Vina mengabariku, sebentar lagi selesai, katanya. Mereka pergi ke sebuah mall yang tidak jauh dari sini, nonton The Revenant, kemudian makan nasi campur. Selama pertemuan yang terbilang singkat itu Vina cerewet sekali. Dia sendiri terkejut menemukan dirinya secerewet itu. Mungkin saja gugup, atau mungkin saja saking bahagianya. Sedangkan Henri, seperti biasanya, kalem tidak banyak bicara. Dia lebih suka menatap Vina dalam-dalam seakan-akan sedang membaca buku favoritnya.
Malam sudah pukul 7, pelanggan balonku pasti sudah mengasah-asah pisau di rumahnya dan siap menikamku. Aku sih sudah menyiapkan berbagai alasan, tapi masalahnya aku tak mengabarinya lagi sejak tadi sore. Aku harus segera pergi sekarang.
Panggilan teleponku yang kali ke lima tidak juga diangkat oleh Vina. Setelah berpikir masak-masak, kukirim chat menjelaskan bahwa aku harus mengantar balon dan terpaksa tidak bisa menunggunya. Pada akhir chat kubilang juga kalau ada apa-apa langsung telepon saja. Handphone aktif 24 jam.
“Sejujurnya, aku sedang patah hati dan jatuh cinta di saat bersamaan. Tapi dalam cinta, seperti katamu, tak pernah ada alasan yang benar-benar kuat, kan? Gapapa, kamu ga usah tunggu aku. Aku bisa pulang sendiri. Terima kasih ya.” Tak sampai lima menit setelah chatku terkirim, Vina malah menjawab. Aku tak mau lihat handpone lagi dan segera meluncur ke rumah pelanggan.
“Mas, ini martabaknya jangan ketinggalan,” salah seorang pelayan memanggilku. Duh, hampir saja.
[caption caption="Daftar Harga Martabak Bro (koleksi foto pribadi)"]
[caption caption="Mas Ilham & Tim"]
[caption caption="Tablet Yang terintegrasi, pengganti mesin kasir. (koleksi foto pribadi)"]
www.cekinggita.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H