Mohon tunggu...
Angga Akbar Fitriansyah
Angga Akbar Fitriansyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Nasional

Amor Fati

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Amnesty Indonesia dalam Pengadvokasian Kasus HAM di Indonesia

1 Agustus 2023   09:00 Diperbarui: 1 Agustus 2023   09:28 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

MELEMAHNYA KEBEBASAN SIPIL DAN BURUKNYA HUKUM BESERTA PENEGAKAN KEADILAN

Amnesty Internasional

Amnesty International adalah gerakan global dengan lebih dari 10 juta orang di berbagai negara dan wilayah yang berkampanye untuk mengakhiri pelanggaran hak asasi manusia. Amnesty International didirikan pada tahun 1961. Kini, kami telah memiliki lebih dari 10 juta anggota di berbagai negara dan wilayah, termasuk di Indonesia. Melalui kampanye dan advokasi, riset kami yang mendetail, dan edukasi hak asasi manusia (HAM) kami berjuang untuk memerangi pelanggara HAM di seluruh dunia.

---

Kebebasan sipil di Indonesia terancam dalam beberapa tahun ke belakang. Saat melakukan aktivitas- aktivitas yang sah untuk mendorong penegakkan hak asasi manusia (HAM), para pembela dan organisasi HAM menghadapi ancaman dan serangan, baik secara langsung maupun digital. Selama periode Januari 2019 sampai Mei 2022, Amnesty International mencatat terdapat setidaknya 328 kasus serangan fisik dan/atau digital terhadap masyarakat, dengan setidaknya 834 korban. Korban-korban ini mencakup pembela HAM, aktivis, jurnalis, pembela lingkungan, mahasiswa, dan demonstran. Terduga pelaku dari serangan dan intimidasi ini adalah aktor negara dan non-negara.

Laporan ini mencermati pola represifitas dengan bersumber pada kasus-kasus yang dicatat oleh Amnesty International antara Januari 2019 sampai Mei 2022. Laporan ini berdasarkan pada wawancara dengan 52 narasumber yang terdiri dari pembela HAM, aktivis, mahasiswa, advokat, dan jurnalis, serta berdasarkan laporan media dan berkas kasus. Laporan ini membahas tergerusnya ruang masyarakat sipil di Indonesia sebagai dampak dari serangan terhadap kebebasan berekspresi, berkumpul, dan berserikat secara damai, keamanan pribadi, dan hak untuk bebas dari penahanan sewenang-wenang.

 

KONTEKS LEGISLATIF

Kerangka hukum Indonesia sejatinya mengakui hak atas kebebasan berekspresi dan berkumpul dan berserikat secara damai. Indonesia telah meratifikasi berbagai instrumen HAM internasional, termasuk Kovenan Internasional untuk Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), serta menerbitkan instrumen hukum nasional untuk menjamin hak-hak yang diatur dalam ICCPR, seperti perlindungan hak-hak sipil sebagaimana tercantum di Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM). Sayangnya, beberapa pasal dalam perundang-undangan lainnya masih disalahgunakan untuk membungkam kebebasan berekspresi, termasuk beberapa pasal pada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) serta beberapa pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

 

PENYEMPITAN RUANG SIPIL

Hak mahasiswa terkait kebebasan berpendapat dan berkumpul secara damai juga berada dalam ancaman. Misalnya, terdapat anggota dari organisasi mahasiwa yang menerima serangan digital dan ancaman pembunuhan setelah mereka mengumumkan rencana untuk menggelar sebuah diskusi tentang kerangka hukum pemakzulan presiden dalam perspektif hukum konstitusi.

Terkait Papua, revisi UU Otsus oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), yang membarui kewenangan pemerintah pusat menjadi lebih besar atas urusan daerah, sehingga berpotensi melemahkan otonomi institusi di Papua serta menghapus hak masyarakat Papua untuk mendirikan partai politik. Peraturan tersebut kemudian memicu sejumlah demonstrasi di Papua dan wilayah lain di Indonesia, yang mana kemudian aparat keamanan Indonesia merespon demonstrasi tersebut dengan penggunaan kekuatan yang berlebihan. Sejumlah demonstran dipukuli, dilecehkan secara rasial, ditahan, dan ditangkap. Diskusi publik terkait UU Otsus pun juga direpresi. Saat Majelis Rakyat Papua (MRP), sebuah lembaga negara yang didirikan atas mandat yang diberikan di dalam UU Otsus, merencanakan untuk mengadakan diskusi publik terkait implementasi UU Otsus, dua anggota dan staf MRP ditahan atas dugaan makar.

