Mohon tunggu...
Angger Christina
Angger Christina Mohon Tunggu... Pengusaha -

Ordinary Woman with Extra Ordinary Life

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Andai Aku itu Dia

20 Agustus 2015   02:10 Diperbarui: 20 Agustus 2015   02:10 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Aku sudah siap dengan setiap perlengkapan pendakianku. Disini aku berdiri saat ini. Bersama teman-teman seperjuangan, dada ini penuh dengan semangat yang menggelora untuk menaklukkan puncak Mahameru. Ya, tinggal didepan mata. Aku harus mulai melangkah dan mulai mendaki bersama mereka. Namun, entah mengapa tiba-tiba saja aku berlari, menjauh pergi, sendiri. Meninggalkan teman-temanku yang sudah siap melangkahkan kaki. Ya, aku pergi, menghindari puncak gunung tertinggi.

*****

Mimpi semalam meninggalkan rasa bersalah dan kalah. Hanya menyisakan berjuta tanya akan sebuah makna. Gunung tinggi menjulang bak masalah ataupun tantangan, sulit kubedakan.

Tidak, aku tidak sedang memperjuangkan apapun atau siapapun. Karier, posisi dan jabatan tidak lagi menjadi ambisiku seperti dulu. Dibenakku hanya satu yang kuimpikan, suasana dan lingkungan yang bersahabat. Kumpulan kawan yang saling menopang, bukan menjatuhkan. Pasangan hidup, nampaknya juga sudah tidak lagi membuatku bersusah payah mengusahakannya. Satu hal yang kupercaya bahwa pada saatnya nanti, ya, pada saatnya nanti, dua insan yang sepadan akan dipertemukan.

Mungkin, aku sedang terjebak dalam zona nyamanku sendiri. Atau barangkali aku sudah lelah, menyerah dan kalah. Tertunduk lesu tanpa tahu kemana ku kan mengadu.

Bukan pilihan yang bijak kalau harus menceritakan semua ini pada ibu. Hal ini hanya akan membuat insomianya kambuh dan asam lambungnya segera naik. Ujung-ujungnya hanya akan mengantarkan ibu bertemu dengan dokter spesialis penyakit dalam langganannya.

Segera kuraih ponsel yang tergeletak di meja kerjaku. Sudah malam, dan mungkin ibu juga sudah terlelap tidur. Selalu nama itu yang muncul dibenakku. Dikala hati ragu dan perasaan yang mengharu biru. Selalu saja nama itu.

Beberapa nada sambung dan selanjutnya sebuah sapaan hangat yang biasa kudengar. Kali ini sedikit berbeda. Aku mencoba untuk menyapanya dengan riang, tidak merengek seperti yang sudah-sudah. Menanyakan kabarnya, perjalanan-perjalanan yang sudah ditempuhnya dan memintanya menceritakan setiap hal-hal baru yang ditemuinya disaat menempuh perjalanan wisata mengeksplorasi keindahan nusantara.

Tidak begitu lama dia bercerita tentang dirinya, tentang hidupnya, sebelum dia mencium ada sesuatu yang sebenarnya ingin kutumpah ruahkan kepadanya.

"Kenapa lagi, Na? Udah ngomong aja... Pasti kamu lagi pengen meledak kan?"

"Nggak kok... aku cuman kangen pengen denger suaramu."

"Ah yang bener. Biasanya kamu inget sama aku kalau lagi butuh temen curhat aja kan? Hahaha. Udahlah Na, aku tuh kenal banget sama kamu. Udah kenapa lagi sekarang?"

*****

Dia jauh lebih mengenalku daripada diriku sendiri. Membagi beban hidupku kepadanya meski hanya lewat untaian kata yang diantarkan gelombang suara, sudah cukup membuatku lega. Dia seorang kawan lama, tapi keberadaannya selalu nyata. Meski ribuan kilometer jarak membentang diantara aku dan dia tidak membuatku merasa berjauhan dengannya. Justru disaat-saat seperti inilah dia terasa sangat dekat. Disaat pikiran carut marut yang pada akhirnya membuat bad mood, nasehat-nasehatnyalah yang kuturut.

Entah sudah berapa lama aku meledak-ledak. Menceritakan semua kekesalanku pada pekerjaan yang sedang kujalani. Setiap tugas yang diberikan atasan seolah-olah hanya sebagai alat untuk mempermainkan. Lingkungan kerja yang sudah mulai tidak kondusif, penuh intrik dan politik. Demi apapun, aku sudah sangat muak.

Aku pikir, dia akan mendukungku untuk segera mengajukan surat pengunduran diri dan memulai langkahku untuk berwirausaha. Ternyata tidak. Sebaliknya dia malah menyuruhku berpikir ulang. Sedikit dia bercerita tentang lika-liku hidupnya setelah kami berpisah sembilan tahun yang lalu. Setelah aku lulus dan langsung mendapat tawaran untuk bekerja di Surabaya. Dia bilang, betapa aku seharusnya jauh lebih bersyukur karena setiap langkah-langkahku selalu diberi kemudahan, meskipun dalam satu hal tentang menemukan pasangan hidup belum. Dia bercerita tentang perjuangannya yang cukup panjang untuk mendapatkan sebuah pekerjaan yang tepat untuknya. Dan, lagi-lagi, dia memintaku untuk mensyukuri dan menikmati pekerjaan yang saat ini kujalani.

"Bukankah masalah datang untuk mendewasakan kita Na?"

"Iya aku tahu. Tapi kalau masalahnya ada-ada aja capek juga tauk."

"Na, itu tergantung pola pikirmu. Kalau kamu memandang masalah sebagai sesuatu yang harus dihindari, maka kau hanya akan jadi pecundang Na. Kamu gak akan pernah sampai ke puncak, cuman dapet capeknya aja karena kebanyakan lari dari masalah. Beda cerita kalau kamu memandang masalah itu sebagai tantangan yang harus dihadapi dan dimenangkan, respon yang keluar adalah mental juara. Kamu capek memang, tapi kamu akan tersenyum puas karena kamu telah berhasil melewatinya."

"Hmmmmm..."

Masalah kami sebenarnya sama saja. Pekerjaan yang menyita waktu dan pikiran sedikit lebih lama, serta orang tua yang sudah mulai resah karena kami tak jua menikah. Ada kalanya, itu akan sangat membuatku lemah. Perasaanlah yang mulai gundah. Mendadak diri ini bisa berubah menjadi aktris melodrama yang tiba-tiba menangis sendiri di sudut kamar.

Lagi-lagi dia bercerita. Kali ini kisah cinta yang tak kunjung tiba. Dia bilang kalau setiap kriteria seperti se-Agama, se-Visi dan baik budi pekerti adalah kriteria standar. Itu penting. Tapi bagi dia, yang paling penting adalah seseorang yang bisa membuatnya kembali jatuh cinta. Seseorang yang bisa membuatnya kembali merasakan jantungnya berdegup kencang ketika berjumpa. Itu saja.

Ah... entah mengapa aku sangat menyukai obrolan dengannya. Rasanya seperti berendam di kolam yang sejuk ketika hari sedang panas-panasnya. Sudah sejam lebih tak terasa. Dan aku mengakhiri pembicaraan malam ini bersamanya. Sambil mengucapkan terima kasih dan selamat malam, aku masih mengingat ceritanya... seseorang yang bisa membuatnya kembali jatuh cinta. Seseorang yang bisa membuatnya kembali merasakan jantungnya berdegup kencang ketika berjumpa... andai aku itu dia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun