Pejelasan Mengenai Kelangkaan
Pembahasan utama dalam ilmu ekonomi adalah tentang kelangkaan. Kelangkaan ini mencakup jumlah, kualitas, tempat, dan waktu. Sesuatu disebut tidak langka jika jumlahnya berlimpah, bermutu baik, dan dapat ditemukan di segala tempat dan waktu. Contoh nyatanya adalah udara. Udara tidak langka karena bisa ada dimana saja dan jumlahnya sangat banyak. Namun udara bersih makin langka di perkotaan karena banyaknya polusi udara. Ini artinya udara secara umum tidaklah langka, tetapi udara bersih justru langka tergantung tempat dan waktunya (Mulyadi dan Wicaksono, 2016: 11).
Ketika kebutuhan - kebutuhan tersebut masih bisa dipenuhi oleh sumber daya yang ada, maka tidak akan terjadi persoalan, bahkan juga tidak akan terjadi persaingan. Namun manakala kebutuhan seseorang atau masyarakat akan barang dan jasa sudah melebihi kemampuan penyediaan barang dan jasa tersebut, maka akan terjadilah apa yang disebut kelangkaan. (Nasution, 2007: 53).
Kelangkaan juga dialami oleh tenaga kerja terutama menyangkut waktu mereka dalam bekerja. Jika tenaga kerja telah memilih satu pekerjaan tertentu, ia tidak bisa lagi bekerja di tempat lain pada waktu yang sama. Namun, meskipun sumber daya tersebut langka, sumber daya tersebut memiliki alternatif penggunaan. Dengan adanya alternatif penggunaan, maka manusia bisa melakukan pilihan.
Konsep Kelangkaan dalam Ekonomi Konvensional
Ilmuwan ekonomi konvensional memiliki pendangan bahwa manusia dan masyarakat itu senantiasa memiliki keinginan untuk memenuhi kebutuhan, baik kebutuhan itu berupa barang (goods) maupun jasa (services). Dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut itulah, akan muncul suatu problem yang selanjutnya akan dianggap sebagai problem yang paling mendasar, yaitu terbatasnya sarana pemenuh kebutuhan manusia yang disediakan oleh alam ini (Triono, 2014: 163).
Dengan demikian, yang menjadi problema yang mendasar dalam perbincangan disiplin ilmu ekonomi adalah kelangkaan (scarcity). Dengan kata lain, jika tidak ada kelangkaan, dalam arti semua barang-barang sama melimpahnya seperti udara, maka ilmu ekonomi akan hilang sebagai suatu pokok pikiran dari ilmuwan ekonomi.
Oleh karena itu, kelangkaan dapat dianggap sebagai asal-muasal dari masalah-masalah ekonomi. Pandangan terhadap problem kelangkaan ini, selanjutnya dikuatkan dengan kenyataan bahwa keinginan manusia dan masyarakat dalam mengkonsumsi barang dan jasa tersebut, bersifat tidak terbatas. Dalam arti lain dikatakan tidak akan pernah ada habisnya.
Jika pandangan -- pandangan terhadap problema ekonomi ini dirumuskan, maka akan menghasilkan dua rumusan utama yang berkaitan dengan problem dasar dari ekonomi yaitu:
- Keinginan manusia tidak terbatas.
- Sedangkan sarana pemenuh kebutuhan terbatas.
Inti dari konsep ekonomi konvensional yaitu seseorang itu pasti memiliki kebutuhan atau keinginan yang tidak terbatas sedangkan kebutuhan sumber daya yang dimiliki terbatas sehingga menyebabkan setiap orang harus memilih di antara pilihan-pilihan yang ada untuk mencapai kepuasan maksimum. Kebebasan yang dimiliki oleh individu dalam memenuhi kebutuhan cenderung mementingkan diri sendiri (selfishness) tanpa peduli kesejahteraan hidup orang lain. Apapun usaha dan kegiatan ekonomi yang dilakukan dalam sistem ekonomi ini, semuanya dilakukan dengan tujuan untuk memperkaya diri sendiri dengan sebebas-bebasnya (At -- Tariqi, 2004: 289).
Konsep Kelangkaan dalam Ekonomi Islam
Islam memiliki perspektif yang berbeda. Perspektif islam tidaklah sama dengan yang dianut oleh sistem ekonomi konvensional, dimana yang dimaksud dengan pokok persoalan ekonomi adalah persoalan kekayaan dan pemenuhan kebutuhan serta minimnya sumber-sumber daya alam sebagai sarana pemenuhkebutuhan tersebut. Perspektif Islam menyatakan bahwasanya sumber -- sumber kekayaan yang ada dialam telah disediakan oleh Allah SWT sesuai dengan kapasitas yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan manusia yang ditujukan untuk mengatasi persoalan kehidupan manusia (At -- Tariqi, 2004: 286).
Jika dikatakan sumber daya ekonomi itu langka dan terbatas, maka secara tidak langsung seakan kita mengatakan bahwa Allah SWT bersifat kikir dan bakhil terhadap manusia, karena Allah tidak memenuhi semua kebutuhan -- kebutuhan manusia di bumi, alih-alih Dialah yang menciptakan manusia dan mengutus manusia untuk tinggal di bumi (Rivai dan Buchari, 2009: 76).