Selama tiga tahun terakhir, pemerintah beberapa kali memutus atau membatasi akses internet di berbagai wilayah di Papua dan Papua Barat. Salah satunya terjadi di bulan Agustus-September 2019, saat terjadi gelombang demonstrasi besar-besaran terkait anti-rasisme. Pihak berwenang mengklaim bahwa kebijakan tersebut diperlukan guna demi mencegah penyebaran berita bohong. Kebijakan pemutusan internet ini membatasi hak asasi masyarakat Papua dan Papua Barat, mencederai hak mereka atas kebebasan berekspresi, akses informasi, berkumpul secara damai, serta hak ekonomi dan sosial.

Walaupun pemerintahan Presiden Joko Widodo terus menyatakan bahwa perlindungan HAM merupakan salah satu prioritas, nyatanya terdapat kemunduran dalam penegakkan HAM dan reformasi hukum. Penerapan peraturan-peraturan yang represif memperparah kemunduran kebebasan sipil dan meningkatkan iklim ketakutan untuk berpendapat di dunia digital. Ketika masyarakat sipil menyuarakan kritik dan ‘turun’ ke jalan, mereka kerap dihadapkan dengan respon keras aparat keamanan. Aktivis, awak media, pengajar, termasuk juga ruang sipil tempat mereka bekerja, diserang, alih-alih didukung dan dilindungi oleh pemerintah.

Walaupun pemerintahan Presiden Joko Widodo terus menyatakan bahwa perlindungan HAM merupakan salah satu prioritas, nyatanya terdapat kemunduran dalam penegakkan HAM dan reformasi hukum. Penerapan peraturan-peraturan yang represif memperparah kemunduran kebebasan sipil dan meningkatkan iklim ketakutan untuk berpendapat di dunia digital. Ketika masyarakat sipil menyuarakan kritik dan ‘turun’ ke jalan, mereka kerap dihadapkan dengan respon keras aparat keamanan. Aktivis, awak media, pengajar, termasuk juga ruang sipil tempat mereka bekerja, diserang, alih-alih didukung dan dilindungi oleh pemerintah.

 

Hukum Hak Asasi Manusia

KEBEBASAN BEREKSPRESI, BERKUMPUL DAN

BERSERIKAT SECARA DAMAI, DAN RUANG MASYARAKAT

SIPIL

Hak atas kebebasan berekspresi dan berkumpul dan berserikat secara damai diatur dalam Kovenan Internasional untuk Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR); di mana Indonesia merupakan negara pihak sejak 2006. Namun, penting untuk dicatat bahwa Indonesia belum menjadi negara pihak pada Protokol Opsional Pertama ICCPR yang memuat mekanisme pengaduan bagi individu yang merasa hak nya terlanggar serta Protokol Opsional Kedua ICCPR untuk penghapusan hukuman mati.

  PASAL 19 ICCPR MENGATUR HAK ATAS KEBEBASAN BEREKSPRESI:

• Setiap orang berhak untuk berpendapat tanpa gangguan.

• Setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat; hak ini termasuk kebebasan

untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan pemikiran apapun, terlepas dari pembatasan-pembatasan secara lisan, tertulis, atau dalam bentuk cetakan, karya seni atau melalui media lain sesuai dengan pilihannya.

PASAL 21 ICCPR MENGATUR HAK KEBEBASAN BERKUMPUL:

• Hak untuk berkumpul secara damai harus diakui.

PASAL 22 ICCPR MENGATUR HAK KEBEBASAN BERSERIKAT:

• Setiap orang berhak atas kebebasan untuk berserikat dengan orang lain, termasuk hak untuk membentuk dan bergabung dalam serikat pekerja untuk melindungi kepentingannya.

 Dalam ICCPR hak-hak di atas tidak bersifat absolut dan dapat dibatasi. Namun, pembatasannya wajib berlandaskan pada ketentuan hukum dan dilakukan ketika perlu dan secara tidak berlebihan untuk meraih tujuan yang spesifik dan mendesak, yaitu demi menghargai hak orang lain, melindungi keamanan nasional, ketertiban umum, atau kesehatan atau moral publik.

Komite HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang memiliki mandat untuk memantau kepatuhan negara-negara terhadap ICCPR menyatakan dalam Komentar Umum Nomor 34 tentang hak atas kebebasan berekspresi bahwa “jika sebuah negara melakukan pembatasan, negara tersebut wajib menunjukkan adanya ancaman yang spesifik dan mengapa pembatasan perlu diambil secara tidak berlebihan, terutama dengan menunjukkan hubungan yang langsung dan segera antara sebuah ekspresi dengan ancaman yang dihasilkannya. Lebih jauh lagi, pembatasan tidak boleh mencederai hak itu sendiri Artinya, pembatasan yang dilakukan hanya karena sebuah ekspresi dianggap terlalu kritis terhadap pemerintah atau membingkai pemerintah secara negatif bukan merupakan landasan pembatasan yang sah.

