Mohon tunggu...
Taufiq Prasetyo
Taufiq Prasetyo Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Master Sains Ekonomi yang lebih suka main musik dari pada berkutat dengan ekonometrik :D

Selanjutnya

Tutup

Money

Industri Kecil dan UKM: Jangan Gaptek

2 Desember 2011   14:40 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:55 832
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

[caption id="attachment_153280" align="aligncenter" width="300" caption="Ini berarti kita harus sasar pangsa di luar negeri. Jika hanya mengandalkan pasar lokal, UKM bisa tergilas globalisasi"][/caption]Industri Kecil dan Usaha Kecil Menengah (UKM) memang di gadang-gadang sanggup menjadi salah satu motor perekonomian Indonesia. Tapi melihat gaya pengelolaan yang cenderung “jadul” (tradisional) dan kebanyakan berteknologi rendah, banyak yang mempertanyakan, bagaimana industri kecil dan UKM mengahadapi globalisasi ASEAN pada tahun 2015 nanti?

Suka atau tidak, siap tidak siap, globalisasi adalah sebuah proses yang tak dapat diubah dan harus dihadapi, karena ini adalah fungsi pokok dalam sistem dunia secara ekonomi, politik, sosial dan teknologi. Jangan dilihat sisi negatifnya, cobalah kita berpikir positif bahwa globalisasi adalah merupakan proses belajar, lalu merubah, dan berusaha menjadi pemenang.

Awalnya, Association of South East Asian Nation atau yang biasa kita sebut ASEAN, lebih ditujukan pada kerjasama yang berorientasi politik guna mencapai kedamaian dan keamanan di Asia Tenggara. Setelah ASEAN Summit, Januari 2007 silam, pemimpin negara anggotanya pun, sepakat mempercepat untuk membangun sebuah komunitas perekonomian regional yang kuat dalam era globalisasi.

Para “boss” negara ASEAN pun bertekad mempercepat membawa ASEAN menjadi pasar tunggal dan kesatuan basis produksi, kawasan ekonomi yang berdaya saing, disertai dengan disparitas antar negara yang rendah, yang berujung pada integrasi pada perekonomian global. Ini bukan mimpi, namun sebuah realita agar ASEAN yang kebanyakan merupakan “negara dunia ketiga” (negara yang sedang berkembang) mampu menghadapi komunitas lainnya yang ada di belahan dunia.

Hampir semua, tanpa terkecuali, imbas krisis ekonomi global dirasakan oleh negara-negara anggota ASEAN. Untuk itulah, para pemimpin negara ASEAN sepakat mempercepat sebuah integrasi ekonomi regional di kawasan Asia Tenggara dengan membentuk Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada tahun 2015 yang sedianya akan dilaksanakan pada tahun 2020.

Ini memang tujuan akhir integrasi ekonomi untuk merealisasikan ASEAN Vision 2020 yang telah dideklarasikan 8 tahun silam dalam Deklarasi Bali Concord II. Sebagai langkah awal MEA, maka dibentuklah 5 (lima) pilar utama untuk merealisasikan, yaitu: aliran bebas barang, jasa, investasi, tenaga kerja dan aliran modal (Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015: “Memperkuat Sinergi ASEAN di Tengah Kompetisi Global”, Bank Indonesia, 2008).

Mungkin seperti negara Singapura, globalisasi ini sudah menjadi makanan wajib. Malaysia menganggap perubahan ini sebuah keharusan. Namun bagaimana dengan Indonesia, yang notabene, perekonomiannya yang banyak disokong industri kecil, sementara UKM-nya masih was-was menghadapi globalisasi regional tersebut. Melihat kenyataan, UKM dan industri kecil kita masih banyak kelemahan disana-sini. Padahal keberadaan mereka bisa menyerap banyak tenaga kerja dan mendorong potensi ekspor dari negara kita khususnya dari sektor industri manufaktur.

Sayangnya, hingga saat ini Industri Kecil dan UKM kita masih belum kuat dalam ekspor, meski setiap tahunnya nilai ekspor dari kelompok usaha tersebut terus mengalami peningkatan. Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UMKM, pada tahun 1990, kontribusi UMKM di semua sektor ekonomi terhadap nilai total ekspor secara keseluruhan Indonesia tercatat 11,1% dan mengalami suatu peningkatan drastis hampir 16% pada tahun 2006.

Di dalam paparan Simposium Riset Ekonomi V, ISEI Jatim 2011, Tulus TH Tambunan (Liberalisasi Perdagangan Dunia dan UMKM Indonesia) ,menjelaskan, ada 3 (tiga) penyebab utama mengapa UMKM Indonesia masih relatif belum kuat bersaing secara global, diantaranya: pertama, keterbatasan modal. Kedua, kurangnya pengusaan teknologi, dan ketiga, kualitas sumber daya manusia (SDM) baik pekerja maupun pengusahanya yang relatif rendah.

Ditambahkan pula oleh laporan Badan Pusat Statistik / BPS (2006), produksi yang dihasilkan oleh industri kecil dan UKM hanya berorientasi pada kebutuhan dalam negeri, dengan alasan metode pemasarannya jauh lebih mudah dari pada mengakses pasar internasional. Anggapan pasar lokal yang masih luas dan nyaman sebagai lahan usaha pun masih tertanam dalam pikiran pengusaha menengah mikro.
Banyak juga pandangan miring, Indonesia diperkirakan belum siap bersaing dalam MEA 2015 kelak jika kinerja UKM terus menerus seperti ini. Gambaran kasar pada tahun 2015, tenaga kerja Thailand bisa bekerja di negara kita dengan mudah. Bahan mentah pun bisa diangkut ke Vietnam atau Malaysia untuk diolah, sehingga ekspor kita pun tak punya nilai tambah.

Berdasar data Kinerja Perdagangan Indonesia-ASEAN, neraca perdagangan kita masih terlihat minus -2,2 hingga semester awal 2010. Ketergantungan impor Indonesia masih terlihat. Mungkin bukan catatan yang baik, tetapi masih ada waktu untuk memperbaiki kinerja perdagangan tersebut.

“Umpan satu-dua” antara UKM dan Industri Besar

Bagi yang biasa bermain sepak bola, atau sekedar menonton pertandingan sepak bola istilah “one-two pass” atau “umpan satu-dua” adalah biasa terdengar. Bila pernah melihat Timnas sepakbola Indonesia berjuang melawan lawannya baik di arena piala AFF 2010 atau Sea Games 2011, kerjasama ini biasa dilakukan antara Irfan Bachdim - Christian Gonzales atau Titus Bonay – Patrich Wanggai untuk mencetak gol untuk menang. Ini merupakan trik jitu dalam melewati pertahanan lawan. Jika ini diterapkan dalam sebuah bisnis, ini mungkin bisa jadi alat bagi UKM untuk sedikit memberi solusi di tengah kegalauan akan sebuah globalisasi.

Anggap saja industri besar dan UKM adalah dua orang yang tengah bermain sepak bola. Mereka harus saling sinergi dalam mengumpan, mengerti bagaimana memposisikan diri, dan berlari bersama. Mungkin UKM masih punya tiga kelemahan yang disebutkan diatas (modal,teknologi, dan SDM), tetapi itu bisa ditutupi melalui kerjasama dengan industri besar yang diperkirakan bisa bertahan dalam sebuah globalisasi.

Sebuah penelitian mengatakan, kesepakatan pasar ASEAN dalam skema MEA ini merupakan salah satu peluang bagi perkembangan produk Jawa Timur untuk mampu diterima di pasar internasional. MEA merupakan pintu masuk bagi produk-produk Jawa Timur. Selain produk industri yang sudah mapan, peluang ini juga harus mampu diraih oleh industri kecil di Jawa Timur. Konsekuensi logis dari hal ini adalah daya saing produk Jawa Timur di setiap level industri haruslah tinggi (Perdana Rahardian, SE.,M.Si., Adi Kusumaningrum, SH, MH., Fuad Aulia Rahman, SE., Msi.Ak., “Pengaruh ASEAN Trade Facilitation terhadap Volume Perdagangan Produk Unggulan Jawa Timur”, 2010)

Penelitian diatas menjelaskan bahwa, untuk mencapai hal tersebut, industri kecil (UKM) akan dilatih untuk mampu memenuhi peluang tersebut dengan cara menciptakan kemitraan antara industri besar dan kecil yang diupayakan mampu menciptakan simbiosis mutualisme. Industri kecil akan dilatih oleh industri besar dan kelak industri kecil mula-mula akan menjadi subsidiary (cabang) dari industri besar. Industri kecil dapat menjadi penyedia komponen-komponen yang dibutuhkan oleh industri besar. Sedangkan industri besar secara tidak langsung akan menjadi agen penjualan produk industri kecil karena produk tersebut termuat sebagai komponen produk industri besar.

Bolehlah, jika dikatakan inilah pentingnya Corporate Social Responsibility (CSR) yang saat ini tengah ramai digembar-gemborkan. Sisi positif dari CSR ini mempunyai efek domino yang sangat besar untuk menutupi kelemahan UKM dalam menghadapi globalisasi. Sebagai contoh program CSR yang hanya memberikan pelatihan internet dipandang orang sebagai pekerjaan sia-sia. Orang-orang tersebut mengatakan semua orang memiliki akun Facebook, mengapa diberi pelatihan internet?

Pandangan ini pun bisa ditepis jika pelatihan tersebut bukan hanya sebuah bagaimana mengoperasionalkan sebuah sistem internet, tetapi juga bagaimana mencapai akses pasar di belahan dunia lain melalui internet.
Informasi pasar layaknya spionase dalam sebuah peperangan, dan ini adalah sebuah peperangan melawan globalisasi. Untuk produk kerajinan, Pemerintah Provinsi Jawa Timur sendiri sebenarnya telah membantu upaya “spionase” ini. Melalui Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Jawa Timur, industri kecil banyak terbantu dalam menyiasati jaringan pemasaran produk di luar negeri. Selain perluasan jaringan, juga akan fokus pada peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) perajin.

Ketua Umum Dekranasda Jawa Timur, Dra. Hj. Nina Soekarwo, M.Si pernah menjelaskan, dilakukannya fokus pada dua program tersebut sebagai tindak lanjut atas segala kendala yang terjadi pada kelompok perajin di Jawa Timur. Di mana, kendala yang saat ini terjadi, yakni masih adanya kesenjangan transformasi masyarakat perajin terhadap kecepatan kemajuan teknologi, sementara perajin saat ini masih banyak yang menggunakan model konvensional dan tradisional.

Kendala lain, masih kurangnya minat serta penghargaan terhadap barang-barang hasil kerajinan daerah, kurang stabilnya para perajin dalam menjaga mutu dan kualitas produk, serta masih adanya kesenjangan kreatifitas yang berjalan lambat dan kurang mengikuti model.

Nah, inilah saatnya, UKM dan industri kecil kita keluar dari zona nyaman. Tidak hanya berpangku tangan menunggu order yang hanya kelas lokalan saja, tetapi juga aktif dan terus mengikuti apa yang dibutuhkan pasar internasional. Jika tidak, mungkin di tahun 2015 kita hanya sebagai penonton orang-orang Malaysia, Thailand, Brunei, Singapura dan negara ASEAN lain lalu lalang memainkan bisnisnya di negara kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun