''Kamu perlu rehat sejenak En. Kalau tidak, semuanya akan menjadi berantakan. Â Kamu masih ingat harapan orang tuamu kan? Ingat juga kan perkataanmu yang pernah kamu bilang buat aku sama Haris?'' tanggap Audrey.
Perkataan Audrey membuat Angie terdiam sejenak. Memikirkan harapan orang tuanya, terlebih khusus perkataan Neneknya pada saat Angie menunjukan sebuah foto.
''Nak, kamu seperti ini saja sudah cukup bagi Nenek. Semoga nenek diberikan umur panjang sampai waktu itu tiba yah nak?'' ucap Nenek saat menatap foto kaka tingkat Angie memakai selendang wisuda yang bertuliskan "CUMLAUDE''.
''Amin yah nek. Terima kasih sudah menemani Angie selalu.'' ucap Angie sambil memeluk Neneknya.
Tersadar seseorang seperti meneriaki namanya, membuat Angie sadar masih ada Audrey yang menunggu di panggilan.
''Eh, maaf Drey. Aku jadi melamun, memikirkan perkataanmu. Terima kasih yah Drey sudah memberi semangat.'' jawab Angie.
''Sama-sama. Dengan senang hati Angie. Semangat yah, sampai jumpa.'' ucap Audrey mengakhiri percakapan mereka ditelepon.
Namun demikian, Angie tetaplah Angie dengan lamunanya yang tidak bisa dikendalikan. Terlalu memikirkan hal berlebihan, seakan dirinya yang salah membuat dia terus terpuruk. 20 tahun kehadiran Angie dalam kehidupan Ibunya, seakan tidak dapat membuat Ibunya berubah menjadi lebih baik.Â
Memiliki sifat yang terkadang acuh akan semua urusan dirumah bahkan terhadap Angie dan kedua adiknya, menjadi alasan Angie tidak pandai mengobrol bersama Ibunya.Â
Sebab, melihatnya saja pun tak sanggup. Angie menyimpan luka begitu dalam dan rapih sehingga diluar, dia bisa selalu tersenyum dan tertawa.Â
Nyatanya, Angie merupakan seorang peremuan yang rapuh. Rapuh jika melihat Neneknya yang capek sendirian mengurusi semuanya. Rapuh melihat Ibunya bisa bersikap baik terhadap orang lain, tapi tidak dengan anak-anaknya. Rapuh melihat hubungan teman-temannya bersama Ibu mereka yang harmonis. Angie sadar, bahwa hidup akan terus berjalan. Semua akan indah pada waktu Tuhan.