Mohon tunggu...
Anggara Gita Arwandata
Anggara Gita Arwandata Mohon Tunggu... Administrasi - casanova

Tukang Balon di IG @nf.nellafantasia dan perakit kata di @kedaikataid. Dapat ditemui di Twitter @cekinggita

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Apakah Tuhan Bisa Gagal?

20 Juni 2016   21:30 Diperbarui: 21 Juni 2016   15:14 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apakah Tuhan bisa gagal?

Tadi sore, pukul tiga, seharusnya saya bertemu dengan salah seorang teman, namun ketika sedikit lagi saya tiba di kafe tempat kami janjian, teman saya itu mengabari akan datang telat kurang lebih satu jam. Kebetulan sekali saat itu saya belum makan siang, jadinya punya kesempatan untuk mengisi perut sejenak.

Rumah makan padang, dekat Tol Jatibening, saya pilih tanpa banyak pertimbangan. Lebih murah ketimbang makanan di kafe, jalurnya searah, mudah cari parkir, dan saya lihat sudah buka *itu mah banyak ya pertimbanganya? Hehe*. Setelah masuk, saya langsung memilih tempat duduk. Ternyata sudah cukup ramai pembeli.

Seorang pramusaji datang menanyakan saya hendak memesan apa. Tak pakai lama, pesanan datang dibungkus rapi.

"Loh, kok dibungkus, mas?"

"Iya, mas, kalo bulan puasa ga bisa makan di sini. Terkecuali nanti pas sudah saatnya buka puasa."

Ya sudah, terpaksa deh makan di mobil. Nah, pas lagi seru-serunya nunjang dan keloloten sayur singkong itulah pertanyaan "Apakah Tuhan bisa gagal?" muncul.

Kalau dulu Tuhan membikin bulan puasa dengan ide besar agar manusia mau menguji dirinya sendiri dalam menahan godaan, baik berupa lapar dan haus, plus hal-hal duniawi lainnya, rasa-rasanya, Tuhan telah gagal.

Lha sekarang ini godaannya apa coba?

Karaoke tutup, banyak rumah makan yang juga tutup, jam kantor juga dipercepat. Enak tho? Kalaupun ada yang masih bisa dimaklumi, bagi saya, ya palingan tradisi bangunin sahur. Waktu kecil saya sering ikutan temen-temen yang lain, arak-arakan keliling komplek, bangunin orang sahur. Seruu. Pas udah gede gini malah sering juga kepikiran: kok ya manja banget pake dibangunin segala, emangnya ga bisa bangun sendiri? Tapi ya sudahlah ya, untuk yang ini tidak masalah. Saya pun terhibur.

Kembali ke godaan duniawi di bulan puasa dan kegagalan Tuhan mewujudkan ide besarNya. Saya malah lebih sering terkagum-kagum dengan teman-teman yang berpuasa Senin Kamis. Selama kurun waktu lima setengah tahun kerja di dunia perkantoran, hampir setiap Senin dan Kamis ada saja teman yang puasa.

Awalnya saya ga ngeh mereka sedang puasa karena mereka biasa-biasa saja. Wajahnya segar, waktu kerjanya juga normal, dan tidak gembar-gembor sedang berpuasa, pun minta dihormati. Mereka juga tidak terlambat sahur tanpa perlu diteriak-teriakin. Saat jam makan siang tiba, mereka ikut kumpul dengan teman-teman yang sedang makan. Cuek-cuek aja tuh. Strongg!

Ketika akhirnya tau ada teman-teman yang punya kemungkinan berpuasa di Hari Senin dan atau Kamis, saya pun jadinya otomatis memastikan apakah ada teman yang sedang puasa atau tidak. Seenggaknya saya gak asal srupat-sruput kopi atau seenaknya kriak-kriuk cemilan di depan mereka, walaupun saya tau mereka sendiri juga bodo amat juga.

Hal-hal semacam ini yang kemudian dirusak oleh pemberitaan-pemberitaan razia rumah makan. Teman saya yang Muslim, yang tadinya biasa-biasa saja melihat saya makan di depan mereka, tiba-tiba jadi mempersilakan saya makan. "Gapapa lho, Ngga, kalo mau sambil makan atau minum". Kemudian saya jawab dari dalam hati, "Ya, gue juga tahu keleus, lo gapapa. Kan selama ini juga lo ga pernah masalahin."

Pemberitaan-pemberitaan semacam itu membuat teman-teman saya menjadi canggung. Atau apa ya istilah tepatnya? Mereka jadi terkesan takut terlihat seperti orang-orang yang ada di TV itu, yang puasa sambil maksa-maksa. Saya pun tak kalah canggung. Saya tidak makan di depan teman-teman yang sedang puasa, bukan karena saya ketakutan atau terpaksa menghormati. Ya kita ini dilahirkan dengan hati. Mana enak comat-comot makan seenaknya di depan orang yang berpuasa. Ga enak lahh. Ga perlu itu diatur-atur perda segala.

Lima belas menit berlalu, tunjangnya tinggal tulang. Yang tersisa tinggal peyek udang yang sudah melempem. Asyemm tenan. Yang tidak puasa aja dapet godaan macam gini, apalagi yang puasa kan ya? Lagi ngedumel begitu, tau-tau kepikiran begini:

Tidak, tidak, Tuhan tidak gagal mewujudkan ide besarNya akan bulan puasa. Di bulan puasa ini, manusia tetap menguji ketangkasan dirinya dalam melawan godaan duniawi. Godaan-godaannya itu ya termasuk menahan amarah melihat prilaku-prilaku sesamanya yang sembarangan merusak ide besar Tuhan: Seenaknya razia sana sini, tutup sana sini, yang malah membikin bulan puasa ini miskin tantangan.

"Ngga, Maaf, gue ga bisa dateng. Tiba-tiba ada hal yang lebih urgen nih. Tapi intinya begini, untuk job besok, rate gue naik jadi dua kali lipat. Soalnya bulan puasa, bro. Seret tenggorokan euy cuap-cuap di bulan puasa. Oke oke?"

Laif.

@cekinggita

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun