Ketika Muhammad Ali wafat Jumat lalu, seluruh dunia berduka. Ali merupakan pahlawan tidak hanya bagi para penggemar tinju tapi juga bagi jutaan manusia lainnya. Penulis dulu sempat heran mengapa seseorang yang berprofesi sebagai atlet (bukan politisi ataupun filantropi) dapat menyebarkan inspirasi bagi begitu banyak orang.
Meskipun penulis sendiri merupakan penggila tinju, Muhammad Ali sudah jauh pensiun sebelum penulis lahir. Awal ketertarikan terhadap perjalanan hidup sang legenda dimulai ketika keluarnya film Ali yang diperankan dengan gemilang oleh aktor Will Smith. Seolah tidak percaya, kok ada ya orang yang begitu blak-blakan, tapi dicintai oleh begitu banyak penggemarnya.
Dari situ muncul keinginan untuk menonton video-video tentang Sang Juara, baik itu berupa pertandingan, wawancara, ataupun dokumentasi hidupnya. Bersyukur di zaman sekarang sudah ada media seperti Youtube yang sangat mempermudah dalam mengakses rekaman lama seperti itu. Muhammad Ali menginspirasi dalam banyak hal.
Akan tetapi satu hal yang paling menonjol mungkin adalah bagaimana seorang manusia dapat terus mempertahankan apa yang dia percaya, betapa pun mahalnya harga yang harus dibayar. Tulisan ini dibuat bukan untuk sekedar mengenang Sang Legenda yang baru saja pergi, tapi lebih pada keinginan penulis untuk menuangkan momen-momen favorit dari perjalanan hidup seorang manusia yang dijuluki the greatest of all time.
Merebut Gelar Juara Kelas Berat
Ali muda (sebelumnya bernama lahir Cassius Clay) mengawali kariernya dengan 19 kali kemenangan tanpa kekalahan yang akhirnya menempatkan dirinya sebagai penantang juara dunia saat itu yang dipegang oleh Sonny Liston. Sebelum menghadapi pertarungan ini, Ali terus-menerus berkoar-koar dan mengatakan kepada semua orang bahwa dia akan menaklukkan sang juara. Hingga puncaknya pada acara timbang badan, keributan pun hampir terjadi. Kala itu banyak media menduga bahwa ini adalah caranya untuk menyembunyikan rasa takut. Patut diingat bahwa Sonny Liston adalah seorang sosok yang sangat mengintimidasi.
Hampir tidak ada orang yang menjagokan Ali dapat mengalahkan Liston. Jalannya pertarungan pun diwarnai dengan kontroversi ketika pada akhir ronde 4 penglihatan mata Ali mulai kabur. Di kemudian hari akan muncul tudingan bahwa pihak Liston yang frustasi dengan gaya bertarung Ali bertindak curang dengan mengoleskan vaselin ke sarung tinju.
Di sini kehebatan seorang Muhammad Ali mulai terlihat. Meskipun sempat terganggu, dia terus melancarkan serangan ke sang juara hingga akhirnya Liston tidak mampu bangkit di akhir ronde 7. Di sinilah terjadi momen pertama favorit penulis: Ali yang baru dinobatkan menjadi juara dunia telah membuktikan kata-katanya dan berteriak bahwa ia telah mengguncang dunia (I Shook up the world!). Sebuah kepercayaan diri yang luar biasa karismatik. Ali dan Liston bertemu lagi setahun kemudian, di mana Ali berhasil menganvaskan lawannya yang kembali diwarnai kontroversi bahwa Liston sengaja melakukan “diving” atau mengalah.
Dominasi Sang Juara yang Terhambat Politik
Muhammad Ali kemudian mendominasi tinju kelas berat untuk beberapa tahun ke depan. Berbagai lawan yang mencoba menantangnya berhasil dikandaskan. Di antara lawan-lawannya ini terdapat satu pertarungan melawan seorang petinju bernama Ernie Terrell. Saat itu Terrell selalu memanggil Ali dengan nama lamanya, Cassius Clay.
Suatu hal yang sangat dibenci Ali karena dia selalu mengatakan bahwa nama lamanya itu tidak lebih dari "nama budak", sedangkan Muhammad Ali adalah nama seorang yang bebas. Ali yang tersinggung kemudian seolah menghukum Terrell dalam pertandingan dengan terus menghujani pukulan sambil terus-menerus berkata, “What’s my name?”
Sejarah mencatat bahwa dominasi Ali di ring tinju ini kemudian terhenti karena penolakannya untuk mengikuti wajib militer dalam Perang Vietnam. Seorang Ali menolak untuk memerangi dan membunuh manusia di belahan dunia lain sementara saat itu kaum kulit hitam di Amerika masih diperlakukan layaknya budak. Karier tinjunya pun tertunda di usia 25 tahun dan baru dilanjutkan hampir 4 tahun kemudian.
Tentu kita mengetahui bahwa bagi seorang atlet, usia tersebut seharusnya merupakan puncak karier mereka. Sebagai penggemar tinju, penulis sering berandai-andai apa jadinya jika karier Ali tidak tertunda di usia matangnya. Mungkin julukan the greatest of all time pun tidak cukup untuk menggambarkan kehebatannya di atas ring. Tetapi pada akhirnya kita pun akan mengingat bahwa keputusan Ali untuk terus berpegang pada pendiriannya ini akan membuatnya menjadi sosok yang sangat dihormati dan dikagumi di seluruh belahan dunia.
