Cyberpornography adalah salah satu bentuk kejahatan siber yang menimbulkan kekhawatiran dan perhatian dari masyarakat. Istilah "Cyberpornography" terdiri dari dua kata, yaitu "Cyber" atau disebut siber, yang berarti sistem komputer dan informasi yang terhubung ke internet, dan "pornography" atau "pornografi" yang merujuk pada gambar atau tulisan yang menampilkan perilaku seksual yang dirancang untuk membangkitkan hasrat seksual. Dengan menggabungkan kedua istilah ini, dapat disimpulkan bahwa Cyberpornografhy adalah tindakan menggambarkan perilaku seksual dalam bentuk gambar atau tulisan dengan menggunakan teknologi yang terhubung ke internet.
Bertambahnya tahun, kasus asusila ini sering terjadi di dunia maya, yang mana masih banyak korban yang mengalami situasi tersebut. Hal ini membuat mental korban tergangung secara batin, dikarenakan bagi korban adanya penyebaran video asusila yang dilakukan oleh pelaku dapat menimbulkan nama baik si korban tercemar.
Penulis berpendapat, bahwa tindakan cyberpornography ini tidak hanya bertentangan dengan norma-norma sosial, etika, agama, dan hukum yang jelas-jelas tidak menguntungkan dan merusak moral masyarakat, oleh karena itu untuk memperkuat keadilan bagi korban diperlukan perlindungan hukum terhadap tindakan cyberpornography.
Dalam kasus ini, sering kali korban berada pada posisi yang tidak menguntungkan. Hal ini terjadi karena pelaku cyberpornography secara langsung mempublikasikan korban, sehingga korban menderita kerugian besar secara fisik, psikologis, dan sosial. Korban merupakan objek yang telah mengalami penderitaan dan dirugikan oleh tindakan tersebut.
Korban menurut Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yaitu: "Korban adalah seseorang yang mengalami kesakitan fisik, mental, dan/ atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh suatu tindak pidana".
Berdasarkan penjelasan diatas, jelas bahwa korban kurang memiliki kekuatan tawar terhadap apa yang dialaminya akibat tindak pidana selain menyerahkan setiap kepentingannya untuk diwakili oleh Negara.Â
Terlebih lagi terkait dengan posisi korban akibat dari tindakan cyberpornography tentu saja sangat rentan dan dirugikan secara materiil dan inmateriil, serta secara psikis akan terganggu pun juga reputasinya juga ikut tercemar dan mendapat stigma negatif dari masyarakat. Hal itu juga dapat dialami oleh para korban cyberpornography yang masih dalam tahap persidangan atas suatu tindak pidana yang dialaminya, jika dalam proses persidangan ternyata korban dinyatakan tidak bersalah oleh majelis hakim dan berita-berita yang disebabkan oleh cyberpornography tersebut yang tersebar di dunia maya dengan jelas akan sangat merugikan korban.
Posisi korban yang tidak mendapatkan perhatian dalam proses hukum pidana disebabkan oleh sistem peradilan pidana yang saat ini menganut konsep keadilan retributif (retributive justice), penyelesaian kasus hanya fokus pada pemberian hukuman kepada pelaku kejahatan tanpa mempertimbangkan kerugian yang dialami oleh korban.
Belum lama ini beredar video asusila dari salah satu artis yang cukup populer dikalangan masyarakat yaitu Rebecca kloper. Sepertii yang diketahui video asusila yang mirip dengan sang artis tersebut viral dan bikin heboh jagad maya. Lalu bagaimana penindak lanjutan yang akan di dapatkan oleh pelaku dan korban?
Melihat kasus di atas, apabila dihubungkan pada Pasal 282 KUHP, yang menjelaskan apabila menyiarkan, menyediakan dan mengedarkan suatu hal yang melanggar norma kesusilaan dapat dihukum.
Berdasarkan pasal 282 Ayat (2), menyebutkan bahwa :
"Barangsiapa menyiarkan, mempertontonkan atau menempelkan dengan berterang-terangan suatu tulisan, gambar atau barang yang melanggar perasaan kesopanan, maupun membawa masuk, mengirimkan terus, membawa keluar atau menyediakan surat, gambar atau barang itu untuk disiarkan, dipertontonkan atau ditempelkan, sehingga kelihatan oleh orang banyak ataupun dengan berterang-terangan atau dengan menyiarkan sesuatu tulisan menawarkan dengan tidak diminta atau menunjukkan, bahwa tulisan, gambar atau barang itu boleh di- dapat, dihukum penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 45.000,- jika ia ada alasan yang sungguh- sungguh untuk menduga, bahwa tulisan, gambar atau barang itu melanggar perasaan kesopanan".
Lalu pada Pasal 27 ayat (1) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang telah dirubah oleh Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut UU ITE), menerangkan apabila dengan sengaja melakukan pendistribusian atau pentransmisian materi elektronik yang bermuatan merupakan pelanggaran kesusilaan. cyberpornography ini juga telah diatur didalam Undang-undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (selanjutnya disebut UU Pornografi). dan dapat pula dikenakan Pasal 29 jo. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi jo. Pasal 56 ke-2 KUHP.
Undang-Undang Pornografi dan Undang-Undang ITE dapat digunakan untuk menangkap pelaku kejahatan pornografi yang memanfaatkan media internet. Namun, pasal 282 KUHP juga masih berlaku untuk menangani pornografi di internet karena rumusannya yang luas, dan Pasal 44 Undang-Undang Pornografi menyatakan bahwa semua hukum yang mengatur atau terkait dengan kejahatan pornografi tetap berlaku selama tidak bertentangan dengan undang-undang tersebut.
Dasar Hukum :
- 282 KUHP
- Pasal 27 ayat (1) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang telah dirubah oleh Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut UU ITE)
- Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H