Oleh Anggarian Andisetya
Banyak orang yang salah persepsi ketika mendengar risiko. Risiko selalu dikaitkan dengan kerugian dan membahas risiko seolah-olah sedang berhitung waktu kapan kerugian itu kita terima. Banyak orang salah mengenali risiko sehingga membangun kesadaran untuk hidup dalam budaya anti risiko dan hal tersebut sungguh adalah jalan hidup yang sangat berisiko.
Sebagai suatu efek dari ketidakpastian pada sasaran, risiko pertama kali harus dipahami sebagai hal yang berbeda dengan masalah. Selain dari kemunculan yang sifatnya prediktif dan 'tentatif,' kejadian suatu risiko, atau dikenal dengan peristiwa risiko, timbul apabila suatu kondisi yang menjadikan risiko itu muncul terjadi. Masalah baru akan menjadi masalah ketika sudah terjadi.
Selain itu, suatu hal dikatakan 'masalah' hanya jika hal tersebut memang terjadi dan sudah diidentifikasi kepastian terjadinya. Kekeliruan dalam mempersamakan risiko dengan masalah inilah yang kemudian menjadi problem bagaimana kita saat ini begitu sulit hidup menanggung risiko. Padahal sejatinya kita tahu, selama kita memiliki tujuan atau sasaran, risiko itu pasti ada karena sejatinya risiko adalah bagian dari sasaran itu sendiri. Risiko adalah hal-hal yang terjadi dan mempengaruhi tingkat pencapaian sasaran kita dan mustahil kita memisahkan risiko dari kehidupan kita.
Salah Baca
Risiko dipandang sebagai momok karena banyak dari kita 'salah baca' istilah risiko itu sendiri. Risiko sebagai suatu akibat mengandung makna keberadaannya sebagai output dari dimilikinya suatu tujuan atau sasaran tertentu.
Di sini kemudian kita menjadi banyak keliru karena risiko sebagai akibat, maka kerugian dari kegagalan kita mengantisipasi risiko seolah-olah menjadikan risiko adalah kerugian. Memang benar risiko mengancam pencapaian sasaran, namun sifat risiko yang non absolut 'hanya' mendorong kita untuk menyusun upaya preventif dan korektif atau dikenal dengan perlakuan risiko (risk treatment).
Berbeda dengan masalah yang mengharusnya kita memiliki langkah koreksi yang itu harus dilaksanakan. Upaya preventif atas suatu masalah sejatinya adalah corrective action yang dilaksanakan sebelum kejadian masalah. Risiko baru akan menjadi masalah ketika risiko tersebut menjadi peristiwa risiko yang berulang atau gagal kita lakukan pengelolaan risiko.
Risiko ditafsirkan sebagai kerugian tidak sepenuhnya salah walaupun juga tidak sepenuhnya benar. Risiko memang 'mengundang' kerugian hanya jika kita gagap memahami risiko itu sendiri.
Sebagai penulis---misalnya---kita menghadapi risiko karya kita tidak diminati pasar karena beberapa sebab, antara lain kekeliruan kita membaca selera pasar. Masalahnya? Jika kita penulis yang 'buta,' membaca pasar sudah pasti kita lewatkan dan kita asal menulis dan menciptakan buku yang ternyata benar-benar tidak laku di pasaran. Risiko? Tidak. Ini masalah karena kita membiarkan risiko itu terjadi begitu saja.
Tindakan ceroboh kita dengan tidak melakukan riset itu adalah masalah, baik karena kita gagal mengidentifikasi sebagai salah satu sumber risiko maupun kegagalan kita untuk membangun kepribadian yang jeli menangkap animo pasar.
Contoh lainnya, sebagai penulis kita bermaksud menciptakan magnum opus yang dari sisi genre kita anggap akan menjadi suatu kebaruan dan dari sisi topik kita bayangkan sebagai topik yang mampu menembus ruang dan zaman. Risikonya? Karya kita gagal menjadi magnum opus atau bahkan dikritik negatif. Salah satu sumber risiko adalah kemampuan kita menjadi penulis yang rendah atau bisa dibilang masih amatir. Adapun yang menjadi masalah, misalnya, adalah sikap dan kepribadian kita sebagai penulis. Lebih konkret lagi, kemampuan kita menggunakan perangkat kerja, mungkin gagap teknologi.
'Menggusur' Budaya Anti Risiko
Pekerjaan besar kita berkaitan dengan risiko adalah bagaimana memastikan tata kehidupan kita melek terhadap risiko. Hal tersebut mensyaratkan kita tidak boleh antipati terhadap risiko. Dengan kata lain, setiap kita sudah sewajarnya mau membuka diri untuk hidup berdampingan dengan risiko.
Hidup bersama risiko tidak dimaksudkan bahwa kita harus 'berlumpur' risiko, melainkan dalam hal ini kita perlu mawas dan sadar untuk melakukan pengelolaan risiko. Atas hal ini, setiap kita harus menyadari dulu bahwa setiap tatanan kehidupan kita tidak lepas dari sasaran, impian, atau tujuan yang di dalamnya sudah melekat risiko. Kemudian kita masuk ke dalam tahap untuk mau dan mampu mengidentifikasi risiko lalu melakukan penilaian tingkat risiko untuk kemudian dipetakan bentuk perlakuan risiko yang relevan. Terakhir kita melakukan evaluasi atas efektivitas proses pengelolaan risiko kita.
Hidup di dalam risiko tidak berarti hidup di dalam masalah. Risiko memberikan insight bagi kita untuk meng-improve kapasitas kita sebagai personal maupun institusional. Masalah adalah sebaliknya. Sikap kita dalam memahami risiko dan masalah yang akan menentukan apakah kita dapat berhasil menghadapi kehidupan dengan berselancar lihai di atas risiko atau malah kita menjadi kuli yang dijajah masalah.
Â
Live in simple life!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H