Menurut Islam, masalah-masalah ekonomi bukan bukan disebabkan oleh kelangkaan sumber -- sumber material ataupun terbatasnya kekayaan alam. Hal tersebut berada dalam firman Allah SWT Qs. Ibrahim [14]: 32-34 yang artinya: Allah-lah yang menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezeki untukkalian; dan Dia telah menundukkan bahtera bagi kalian supaya bahtera itu berlayar di lautan dengan kehendak-Nya dan Dia telah menundukkan (pula) bagi kalian sungai-sungai. (32) Dan Dia telah menundukkan (pula) bagi kalian matahari dan bulan yang terus menerus beredar (dalam orbitnya); dan telah menundukkan bagi kalian malam dan siang. (33) Dan Dia telah memberikan kepada kalian (keperluan kalian) dari segala apa yang kalian mohonkan kepada-Nya. Dan jika kalian menghitung-hitung nikmat Allah, tidaklah dapat kalian menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).(34)
Setelah menerangkan sumber-sumber kekayaan yang telah Allah anugerahkan kepada manusia, ayat-ayat suci tersebut meyakinkan bahwa sumber-sumber kekayaan tersebut cukup untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan manusia, juga cukup untuk memenuhi segala yang manusia minta. Jadi masalah ekonomi sebenarnya tidak muncul akibat terbatasnya sumber dan kekayaan alam atau akibat ketidakmampuan alam dalam merespon kebutuhan manusia.
Semua kata "menundukkan" di dalam ayat tersebut bermakna "memudahkan" atau "menjadikannya mudah". Jelasnya, segala sesuatu, baik yang di bumi maupun yang di langit, Allah ciptakan untuk kepentingan manusia. Seluruhnya itu menjadi "sumber daya" yang dapat digunakan oleh manusia untuk mendapatkan harta guna memenuhi kebutuhannya (Chaudry, 2014: 9).
Dari ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa penyebab timbul masalah ekonomi dimunculkan oleh manusia itu sendiri, yakni dari kezaliman dan keingkaran mereka. Kezaliman manusia dalam hal distribusi kekayaan dan keingkaran mereka atas nikmat Allah (dengan semena-mena mengeksploitasi sumber-sumber yang Allah anugerahkan kepada mereka) adalah dua faktor yang menciptakan kesengsaraan hidup bagi manusia sejak awal sejarah. Masalah ini dapat diatasi dengan mengakhiri kezaliman dan keingkaran manusia, yakni dengan menciptakan hubungan yang baik antara distribusi dan mobilisasi segenap sumber daya material untuk memakmurkan alam serta menyibak segala kekayaan (Ash Shadr, 2008: 430).
Sebuah ciri utama sistem ekonomi Islam adalah konsep bahwa Allah SWT, adalah tuhan penguasa alam semesta dan maha pemberi. Allah SWT memberi nafkah dan penghidupan bagi semua makhluk-Nya di seluruh alam. Allah-lah yang telah menciptakan semua harta dan sumber-sumber yang dengannyalah manusia memperoleh nafkahnya. Sebenarnyalah Allah berkomitmen untuk memberi makan, menjaga dan memelihara seluruh makhluk, termasuk manusia.
Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an diantaranya Qs. Huud [11]: 6 yang artinya: Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh) (Qs. Huud [11]: 6) Dan juga sibutkan dalam nash hadist diantaranya hadist yang artinya "Seandainya kalian betul-betul bertawakkal pada Allah, sungguh Allah akan memberikan kalian rizki sebagaimana burung mendapatkan rizki. Burung tersebut pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore harinya dalam keadaan kenyang." (HR. Ahmad, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
Allah-lah yang telah menciptakan segala sesuatu di alam raya ini. Segala sesuatu di bumi yang telah diciptakan-Nya diperuntukkan bagi manusia, langsung maupun tidak langsung. Binatang, tetumbuhan, mineral, air, udara, api, tanah, sungai, gunung, laut, dan bahkan matahari, bulan, bintang, siang dan malam, dan sebagainya, semuanya itu diciptakan untuk melayani manusia. Banyak manfaat ekonomi yang diletakkan oleh Allah SWT pada benda -- benda itu untuk manusia.
Daftar Pustaka
Mulyadi, Endang dan Wicaksono, Erick., 2016, Ekonomi 1, Jakarta: Yudistira, 2016.
Nasution, Mustafa Edwin, dkk., 2007, Pengenalan Eksklusif: Ekonomi Islam, Jakarta: Prenada Media Group.
Triono, Dwi Condo., 2014, Ekonomi Islam Madzhab Hamfara, Yogyakarta: Irtikaz.
At -- Tariqi, Abdullah Abdul Husain., 2004, alih bahasa M. Irfan Syofwani, Ekonomi Islam: Prinsip, Dasar, dan Tujuan,Cet. 1, Yogyakarta: Magistra Insania Press.
Rivai, Veithzal., dan Buchari, Andi., 2009, Islamic Economics: Ekonomi Syariah Bukan Opsi, Tetapi Soulsi, Cet. 1, Jakarta: Bumi Aksara.
Chaudry, Muhammad Sharif., 2014, Alih bahas Suherman Rosyadi, Sistem Ekonomi Islam: Prinsip Dasar, Jakarta: Kencana.
 Ash Shadr, Muhammad Baqir., 2008, alih bahasa Yudi, Buku Induk Ekonomi Islam: Iqtishaduna, Cet. 1, Jakarta: Zahra.
Oleh Angga Hergastyasmawan
Mahasiswa PPs FIAI UII
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H