Mohon tunggu...
Angetrisha Merici
Angetrisha Merici Mohon Tunggu... Lainnya - Selamat berpetualang!

Ad astra per aspera

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Simposium Indonesianis: Tere Liye, Penerus Sastra Ekokritik dan Diaspora Politik

7 Maret 2022   21:01 Diperbarui: 7 Maret 2022   22:07 460
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak banyak kritikus sastra Indonesia dari luar negeri. Para pengamat Indonesia atau Indonesianis memfokuskan kajiannya tidak hanya pada sastra, tetapi juga budaya, sosial, ekonomi, juga politik Indonesia sebagai studi kawasan. 

Dari sedikit kritikus negara lain yang mengkaji kesusastraan Indonesia, Harry Aveling dan Pamela Allen adalah salah dua Indonesianis yang menarik perhatian tersendiri bagi pencinta karya sastra, termasuk saya. 

Sebab, sumbangan transformatif yang menjadi  anak zaman telah bermetamorfosis dalam karya novel Tere Liye. Tulisan ini akan membahas bagaimana Indonesianis melukiskan wawasan ekologis, historis Tionghoa, dan diaspora dalam kajian sastra guna meneropong persoalan sosial secara sastrawi dan politis.

Pamela Allen (2003), dalam kajiannya yang bertajuk "Sastra Diasporik?: Suara-Suara Tionghoa Baru di Indonesia", menyatakan bahwa "sejak permulaan sastra Indonesia modern di awal abad kedua puluh, kesusastraan dipahami bukan saja sebagai suatu produk untuk konsumsi dan hiburan, melainkan lebih sebagai  bagian penting  dari usaha membangun bangsa (nation building)". 

Hal ini benar adanya apabila kita mengingat karya sastra yang terkenal dari penghujung abad ke-20, misalnya novel Pramoedya Ananta Toer. 

Uniknya, karya sastra peranakan Tionghoa justru sudah berkembang pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, sebelum hadirnya tulisan modern dari pribumi. Akibat masa kolonial, orang Tionghoa mengalami pembedaan hingga akhirnya lahir hibriditas peranakan Tionghoa. 

"Paham hibriditas peranakan Tionghoa tersebut termuat dalam sebutan yang menggambarkan mereka di Jawa sebelum masa Kemerdekaan: Cina wurung, londa during, Jawa tanggung" (Allen, 2003:65).

Pamela Allen mengkritisi realitas kategorial Tionghoa Indonesia yang bermakna ganda. Pembahasan tentang masalah identitas justru muncul dari puisi dengan  konteks pemahaman heterogenitas 'identitas' Tionghoa-Indonesia. 

Ketetapan, (fixedness) atau identitas 'ke-Cina-an' dianggap kekal yang dilanggengkan oleh pemerintah Orde Baru, oleh adanya sikap rasis terbuka di beberapa kalangan masyarakat Indonesia sekarang, dan sejumlah warga peranakan Tionghoa itu sendiri. 

Kajiannya ditutup dengan simpulan sementara untuk mendekonstruksi seluruh pemikiran identitas Tionghoa yang masih langgeng hingga saat ini.

Bersamaan dengan lahirnya identitas Tionghoa sebagai diaspora politik, ekokritik justru hadir sebaliknya. Harry Aveling (1979), dalam karyanya yang berjudul "Man and Society in The Works of The Indonesian Playwright Utuy Tatang Sontani", ia ingin menuliskan karya Utuy Tatang Sontani. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun