"Ah yang bener. Biasanya kamu inget sama aku kalau lagi butuh temen curhat aja kan? Hahaha. Udahlah Na, aku tuh kenal banget sama kamu. Udah kenapa lagi sekarang?"
*****
Dia jauh lebih mengenalku daripada diriku sendiri. Membagi beban hidupku kepadanya meski hanya lewat untaian kata yang diantarkan gelombang suara, sudah cukup membuatku lega. Dia seorang kawan lama, tapi keberadaannya selalu nyata. Meski ribuan kilometer jarak membentang diantara aku dan dia tidak membuatku merasa berjauhan dengannya. Justru disaat-saat seperti inilah dia terasa sangat dekat. Disaat pikiran carut marut yang pada akhirnya membuat bad mood, nasehat-nasehatnyalah yang kuturut.
Entah sudah berapa lama aku meledak-ledak. Menceritakan semua kekesalanku pada pekerjaan yang sedang kujalani. Setiap tugas yang diberikan atasan seolah-olah hanya sebagai alat untuk mempermainkan. Lingkungan kerja yang sudah mulai tidak kondusif, penuh intrik dan politik. Demi apapun, aku sudah sangat muak.
Aku pikir, dia akan mendukungku untuk segera mengajukan surat pengunduran diri dan memulai langkahku untuk berwirausaha. Ternyata tidak. Sebaliknya dia malah menyuruhku berpikir ulang. Sedikit dia bercerita tentang lika-liku hidupnya setelah kami berpisah sembilan tahun yang lalu. Setelah aku lulus dan langsung mendapat tawaran untuk bekerja di Surabaya. Dia bilang, betapa aku seharusnya jauh lebih bersyukur karena setiap langkah-langkahku selalu diberi kemudahan, meskipun dalam satu hal tentang menemukan pasangan hidup belum. Dia bercerita tentang perjuangannya yang cukup panjang untuk mendapatkan sebuah pekerjaan yang tepat untuknya. Dan, lagi-lagi, dia memintaku untuk mensyukuri dan menikmati pekerjaan yang saat ini kujalani.
"Bukankah masalah datang untuk mendewasakan kita Na?"
"Iya aku tahu. Tapi kalau masalahnya ada-ada aja capek juga tauk."
"Na, itu tergantung pola pikirmu. Kalau kamu memandang masalah sebagai sesuatu yang harus dihindari, maka kau hanya akan jadi pecundang Na. Kamu gak akan pernah sampai ke puncak, cuman dapet capeknya aja karena kebanyakan lari dari masalah. Beda cerita kalau kamu memandang masalah itu sebagai tantangan yang harus dihadapi dan dimenangkan, respon yang keluar adalah mental juara. Kamu capek memang, tapi kamu akan tersenyum puas karena kamu telah berhasil melewatinya."
"Hmmmmm..."
Masalah kami sebenarnya sama saja. Pekerjaan yang menyita waktu dan pikiran sedikit lebih lama, serta orang tua yang sudah mulai resah karena kami tak jua menikah. Ada kalanya, itu akan sangat membuatku lemah. Perasaanlah yang mulai gundah. Mendadak diri ini bisa berubah menjadi aktris melodrama yang tiba-tiba menangis sendiri di sudut kamar.
Lagi-lagi dia bercerita. Kali ini kisah cinta yang tak kunjung tiba. Dia bilang kalau setiap kriteria seperti se-Agama, se-Visi dan baik budi pekerti adalah kriteria standar. Itu penting. Tapi bagi dia, yang paling penting adalah seseorang yang bisa membuatnya kembali jatuh cinta. Seseorang yang bisa membuatnya kembali merasakan jantungnya berdegup kencang ketika berjumpa. Itu saja.