Trilogi Melawan “Smokin” Joe Frazier
Tak lama setelah larangan tinjunya dicabut, Ali pada akhirnya akan menghadapi seorang petinju legendaris yang kelak akan menjadi rival terberatnya, Joe Frazier. Kembali berstatus sebagai penantang, Ali menjalani pertarungan keras (kala itu perebutan gelar juara masih dijadwalkan selama 15 ronde) dan mengalami kekalahan pertamanya dalam pertandingan yang selamanya akan dikenang sebagai “fight of the century”. Ini merupakan pertemuan pertama bagi kedua petinju. Kelak, Ali akan membalas kekalahan ini dengan mengalahkan Frazier pada 2 pertemuan berikutnya.
Rivalitas keduanya ini banyak menghasilkan momen jenaka dari seorang Muhammad Ali. Di berbagai wawancara sang legenda meluncurkan komentar-komentar pedas kepada Frazier. Sebuah taktik yang sangat brilian untuk memenangkan pertarungan psikologis sebelum naik ke ring. Di kemudian hari, banyak petarung yang akan mencoba meniru gaya blak-blakan Ali ini.
Rivalitas kedua petinju mencapai puncaknya pada pertemuan ketiga di Filipina yang diberi judul “The Thrilla in Manila”. Ali seolah memperkokoh kehebatannya di atas ring tinju setelah Joe Frazier tidak mampu untuk melanjutkan ronde terakhir pertarungan ini.
"Rumble in the Jungle"
Jika ada satu pertarungan Muhammad Ali yang menjadi favorit penulis, itu adalah pertarungannya dengan George Foreman di Zaire-Afrika. Dengan judul "Rumble in the jungle", pertandingan ini sungguh menunjukkan kejeniusan seorang Ali di atas ring yang tidak hanya mengandalkan pukulan tangan, tapi juga strategi bertarung yang matang. Ali yang biasanya bertarung dengan gaya lincah seperti menari di ring, kali ini ia memilih untuk bergelantungan di sekitar ring sambil "memakan" pukulan dari Foreman (yang merupakan salah satu petinju dengan pukulan terkuat sepanjang masa).
Mayoritas orang saat itu tidak hanya meragukan bahwa Ali memiliki peluang untuk menang, tapi bahkan sampai mengkhawatirkan keselamatan jiwa sang legenda. Tidak ada yang mengira bahwa ini merupakan sebuah taktik brilian untuk menguras tenaga seorang George Foreman. Di ronde kedelapan, Foreman yang jelas sudah terlihat kelelahan akhirnya roboh setelah menerima pukulan Ali. Di luar ring, pertandingan ini juga menunjukkan bahwa betapa popularitas Ali sudah sangat mendunia.
Ali yang dianggap sebagai pahlawan kulit hitam selalu mendapatkan sambutan yang meriah selama berada di Afrika. Teriakan-teriakan khas ‘Ali, Bo maye!” menggema di seluruh pelosok Zaire. Fakta ini sangat berbeda dengan apa yang dialami kubu George Foreman, yang meskipun juga sama-sama berkulit hitam, tapi mendapat sambutan yang dingin dari masyarakat Afrika. Ini menunjukkan bahwa Ali bukan saja menjadi seorang pahlawan, tapi juga telah menjadi simbol kultur budaya.
Akhir Karier
Rekor bertanding Muhammad Ali tercatat 56 kali menang – 5 kali kalah (dengan 37 Kemenangan KO). Dari rekor tersebut hal yang penulis sangat sayangkan adalah 2 kekalahan terakhir sang legenda seharusnya tidak perlu terjadi. Kekalahan melawan Larry Holmes dan Trevor Berbick dialami ketika Ali sudah hampir menginjak 40 tahun dan bertarung semata karena kebutuhan finansial. Sungguh sangat disayangkan karier yang cemerlang harus ditutup dengan kekalahan. Memang sebelumnya sang legenda juga sempat mengalami 3 kekalahan melawan Frazier, Ken Norton, dan Leon Spinks.
Tapi perlu diingat bahwa semua petinju tersebut adalah petinju legendaris dan Ali pun kemudian berhasil membalas semua kekalahannya dan membuktikan bahwa ialah yang terbaik. Terlebih lagi, fakta bahwa Ali mendapatkan larangan bertinju selama 4 tahun membuat kariernya memang terkesan kurang maksimal. Bukan tidak mungkin bahwa tanpa masa larangan tersebut, dominasi Muhammad Ali seharusnya semakin tidak tertandingi.
Namun, sekali lagi, kehebatan Ali di atas ring hanyalah sebuah pencapaian kecil jika dibandingkan dengan kontribusinya bagi masyarakat dunia. Muhammad Ali merupakan pahlawan dan inspirasi bukan hanya bagi kaum Muslim dan kaum hitam, tapi bagi seluruh umat manusia. Sosoknya rela mengorbankan karier yang sedang berada di puncak serta potensi penghasilan jutaan dollar, demi mempertahankan pendiriannya menolak membunuh manusia lain yang tidak pernah menyakiti dirinya.
Sebagian besar masyarakat AS pun pada akhirnya mengakui bahwa melibatkan diri di Perang Vietnam merupakan sebuah kesalahan. Keteguhan hatinya telah merebut hati jutaan manusia. Ketika minggu lalu, sang juara meninggalkan dunia untuk selama-lamanya, ungkapan bela sungkawa pun membanjiri media sosial. Namun, ada satu ucapan yang sangat berkesan bagi penulis, yaitu ditulis di akun twitter Presiden AS Barack Obama: “Muhammad Ali shook up the world. And the world is better for it” (Muhammad Ali telah mengguncang dunia dan dunia menjadi lebih baik karenanya).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H