3. Merujuk pada kondisi kualitas udara buruk pada poin 2, hal ini tidak hanya berdampak pada kesehatan, tapi kondisi berdebu ini akan membuat keadaan perabotan rumah menjadi cepat kotor dan akan memerlukan pemeliharaan dan perawatan yang lebih besar. Ini berarti bahwa warga Jakarta harus melakukan pekerjaan rutinitas membersihkan rumah mereka secara berkala untuk menjaga kebersihan interior, yang tidak selalu mudah dilakukan terutama bagi keluarga-keluarga sibuk.
4. Pada jangka pendek, yakni saat pembangunan, memakai kaca untuk jendela yang lebar tentu akan lebih boros daripada memakai kaca pada jendela yang lebih kecil. Hal ini dikarenakan material kaca relatif lebih mahal dibandingkan pasangan bata atau celcon yang merupakan substitusi dari luasan jendela. Meskipun demikian, hal ini telah menjadi pertimbangan oleh para desainer ketika pemilihan desain dan dalam perhitungan RAB (Rencana Anggaran Biaya)
5. Tidak bisa dipungkiri bahwa masyarakat Indonesia dan Jakarta khususnya tidak menyukai paparan sinar matahari langsung maupun dengan durasi lama. Bisa jadi karena derajat suhu yang akan otomatis menjadi tinggi dan tidak suka dengan efek silau yang ditimbulkan. Banyak kita temui vertical atau horizontal blind pada gedung-gedung perkantoran dan rumah tinggal dengan keadaan tertutup, sehingga lagi-lagi bangunan tersebut mengandalkan cahaya lampu untuk penerangan ruangan.
6. Negara tropis juga merupakan habitat utama untuk nyamuk dan berbagai serangga tropis lainnya. Dengan kondisi jendela yang terbuka, tentu akan memungkinkan binatang jenis ini gampang masuk ke dalam rumah dan akan memberikan permasalahan baru bagi penghuni rumah tersebut. Masalah serangga ini dapat menyebabkan investasi hewan peliharaan, kerusakan properti, dan bahkan penyakit zoonosis yang berpotensi membahayakan manusia.
Alhasil, berdasarkan beberapa poin di atas, mungkin bisa diperhitungkan tentang seberapa optimal bukaan jendela dan luasan skylight dapat diaplikasikan pada setiap rumah, serta bagaimana karakteristik daerah dapat mempengaruhi penerapan desain ini. Misalnya, penting untuk mempertimbangkan faktor-faktor seperti orientasi bangunan terhadap sinar matahari, ketinggian bangunan di lingkungan sekitar, dan tingkat polusi udara yang ada. Dengan analisis yang tepat, kita dapat menentukan ukuran dan posisi jendela serta skylight yang paling efisien untuk memaksimalkan pencahayaan alami tanpa menambah beban suhu dalam ruangan.
Selain itu, hal ini juga bisa dijadikan dasar dari perhitungan lebih lanjut mengenai lebar jendela dan skylight yang berbeda pada kawasan yang memiliki derajat berbeda dari garis khatulistiwa. Setiap wilayah dengan iklim dan cuaca yang berbeda mungkin memerlukan pendekatan desain yang unik untuk mencapai keseimbangan antara pencahayaan alami dan kenyamanan termal. Penelitian lebih lanjut tentang pengaruh desain ini terhadap penggunaan energi dan kesehatan penghuni juga sangat diperlukan. Dengan demikian, inovasi dalam desain bangunan ramah lingkungan tidak hanya akan lebih efektif tetapi juga lebih relevan dengan kondisi lokal, sehingga dapat memberikan manfaat yang maksimal bagi masyarakat Jakarta dan daerah tropis lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H