Oleh: Angga Dwi Maryanto*
Gegap gempita pesta politik di tahun 2019 sudah terasa sejak jauh-jauh hari. Kini pasangan calon presiden dan wakil presiden sudah ditetapkan oleh kpu. Pasangan nomor urut 1 Ir. H. Joko Widodo-Prof. Dr. K. H. Ma'ruf Amin dan pasanga nomor urut 2 Letjen (Purn.) H. Prabowo Subianto-H. Sandiaga Salahuddin Uno. bukan hanya sekadar penyampaian visi dan misi oleh para calon dan tim sukses. Namun, faktanya praktik yang mencoreng demokrasi berulang kali datang menghampiri.Â
Salah satu kasusnya adalah penggunaan  politik identitas. bagi para elit itu adalah hal yang biasa seakan kesuksesan kelompoknya menjadi tujuan utama entah bagaimanapun siasatnya.Â
Seharusnya politik menjadi suatu gerakan pencerdasan masyarakat bukan malah  menjadi biang kegaduhan dan kekacauan seperti yang kita rasakan menjelang tahun politik ini.
Politik identitas merupakan sebuah proses politisasi yang menggunakan atau mengedepankan identitas sebagai sarana untuk meraih dukungan dari masyarakat yang didasari atas "kesamaan".  Rasa primordialisme yang cukup besar dikalangan rakyat kemudian menjadi sasaran dari  praktik penerapannya. Isu yang diangkat  mulai dari identitas ras,suku,golongan,dan agama.Â
Dari beberapa isu tersebut yang kini betul-betul hangat diangkat yaitu isu agama. Dimana islam sebagai agama dijadikan simbol untuk meraih kekuasaan. Sudah kita ketahui bahwa lebih kurang dari 80% penduduk Indonesia beragama islam selain itu juga fenomenanya pada saat ini umat muslim seakan kembali menunjukan identitasnya dapat dilihat dari kekompakan pada peristiwa 212. Celah ini yang kemudian dilihat dan dimanfaatkan oleh kedua belah pihak. Masing-masing kubu saling melabeli diri dan mengatas namakan agama islam.
Kubu petahana mengangkat K. H. Ma'ruf Amin sebagai wakil presiden berpasangan dengan Joko Widodo. Seorang Ma'ruf Amin memang tidak diragukan lagi bila dilihat dari rekam jejaknya ia pernah menjabat sebagai anggota DPR RI, MPR RI,Watimpres,ketua Majelis ulama Indonesia (MUI), dan pengurus besar Nahdlatul Ulama (NU). disamping itu peran penting kyai ma'ruf (sapaan akrab ma'ruf amin) guna mendongkrak elektabilitas jokowi adalah beliau merupakan seorang ulama NU.Â
Suara masyarakat NU yang berjumlah 90 juta orang berdasarkan data survey terakhir angka ini hampir menyentuh separuh dari penduduk muslim di Indonesia  memang cukup diperhitungkan dalam setiap pemilihan umum baik eksekutif maupun legislatif. dipilihnya kyai Ma'ruf selain menarik suara umat islam ia juga bisa mengambil suara NU.
Seakan tidak mau ketinggalan kubu oposisi yang mengusung pasangan Prabowo-Sandiaga Uno sendiri selalu menegaskan bahwa mereka sudah direstui sekaligus didukung oleh hasil keputusan dari ijtima ulama dan tokoh nasional Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama.Â
Hal ini patut diperhitungkan karena GNPF sendiri terdiri dari 500 ulama berbagai ormas islam. Bahkan mereka juga sempat merekomendasikan nama-nama calon wakil presiden yang berlatar belakang ulama untuk mendampingi prabowo.Â
Namun karena pihak petahan sudah lebih dahulu menggandeng ulama akhirnya ia memilih Sandiaga Uno yang berlatar belakang pengusaha tetapi sejak dia menjadi dipilih menjadi calon wakil presiden sisi religiusnya pun lebih di tonjolkan. Ini jelas menjadi suatu cara yang dimanfaatkan guna meraih suara umat muslim dalam pilpres 2019.
Penerapan politik identitas menimbulkan banyak kompleksitas dikalangan masyarakat luas. Khususnya masyarakat muslim atau umat islam seolah terpecah menjadi dua kubu ada kubu petahana dengan ulaman beserta NUnya dan kubu oposisi dengan GNPF beserta ijtima ulamanya. Jika hal ini terus dibiarkan  maka perpecahan akan semakin berkepanjangan.Â
Lantas mengapa hal ini terjadi? Politik identitas itu sendiri sudah sejak lama  dan dipergunakan sebagai strategi dalam berpolitik untuk meraih kekuasaan dengan menjadikan agama sebagai simbol atau dengan menjual agama. Menjual agama dapat diartikan bahwa kedua kubu menggukan cara-cara yang mengatas namakan agama guna meraih keutungan.
Alangkah baiknya jika semua masyarakat Indonesia memandang persoalan ini  dengan kepala dingin dan dewasa. Serta cerdas dalam memahami berbagai fenomena perpolitikan yang ada agar tidak terjerumus kedalam arah yang salah. karena bagaimanapun cara atau strategi yang diterapkan oleh masing-masing kubu jika kita bisa memilahnya kita tidak akan mudah terpengaruh oleh siasat tersebut.Â
Selain itu juga masih banyak masyarakat yang sungkan mencari kebenaran sehingga mudah di pengaruhi oleh politik identitas dengan segala praktik penerapannya dan mudah menyalahkan orang lain yang tidak sependapat dengannya padahal perbedaan pilihan dalam politik adalah hal yang biasa.
Karena pada akhirnya semua keputusan ada ditangan rakyat kita semua yang akan memilih siapa  calon presiden dan calon wakil presiden nantinya tentu yang terpilih kita harapkan mampu memberikan perubahan kearah yang lebih baik,menghilangkan budaya korupsi, dan mampu menyejaterahkan rakyatnya sebagaimana visi misi indah masing-masing calon.Â
Akan tetapi ini bukan hanya tanggung jawab sosok yang terpilih memimpin negeri ini nantinya namun kita semua sebagai warga Negara juga harus bersinergi demi kemajuan bangsa. Khususnya kaum muda buktikan bahwa bonus demografi Indonesia ini akan membawa kemajuan bangsa. Â
*Penulis Adalah: Mahasiswa Mata Kuliah Ilmu Politik Semester Satu, Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultang ageng Tirtayasa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H