di Jakarta dirasa kurang tepat karena risiko inhalasi debu yang berbahaya bagi kesehatan.
3. Merujuk pada kondisi kualitas udara buruk pada poin 2, hal ini tidak hanya berdampak pada kesehatan, tapi kondisi berdebu ini akan membuat keadaan perabotan rumah menjadi cepat kotor dan akan memerlukan pemeliharaan dan perawatan yang lebih besar. Ini berarti bahwa warga Jakarta harus melakukan pekerjaan rutinitas membersihkan rumah mereka secara berkala untuk menjaga kebersihan interior, yang tidak selalu mudah dilakukan terutama bagi keluarga-keluarga sibuk.
4. Pada jangka pendek, yakni saat pembangunan, memakai kaca untuk jendela yang lebar tentu akan lebih boros daripada memakai kaca pada jendela yang lebih kecil. Hal ini dikarenakan material kaca relatif lebih mahal dibandingkan pasangan bata atau celcon yang merupakan substitusi dari luasan jendela. Meskipun demikian, hal ini telah menjadi pertimbangan oleh para desainer ketika pemilihan desain dan dalam perhitungan RAB (Rencana Anggaran Biaya)
5. Tidak bisa dipungkiri bahwa masyarakat Indonesia dan Jakarta khususnya tidak menyukai paparan sinar matahari langsung maupun dengan durasi lama. Bisa jadi karena derajat suhu yang akan otomatis menjadi tinggi dan tidak suka dengan efek silau yang ditimbulkan. Banyak kita temui vertical atau horizontal blind pada gedung-gedung perkantoran dan rumah tinggal dengan keadaan tertutup, sehingga lagi-lagi bangunan tersebut mengandalkan cahaya lampu untuk penerangan ruangan.
6. Negara tropis juga merupakan habitat utama untuk nyamuk dan berbagai serangga tropis lainnya. Dengan kondisi jendela yang terbuka, tentu akan memungkinkan binatang jenis ini gampang masuk ke dalam rumah dan akan memberikan permasalahan baru bagi penghuni rumah tersebut. Masalah serangga ini dapat menyebabkan investasi hewan peliharaan, kerusakan properti, dan bahkan penyakit zoonosis yang berpotensi membahayakan manusia.
Alhasil, berdasarkan beberapa poin di atas, mungkin bisa diperhitungkan tentang seberapa optimal bukaan jendela dan luasan skylight dapat diaplikasikan pada setiap rumah, serta bagaimana karakteristik daerah dapat mempengaruhi penerapan desain ini. Misalnya, penting untuk mempertimbangkan faktor-faktor seperti orientasi bangunan terhadap sinar matahari, ketinggian bangunan di lingkungan sekitar, dan tingkat polusi udara yang ada. Dengan analisis yang tepat, kita dapat menentukan ukuran dan posisi jendela serta skylight yang paling efisien untuk memaksimalkan pencahayaan alami tanpa menambah beban suhu dalam ruangan.
Selain itu, hal ini juga bisa dijadikan dasar dari perhitungan lebih lanjut mengenai lebar jendela dan skylight yang berbeda pada kawasan yang memiliki derajat berbeda dari garis khatulistiwa. Setiap wilayah dengan iklim dan cuaca yang berbeda mungkin memerlukan pendekatan desain yang unik untuk mencapai keseimbangan antara pencahayaan alami dan kenyamanan termal. Penelitian lebih lanjut tentang pengaruh desain ini terhadap penggunaan energi dan kesehatan penghuni juga sangat diperlukan. Dengan demikian, inovasi dalam desain bangunan ramah lingkungan tidak hanya akan lebih efektif tetapi juga lebih relevan dengan kondisi lokal, sehingga dapat memberikan manfaat yang maksimal bagi masyarakat Jakarta dan daerah tropis lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H