 

KEAMANAN PRIBADI DAN HAK UNTUK TIDAK DITANGKAP DAN DITAHAN SECARA SEWENANG-WENANG

Dalam konteks Pasal 9 ICCPR, penahanan adalah segala bentuk perampasan kebebasan dengan menempatkan seseorang di tempat yang tidak memungkinkannya untuk bebas bepergian, seperti penjara, tahanan rumah, dan fasilitas psikiatri di segala situasi, termasuk di situasi sebelum maupun sesudah peradilan berlangsung. Di hukum internasional, penahanan sewenang-wenang termasuk sebagai norma yang tidak boleh dilanggar dalam keadaan apa pun, termasuk dalam konflik bersenjata dan situasi genting lainnya.

Pasal 9 ICCPR juga menjamin hak atas kebebasan dan keamanan pribadi setiap orang, baik yang berada dalam tahanan maupun tidak. Artinya, negara wajib menghormati dan melindungi setiap orang dari serangan orang lain ataupun aparat negara. Selanjutnya, Komite HAM PBB menyatakan bahwa negara wajib melindungi setiap orang, termasuk pembela HAM, yang berada di situasi di mana nyawa mereka terancam akibat risiko-risiko tertentu atau karena adanya pola-pola kekerasan yang sudah ada sebelumnya.13 Komite HAM PBB menyatakan bahwa kegagalan melindungi pembela HAM dari tindakan pembalasan atas kerja-kerja mereka, seperti ancaman pembunuhan, merupakan pelanggaran atas hak untuk hidup.

 

KONTEKS PERATURAN DI INDONESIA

Pasal 34 UU HAM menjamin hak untuk tidak ditangkap dan ditahan secara sewenang-wenang dengan menyatakan bahwa “Setiap orang tidak boleh ditangkap, ditahan, dipaksa, dikecualikan, diasingkan, atau dibuang secara sewenang-wenang.” Pasal 11 Ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Perkapolri) Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia juga melarang setiap anggota kepolisian melakukan penangkapan dan penahanan di luar hukum dan secara sewenang- wenang

 

HAK UNTUK BEBAS DARI PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN TIDAK MANUSIAWI LAINNYA 

Sejak 1998, Indonesia merupakan Negara Pihak Konvensi PBB Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia (UNCAT). Dalam UNCAT dan ICCPR, negara wajib mencegah penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi lainnya oleh aparat negara; memastikan proses penyidikan yang cepat dan imparsial jika hal tersebut terjadi; dan memastikan bahwa tindakan, keikutsertaan, dan pembiaran penyiksaan dapat dihukum secara pidana dengan mempertimbangkan tingkat kegentingan. Penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi lainnya juga dilarang secara absolut dalam hukum kebiasaan internasional dan merupakan norma lain yang tidak boleh dilanggar dalam keadaan apapun

PASAL 7 ICCPR: Tidak seorang pun yang dapat dikenakan penyiksaan atau perlakuan atau hukuman lain yang keji, tidak manusiawi atau merendahkan martabat. Pada khususnya, tidak seorang pun dapat dijadikan obyek eksperimen medis atau ilmiah tanpa persetujuan yang diberikan secara bebas. KONTEKS PERATURAN DI INDONESIA Pasal 28G Ayat (2) UUD 1945 menyatakan “Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.” Dalam UU HAM, hak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi lainnya diatur di Pasal 33 Ayat (1).

