Eksistensi kepemimpinan Recep Tayyip Erdogan disebut sebagai pembaruan Ottoman atau Neo-Ottoman. Neo-Ottoman merupakan sebuah ideologi politik Turki yang mendukung kembalinya pengaruh budaya Utsmaniyah dalam kebijakan sosial domestik. Erdogan mengembalikan Turki dari negara berideologi sekuler menuju negara Islam, melalui kebijakan-kebijakan yang serupa di era Ottoman.
Saat Turki di bawah kepemimpinan Kemal Attaturk negara yang sempat dipimpin oleh kesultanan Ottoman berubah haluan menjadi negara sekuler. Kebijakan yang berdampak besar usai tumbangnya kesultanan Ottoman yakni Kemal Arttaturk menghapus pendidikan agama dan mengubahnya menjadi pendidikan umum serta, menjadikan Hagia Sophia sebagai museum.
Semenjak tahun 2002 Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) yang diketuai Erdogan berkuasa, politik luar negeri dan politik dalam negeri Turki dicirikan sebagai neo-Ottoman.
Pengamat Institut Kajian Asia dari Akademi Ilmu Pengetahuan Rusia, Boris Doglov, menilai Erdogan memiliki kebijakan yang fantastis.
"Erdogan seorang politikus yang telah membuat langkah besar dalam kebijakan luar negeri dalam mempromosikan kepentingan Turki, kebijakan neo-Ottomanisme, dan meletakkan posisi Turki sebagai pemimpin dunia Muslim." Imbuh Doglov, dikutip Tass.
Erdogan menarik sebagian besar dukungannya langsung dari jantung konservatif Turki, dan memposisikan diri sebagai lawan dari elite Kemalis.
Kemalis merupakan paham sekuler Turki yang dibawa oleh Mustafa Kemal Pasha yang dikenal sebagai Attaturk atau 'Bapak Turki'.
Hal itu semakin terlihat ketika Erdogan berziarah pada makam sultan Ottoman abad ke-16, Selim I.
Menurut lembaga think-tank, Centrum pro bezpecnostni analyzy a prevenci (CBAP) mengkaji tindakan tersebut merupakan kepanjangan antara dirinya dan pemimpin Ottoman yang terkenal.
Pada tahun 2020, Hagia Sophia diubah kembali menjadi mesjid oleh Erdogan yang memicu  perhatian dunia  internasional.
"Konsep neo-Ottoman kerap digunakan para pengkritik Turki". Ujar Edward Westridge Pengamat politik dari Studi Internasional Open University Inggris.
Pernyataan tersebut tertuang dalam makalah Imperial Grandeur and Selective Memory :Â "Re-assessing Neo-Ottomanism in Turkish Foreign and Domestic Politics", yang dirilis pada tahun 2019.
"Setidaknya selama dekade terakhir, neo-Ottomanisme telah berfungsi sebagai salah satu alat konseptual utama untuk memahami kebijakan luar negeri Turki," imbuh Wastnidge, seperti Indian Express.
"Baru-baru ini, konsep tersebut jga muncul dalam wacana politik dalam negeri Turki, meski dengan cara yang berbeda."Â Pendapatnya.
Neo-Ottomanisme yang merupakan sebuah konsep tumbuh sekitar akhir 1980-an hingga 1990-an untuk menjelaskan aspirasi geopolitik Turki.
Istilah tersebut kerap digunakan negara tetangga yakni Yunani dan Armenia guna mengkritik Turki dengan kebijakannya.
"Neo-Ottomanisme dalam pengertiannya saat ini, sumber ancaman terhadap keamanan dan stabilitas kawasan, adalah ciptaan media Barat," ucap Anas Omair Asisten profesor Departemen Internasional Universitas Yildirim Beyazit Ankara.
Sumber : isa/bac
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H