KODE ETIK APARAT PENEGAK HUKUM 

Aparat penegak hukum wajib melindungi keamanan masyarakat dan negara bertanggung jawab menghormati hak untuk hidup, kebebasan, dan keamanan semua orang, termasuk mereka yang diduga melakukan kejahatan. Penggunaan kekuatan harus sesuai dengan standar-standar internasional seperti Kode Etik PBB untuk Aparat Penegak Hukum 1979 (CCLEO) dan Prinsip-Prinsip Panduan PBB tentang Penggunaan Kekuatan dan Senjata Api oleh Penegak Hukum 1990 (BPUFF). Kedua instrumen internasional ini berlaku untuk aparat penegak hukum dari institusi mana pun, termasuk personil militer yang memiliki kewenangan menangkap dan menahan seseorang. Instrumen internasional tersebut telah menjadi rujukan kunci bagi penggunaan kekuatan dan senjata api yang bertanggung jawab oleh penegak hokum, termasuk aparat kepolisian yang sedang tidak bertugas. Dalam kedua instrumen di atas, aparat keamanan dapat menggunakan kekuatan hanya jika benar-benar diperlukan saat bertugas. BPUFF secara gamblang menyatakan bahwa penegak hukum tidak boleh menggunakan kekuatan yang mematikan kecuali di situasi yang mewajibkan mereka untuk mempertahankan atau menghindari dirinya atau orang lain dari ancaman yang mematikan atau dapat menimbulkan cedera serius. Penggunaan kekuatan yang mematikan dengan sengaja hanya dapat digunakan jika tidak terelakkan untuk melindungi nyawa. Senjata api tidak boleh digunakan untuk membubarkan perkumpulan massa dan penembakan yang acak dan tanpa pertimbangan (indiscriminate firing) adalah tindakan di luar hukum. Alhasil, tujuan utama penggunaan senjata api adalah untuk melindungi nyawa. Tentunya aparat penegak hukum menghadapi situasi yang dinamis dalam menjalankan tugas dan respons mereka kerap bergantung pada keadaan, penilaian atas ancaman, kemampuan, ketersediaan peralatan, dan lain-lain. Alhasil, terdapat ruang kebijaksanaan personal untuk menentukan respons yang diperlukan. Namun, ruang tersebut wajib ditempatkan dan diperlakukan dalam bingkai hukum yang jelas, khususnya di kondisi saat kekuatan digunakan. Kekuatan hanya dapat digunakan atas dasar penghormatan terhadap hukum dan dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap HAM. Dengan demikian, penggunaan kekuatan wajib mengikuti empat prinsip, legalitas, keperluan (nesesitas), kewajaran (proporsionalitas), dan akuntabilitas.

KASUS PENYELEWENGAN KEKUATAN APARAT TERHADAP MASYARAKAT DI INDONESIA

Komnas HAM menyatakan menemukan fakta bahwa Kepolisian Daerah Jawa Tengah (Polda Jateng) menggunakan kekuatan berlebihan dalam peristiwa kekerasan di Desa Wadas.

Konflik ini berlatar belakang rencana pemerintah dalam membuka penambangan terbuka batuan andesit yang berada di wilayah desa tersebut untuk dijadikan bahan baku pembangunan Bendungan Bener yang masih satu kecamatan dengan wilayah desa ini. Menurut masyarakat setempat, penambangan batu ini akan merusak lingkungan desa.

Konflik di antara kedua pihak membesar pada April 2021 dan Februari 2022, dengan laporan dari masyarakat bahwa beberapa warga mengalami tindak kekerasan yang dilakukan oleh tentara dan polisi. Dari kedua peristiwa itu, sedikitnya total 78 orang dari pihak warga Desa Wadas ditahan oleh pihak kepolisian.

Warga wadas dihadapi oleh berbagai ancaman, seperti tindakan refresif aparat saat menyuarakan penolakan tambang, ancaman konsinyasi, sehingga para rakyat merasa takut. “kami selalu diintimidasi, besok kalau gak kasih berkas (tanah), akan dikonsinyasi dan tidak dapat apa-apa”

Konsinyasi sendiri merupakan mekanisme yang diatur dalam UU pengadaan tanah untuk kepentingan publik, pemerintah bisa memaksa mengambil tanah milik warga dan menitipkan uang ganti rugi ke pengadilan setempat.

Beberapa pihak mengritisi masalah yang terjadi di Wadas. Agung Wardana, dosen hukum lingkungan Universitas Gadjah Mada, menilai bahwa alasan pengadaan tanah sebagai kepentingan umum tidak tepat digunakan untuk kepentingan penambangan. Ia menilai bahwa proyek bendungan dan tambang merupakan dua proyek yang berbeda sehingga tidak dapat menggunakan skema pengadaan tanah yang sama.


Kasus Kanjuruhan, Bukti buruknya hukum dan penegakan keadilan.

Berawal dari beberapa orang pendukung Arema FC kemudian merangsek masuk ke lapangan untuk memberi semangat ke pemain tuan rumah. Polisi kemudian merangsek ke para pendukung Arema itu. Cilakanya, mereka kemudian menembakkan gas air mata ke arah tribun penonton. Tribun yang disesaki pendukung tuan rumah itu pun berubah jadi neraka. Asap pekat yang membuat dada sesak dan mata perih itu membuat ribuan orang kocar-kacir menuju pintu keluar. Terjadilah tragedi tersebut, pintu keluar yang kecil dan terbatas membuat penonton bertumpuk dan akhirnya saling injak. Korban tewas pun tak terhindar.

Berbagai tuntutan agar kasus ini diusut dan dituntaskan pun muncul dari berbagai pihak. Pemerintah, lewat Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan pun kemudian membentuk Tim Gabungan Independen Pencari Fakta atau TGIPF Tragedi Kanjuruhan. Hasil temuan TGIPF menemukan sejumlah pelanggaran yang dilakukan oleh PSSI selaku penyelenggara, Polri dan TNI selaku pihak pengamanan, PT Liga Indonesia Baru (LIB) selaku promotor, panitia pelaksana, security officer, aparat keamanan, dan suporter.

TGIPF juga menyatakan proses kasus Kanjuruhan membuktikan betapa buruknya hukum dan penegakan hukum di Indonesia, tim itu mencurigai memang ada strategi untuk memetieskan  kasus Kanjuruhan. Majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya pada Kamis (23/3)pekan lalu membebaskan dua terdakwa, yang merupakan anggota kepolisian, dalam kasus Kanjuruhan.

Pasca kasus kanjuruhan terjadi pun, ada beberapa gelombang protes dan aksi dari berbagai lapisan masyarakat untuk pembelaan terhadap korban kasus Kanjuruhan untuk mendapatkan keadilan, pada Senin 24 Juli lalu, Presiden Joko Widodo melakukan kunjungan ke Malang untuk mendatangi PT Pindad hingga blusukan ke pasar-pasar, tujuan blusukan tentunya guna mendengar keluhan dan aspirasi rakyat. Tapi ternyata sejumlah keluarga korban berupaya untuk bertemu  presiden, dan ironisnya aparat keamanan diduga menghalangi dan membentak keluarga korban.

Sangat disayangkan upaya keluarga korban untuk bertemu presiden Joko Widodo dihalangi oleh aparat keamanan negara. Padahal mereka hanya ining bertemu untuk menagih janji keadilan yang tidak kunjung mereka dapatkan. Presiden Joko Widodo harusnya menyempatkan diri untuk mendengar dan menindaklanjuti tuntutan korban dan keluarga, bukan membiarkan aparat menghalang-halangi apalagi membentak mereka.

Pembunuhan di luar hukum

1. Seorang tahanan terduga kasus pencurian sepeda motor (curanmor) berinisial OK (26) warga Desa Purwosari, Kecamatan Baturraden, Banyumas ditemukan tewas dengan kondisi penuh luka. Orang tua korban Jakam (51) menjelaskan anaknya ditangkap pada 17 Mei 2023 lalu dengan kondisi sehat. Namun, pada Jumat (5/6) keluarga tiba-tiba menerima kabar OK sudah meninggal dunia di Rumah Sakit Margono Soekarjo Purwokerto. Jakam menyebut putranya itu ditahan di Rutan Polsek Baturraden.

Meski begitu, keluarga korban tidak percaya begitu saja. Sebab pihak medis menyuruh dirinya untuk langsung membawa pulang dan dikebumikan. Pihak keluarga kemudian nekat untuk membuka kain kafan saat di rumah. Keluarga pun kaget, sebab tubuh korban ditemukan penuh luka sayatan dan lebam.

"Di rumah terus sama keluarga dan Pak Kayim dibuka, ternyata bukan penyakit. Penganiayaan dan penyiksaan. Lukanya di punggung ada dua kayak sudah kelihatan dagingnya. Paha dua-duanya gosong hitam Terus di perut kaya bekas pecutan rotan atau besi. Kalau yang di tangan sama kaki kaya bekas borgol,"

--

2. Pembunuhan diluar hukum adalah tindakan pembunuhan yang dilakukan oleh aparat negara diluar proses hukum, tanpa proses pengadilan yang adil.

Satuan Reserse Kriminal Polrestabes Medan menembak mati seorang begal kasus pencurian kendaraan bermotor (curanmor) saat diamankan di kawasan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang.

Pada senin 10 Juli 2023, wali kota Medan, Muhammad Bobby Afif Nasution, mengapresiasi Kapolrestabes Medan beserta jajarannya karena telah berhasil menembak mati satu pelaku begal.

Apresiasi atas tindakan ini berbahaya, karena dapat menjadi pembenaran atas pembunuhan di luar hukum pada kasus-kasus lainnya, penembakan ini juga mencederai peraturan yang dibuat sendiri oleh kepolisian Republik Indonesia dalam menindak kejahatan.

“Pembuhuhan diluar hukum tidak seharusnya Dibenarkan, apalagi di apresiasi.”

“Artikel ini sebagai salah satu tugas II mata kuliah organisasi Internasional dengan Dosen Pengampu : Fadlan Muzakki, S.IP., M.Phil., LLM.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun